pic : www.desainrumah.me |
Kata orang, mendapatkan rumah yang cocok itu jodoh-jodohan.
Maksudnya : seperti halnya jodoh, sering tak bisa diprediksi, bahkan surprise. Mengejar
mati-matian, tak juga mendapatkan. Sementara, dia yang tak kita sangka,
ternyata itu orangnya.
Note : jadi tulisan ini nggak membahas tentang jodoh “pasangan
hidup” ya...tapi jodoh “rumah tempat tinggal”. Kalau jodoh pasangan hidup sih, pertanyaan
saya sudah lewat ^-^
Dalam percakapan di sebuah grup Whatsapp, seorang teman
kurang lebih bilang begini : batas punya rumah sendiri itu umur 40 tahun. Kalau
sampai umur itu belum tercapai, biasanya
bakalan semakin sulit punya rumah sendiri.
Hadeeeeuh, pernyataan
itu sempat bikin saya ciut. Umur suami menjelang 40, saya beberapa tahun di bawahnya, dan kami
belum punya rumah. Di sisi lain, teman-teman sepantaran sudah banyak yang sudah mapan. Ssementara sampai sekarang, kami masih berstatus kontraktor alias
tukang ngontrak rumah :D. Apa iya kami akan terkena kutukan “sulit punya rumah?”
Ah, jadi ingat tulisan di baliho iklan rokok : "lo pikir mapan itu berarti aman?". Tapi bagaimanapun, perlu “kata-kata iman” untuk menepis kekhawatiran
yang sempat menyelinap masuk dan mencuri ketenangan :D
Nah, berbahagialah temen-temen, para keluarga muda yang
sudah punya rumah sendiri. Semoga rumah teman-teman adalah sebenar-benarnya
rumah. Not just a house but a home. Amen.
Sudah “amen” tapi tulisan belum selesai yaaa ^-^. Saya mau
lanjut cerita tentang up and down perjuangan mencari jodoh yang belum ketemu ending ini.
Saat masih single dan berstatus karyawati, saya sempat diajak
seorang teman untuk ikutan kredit rumah. Tapi nggak pakai mikir panjang, saya
langsung bilang enggak. Waktu itu belum mikir soal investasi sih. Pikirnya baru
sejauh “haduh ribet amat, ntar kalau saya dipindah tugas bagaimana?” Bahkan,
ada pikiran naif begini : “cewek single dan sudah punya rumah. Bisa jadi susah
dapat jodoh karena si cowok sudah minder duluan. Atau sebaliknya, jadi
dikejar-kejar cowok matre.” Haha-hihi, ketawa aja deh kalau ingat
alasan yang ini.
Akhirnya memang, seperti
banyak pasangan muda lainnya, saya dan suami masuk gerbang pernikahan
dengan status belum punya rumah. Soalnya pas pula, dapat suami yang belum punya
rumah pribadi hihihi. Bahkan kami sempat menjalani “long distance marriage”,
tinggal di rumah-sewa masing-masing sebelum akhirnya saya resign dan kami
tinggal satu rumah (kontrak).
Di awal-awal pernikahan, suami sudah menyinggung soal
rencana punya rumah. Tapiiii, waktu itu saya tak berminat. Pikiran saya masih
tak jauh beda dengan sebelumnya, “haduh ribet banget, ntar kalau suami pindah
tempat tugas bagaimana?”. Memang situasi kerja suami menjadikan kami sebagai "keluarga nomaden" yang pindah-pindah kota sesuai keputusan mutasi dari
perusahaan. Meninggalkan sebuah rumah yang masih berstatus kredit di kota yang jauh sepertinya
akan menjadi masalah tersendiri.
Jadilah, ketika kemudian pindah ke kota yang sekarang kami
tinggali ini pun, pendirian saya belum berubah. Sudah deh, mengontrak dulu aja.
Nanti kalau pensiun/sudah pasti menetap, baru beli/bikin rumah.
Tapi apa sih yang tidak berubah selain perubahan itu
sendiri?
