pic : www.bintorocorp.co.id |
Yang pernah/sering pindahan rumah pasti memahami kerepotan jenis ini.
Ya, beginilah seninya hidup “nomaden”. Pastinya #lebay sih
menggunakan kata nomaden. Secara kehidupan kami jelas tidak seperti suku-suku
pengembara yang hanya kami lihat di film-film dokumenter. Mereka yang tinggal
di padang atau hutan, berumah di tenda/trailer atau semacamnya, pindah dari satu tempat ke
tempat lain dalam jangka waktu tak terlalu lama.
Mereka empunya kehidupan yang tak biasa.
Kami masih seperti orang biasa kok. Perbedaannya, setiap saat kami mesti siap untuk mendengar kabar “pindah
tugas”, lalu disusul segala keribetan pindah rumah. Kalau cerita begini, sering
deh dapat respon “oooh, suami tentara ya Bu?”.
Hehehe, bukaan. Bekerja di perusahaan dengan cakupan wilayah nasional,
membuat suami berpotensi dipindah ke mana saja. Potensi pindah tugas ini juga
yang menjadi faktor utama kami belum juga memulai (kredit) membeli rumah.
Kalau beli di kota tempat tugas, nanti bagaimana kalau
dipindah lagi? Mending kalau bisa kontan.
Urusan jual rumah relatif lebih gampang daripada overkredit.
Dikontrakkan? Iya kalau ada orang setempat yang bisa dan bersedia dipercaya.
Kalau beli di kota asal? Jelas nggak bisa menempati karena
sedang berada di rantau. Solusi nya dikontrakkan. Ah tapi kok ya ada rasa nggak
sreg kalau pertama kali beli rumah kok bukan untuk ditempati sendiri melainkan
ditempati orang lain.
Hahaha, memang #KamiYangRibet
Intinya, soal rumah pribadi, kami belum ketemu jodoh. Baca :Jodohku, Kapan Kan Ketemu?
Jadilah, sejauh ini kami masih berstatus nomaden. Enam tahun
lalu, kami pindahan dari Kabanjahe ke Siantar. Tahun ini, kami akan bergerak
dari Siantar ke Medan. Semuanya masih sama-sama di Sumatera Utara. Tapi justru
karena pindahnya hanya AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi), rasanya
justru lebih repot. Kalau AKAP (Antar Kota Antar Provinsi), sekalian saja
barang-barang yang besar –perabot rumah- dijual. Karena perabot yang dikirim
jarak jauh itu potensial mengalami kerusakan.
Lha ini pindah antar kota yang cuma sekitar tiga jam
perjalanan. Plus cuma pindah ke kontrakan (lagi) dan bukan rumah pribadi.
Duuuh, rasanya kok eman uangnya untuk
ganti perabot baru. Mending uangnya ditabung buat tambah-tambah beli/kredit rumah
kelak ^-^
Sebelum rempong memilah dan mengepak, pertama-tama sudah
lebih dulu repot cari kontrakan. Deuuuh, cari kontrakan yang cocok ini juga
satu seni tersendiri. Iya memang, zaman sekarang kita nggak lagi tergantung
info orang ke orang atau iklan di koran. Banyak aplikasi yang menawarkan info rumah kontrakan. Masalahnya,
dari sekian banyak info yang foto dan spesifikasinya tampak OK, belum tentu
kami merasa cocok saat melihat langsung. Ada juga beberapa rumah yang kami
merasa cocok. Sebaliknya si empunya
rumah yang tak cocok dengan kami karena masalah SARA. That’s true.
repotnya sorting and packing pic : www.amaliasolicha.wordpress.com |
Singkat cerita ketemu deh rumah yang cocok. Mulailah
merancang rencana pindah. Pindahan kali ini jelas berbeda dengan pindahan enam
tahun lalu, saat anak baru satu. Itupun masih bayi berusia dua bulan. Lebih
beda lagi dengan masa lalu, ketika masih berstatus karyawati. Saat itu, saya sempat
mengalami tiga kali pindah AKDP. Tapi tiap pindah nggak rempong-rempong amat
tuh. Properti seorang gadis-single-yang-nggak-hobi-shopping jelas terbatas.
Satu-dua koper ditambah dua-tiga dus, cukup sudah. Perabot? Mana perlu angkut,
wong saat itu tinggal di kos-kosan. Kalau perabotnya ikut diangkut malah bisa
kena pasal pencurian :D
Pindahan waktu itu sih cukup naik travel dengan tambahan
biaya bagasi. Nggak perlu seperti sekarang yang mesti memakai jasa
ekspedisi. Apalagi di kantor suami saya,
banyak urusan mesti pakai proposal. Seperti urusan jasa angkutan pindahan
barang ini. Nggak bisa langsung memutuskan pakai cargo X, terus bayar sendiri
lalu reimburse ke kantor. Prosedurnya mesti minta jasa ekspedisi survey muatan,
lalu minta mereka buat surat penawaran ke perusahaan. Kalau disetujui, barulah
OK.
Eh ya, setelah nanti sampai tempat pindahan, sudah menanti
kerepotan baru bernama menata barang. Segala-gala yang kemarin dipak, dibongkar
lagi untuk ditata sesuai kondisi rumah baru. Ini biasanya juga makan waktu yang
tak singkat. Kadang malah ada dus-dus tertentu yang sampai lamaaa nggak
dibongkar-bongkar :D. Belum lagi urusan ADAPTASI. Mengenal tetangga kanan-kiri,
juga lingkungan tempat tinggal kini.
Berbahagialah teman-teman yang sudah menetap. Nggak perlu
merasakan semua kerempongan ini. Eh tapi, apakah saya tidak berbahagia dengan
segala keribetan ini? Dari paragraf awal, pilihan kalimatnya macam emak-emak
yang sebel banget dengan status nomaden.
Enggak sih. Sebenarnya saya hepi-hepi saja. Sejatinya,
pindah dari kota ke kota, provinsi ke provinsi adalah sebuah pemenuhan impian,
walau tak penuh. Impian masa lalu adalah pindahan yang kalau bisa tak sekedar
AKAP-AKDP, melainkan ANAB (Antar Negara
Antar Benua). Suka-suka lah bikin singkatan hahaha. Tetap bersyukur walau impian tak penuh tercapai ^-^
Pindah tempat tinggal nyaris selalu berarti mengenal hal-hal
yang serba baru. Tempat tinggal baru, teman-teman baru, kebiasaan (adat-budaya)
baru.... Memang tak semuanya selalu cocok dengan saya. Tapi semuanya menambah
perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman.
Satu hal yang harus saya tebus dengan kerempongan-pindahan.^-^
Posting Komentar untuk "Kerempongan Pindahan"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)