Lama-lama, kok bosen juga jadi kontraktor. Pengin juga seperti keluarga-keluarga lain yang sudah
punya rumah sendiri. Tapi ketika keinginan saya mulai bertunas, keinginan suami
yang lebih dulu tumbuh malah layu. Dulu, ketika dia ingin punya rumah sendiri,
saya yang belum pengin. Sebaliknya, ketika saya sudah ingin, dia sudah nggak
ingin lagi. Nggak klop deh.
Berbulan-bulan kemudian, angin berubah arah lagi. Kali ini,
kami sudah kompak, sama-sama ada keinginan untuk punya rumah sendiri. Punya rumah yang berarti "memulai kredit pemilikan rumah (KPR)", kecuali ada keajaiban yang bisa membuat kami bisa beli rumah secara kontan. Yaa..keajaiban. Secara kami rumah tangga dengan pendapatan tunggal dari suami sebagai karyawan.
Mengenai
kemungkinan pindah kota, pikir nanti deh. Pokoknya kami mulai sering
jalan-jalan seputar Siantar lihat-lihat perumahan. Hampir tiap week-end kami
blusukan ke lokasi-lokasi perumahan. Dan ketemu problem klasik : kalau rumah
dan lingkungan terasa cocok, budgetnya tak cocok. Sebaliknya, kalau budget
cocok, rumah dan lingkungan terasa kurang cocok.
Singkat kata : keinginan macam-macam tapi budget terbatas
hahaha.
Sebetulnya yang saya sebut macam-macam itu mungkin tak
sepenuhnya macam-macam. Kami nggak target punya rumah mewah, megah, dengan
kolam renang segala kok. Tapi wajar ya kalau ingin punya rumah yang jangan
sempit-sempit amat. Kualitas bangunan juga jangan asal-asalan. Terus, karena
kami ada mobil (fasilitas kantor), cari perumahan dengan sarana jalan yang
memadai. Kan banyak tuh perumahan yang jalannya sempit. Jangankan untuk parkir, untuk papasan mobil
saja susah.
pic : www.allrumahminimalis.blogspot.com (seru yaa kalau utak-atik desain rumah impian ^-^) |
Entah kami yang terlalu banyak kriteria atau bagaimana,
rasanya “si jodoh” nggak ketemu-ketemu juga. Sampai suatu hari, kami memutuskan
untuk melihat lokasi sebuah perumahan yang sebelumnya selalu kami lewati begitu
saja. Perumahan ini agak masuk ke dalam, persis di pinggiran kebun kelapa
sawit. Lihat-lihat beberapa kali, rasanya cocok dari segi kriteria dan bugdet.
Lalu mulai deh merenda rencana untuk mulai kredit rumah di sana.
Tapiiii, memang belum jodoh. Episode patah hati jilid satu.
Tetiba, berembus kabar kalau suami akan dipindah tugas ke
Medan. Dooooh, rencana terpaksa ditunda sampai ada kepastian. Dan ketika berita
sudah pasti, akhirnya kami harus berubah arah. Merancang ulang, kontrak lagi
atau langsung kredit rumah di Medan? Rasanya capek karena mesti start dari awal
lagi. Beberapa kali ke Medan, lihat-lihat rumah untuk mencari gambaran, kontrak
lagi atau langsung mulai kredit? Sampai banyak banget deh koleksi brosur-brosur perumahan :D
Sampai suatu kali, ketemu lokasi yang sepertinya cocok. Memang
sih sudah agak jauh di pinggiran. Tapi suasananya tampak menyenangkan. Punya
landscape pegunungan, udara masih relatif sejuk, dan kondisi bangunan serta
fasilitas perumahan terlihat memenuhi harapan. Beberapa kali kami ke sana dan
sampai pada keputusan, “bulan depan kita kasih booking fee.”
Tapiii, rupanya belum jodoh jugak! Episode patah hati jilid
dua.
Tetiba, anak kedua kami sakit cukup serius. Si kecil yang
saat itu menjelang usia setahun mesti opname lebih dari seminggu, didiagnosis penyakit Hirschsprung dan divonis harus menjalani kolostomi. Kami sampai pulang ke Jawa. Puji Tuhan, ada mujizat, bertemu
dokter yang menyatakan di kecil tak perlu operasi. Tapi seluruh rangkaian
kejadian itu membuat rencana booking rumah tertunda, bahkan akhirnya batal. Dulu
sih rasanya sudah oke, tapi lama-lama jadi ada pertimbangan lain-lain yang
bikin nggak jadi.
Baca : Cerita Elo Sakit Hirschprung
Masa-masa pencarian mulai dari awal lagi. Balik lagi ke
kondisi awal : di antara pilihan untuk kontrak atau mulai kredit? Sudah
muter-muter beberapa kali, tapi belum ada juga kesesuaian antara kami (suami
istri), atau antara kami dengan rumah yang kami kunjungi. Lagi-lagi problem
klasik, belum cocoknya harapan dengan
ketersediaan biaya hahaha (ketawa miris). Sementara kami diburu tenggat waktu
untuk segera pindah!
Singkat cerita, keputusan akhir adalah kontrak. Pertimbangan
utama : memutuskan membeli sebuah rumah karena diburu-buru waktu bukan
keputusan bijaksana. Perkara beli rumah, bukan seperti beli baju. Kalau sampai
salah beli, dampaknya bisa panjang dan merembet ke mana-mana. Bagaimanapun,
kami bukan seperti mereka-mereka, yang bisa memborong properti seperti beli kudapan
roti. Beli rumah ituuuu menyangkut
segenap kekuatan finansial yang terbatas ini.
Ah ya sudahlah... hingga waktu ini, rupanya kami belum
ketemu jodoh. Entah karena kami yang ribet, atau memang situasinya yang ribet. Kalau galau soal rumah sih buanyaaak temennya ^-^. Daripada berlarut-larut patah hati, rasanya
penting untuk mengimani kata-kata penghiburan : “segala sesuatu indah pada
waktunya.”
Sabar mbak mungkin kunci yang harus mbak lewati demi mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keinginan mbak, setuju mbak akan indah pada waktunya :)
BalasHapushaha..iya mas iman. memang jalannya berliku. terima kasiih ya supportnya :)
BalasHapusSama dong belum ketemu sama si Jodoh nie... Kriteria ku malah ditambahin sama Hana; "Ingat, harus deket dengan sekolah Hana ya, Bu" hadeuh.....
BalasHapuskemarin pas cari kontrakan juga pakai syarat semacam itu : cari kontrakan yang tidak jauh dari sekolahan. Soalnya Al mau masuk SD nih ^-^
HapusSemoga segera ketemu si rumah idaman ya Mbak.. Kalau udah ada rumah sendiri, kayaknya lebih tenang deh. :)
BalasHapusterima kasih mbak Is..iyaaa, betul, sepertinya lebih tenang daripada jadi kontraktor :)
HapusHahahaha .. aku ketipu judul kukira pencarian jodoh :)) Tapi bener sih mbak, ortuku juga bilang kalo cari rumah itu kaya cari jodoh. Harus yang dilihat pertama trus sreg sama hati (dan kantong, pastinya)
BalasHapushihihi, maaf ya mbak winda. bukan bermaksud menipuuu looh. Jangan polisikan saya ^-^
HapusIya mbak, cari rmh kaya cari jodoh. Nunggu sampe suami istri ngerasa klik.
BalasHapusAku ud nyicil tahun ketiga, eh tapi blom ditempatin dengan alasan a I u e o.
Huahahaha.
Semoga segera ketemu ya mbak jodohnya ;)
Saya juga belum jodoh buat punya rumah zsendiri :(
BalasHapushahahaha...tosss mbaak. sabar2 ya kitaa.. bagaimana kabar si kecil mbak nisa?
HapusAmin. Terima kasih ya Mbak Ratu. Hahaha, bahkan yang udah ketemu jodoh pun belum langsung bersama yaa. ini jadinya kayak udah merid tapi belum bisa tinggal serumah hihihi
BalasHapus