iklan rumah di koran. (dok pribadi) |
Hampir setahun tinggal di
Medan, salah satu acara keluarga saat liburan adalah blusukan lihat-lihat
perumahan. Maklum, kami masih terhitung sebagai “kaum kontraktor” alias “rumah
masih ngontrak”. Blusukan yang ini tentu ada maksud dan tujuan. Tapi, sejauh
ini belum ada juga keputusan final. Ada beberapa hal yang membuat kami belum
bisa melabuhkan hati ke salah satu perumahan yang sudah kami kunjungi.
Aiiih, pilih rumah apa pilih
pasangan sih? Hehehe, seperti saya tulis di sini, suasana cari rumah itu
seringkali seperti cari jodoh. Ada yang dengan mudah dapatnya, ada juga yang
mesti melalui proses berliku. Dan kami sepertinya termasuk golongan yang menempuh
proses agak panjang. Rasa-rasa sudah cocok dan mau deal, eh karena sesuatu hal, jadi batal. Tapi tak apalah, kami nikmati saja prosesnya, termasuk
menikmati jalan-jalan blusukan lihat perumahan. Rupanya, ini jadi alternatif kegiatan
liburan yang menyenangkan juga.
Salah satu hal yang menarik
perhatian saya adalah nama-nama perumahan. Aiih, kalau ngomongin nama, saya selalu
ingat sebuah novel berjudul “Makna Sebuah Nama”. Novel karya penulis berdarah India yang bermukim di Amerika, Jumpa Lahiri. Dengan bahasa yang indah, Lahiri menjalin cerita si tokoh utama bernama Gogol. Nama yang historis bagi si pemberi nama (ayahnya), tapi tak disukai oleh Gogol sendiri. Cerita
lain yang sering saya ingat soal nama adalah novel Biji Sesawi karya almarhum Romo
Mangun. Di awal novel diceritakan tentang bayi bernama Rahadi yang tumbuh sakit-sakitan. Akhirnya, si bayi dianggap "keberatan nama". Nama Rahadi yang dianggap terlalu "priyayi" disulih menjadi Yunus.
Kalau Shakespeare terkenal
dengan ungkapannya, apalah arti sebuah nama? Tentunya itu situasional dan
kondisional ya... Faktanya, soal nama kadang bisa jadi urusan ribet yang makan
waktu, tenaga, uang, dan perasaan. Soalnya, pernah mengalami sendiri keribetan
soal nama ini.
Kembali ke nama-nama perumahan.
Di seputaran Medan ini,saya melihat ada nama-nama perumahan yang membuat saya
tidak bisa lewat begitu saja saat membacanya. Minimal jadi sedikit mikir
(karena unik) atau tertawa (karena lucu) atau heran (karena nggak cocok antara
nama dengan kondisi perumahan). Kurasa, nggak hanya di Medan, di banyak
kota-kota lain juga demikian.
Laiknya nama-nama bayi
kekininan, nama-nama perumahan juga banyak yang kebarat-baratan. Memang masih
banyak perumahan yang memakai nama lokal, semacam “puri”, “taman”, “griya”,
atau “pondok”. Tapi kita juga akan mudah menemukan nama-nama perumahan dengan
embel-embel “residence”, “regency”, “grand”, atau “land”. (Perumahan tempat kami tinggal sekarang juga pakai salah satu embel-embel itu). Tak hanya perumahan
menengah ke atas, perumahan subdisi pun, tak lepas dari nama-nama impor ini.
Mungkin karena di benak sebagian besar kita, apa-apa yang berbau impor itu
terasa lebih keren. Dan lebih mahal.
Seperti saat saya ketemu dengan
sebuah perumahan yang mengandung nama “riverside”. Ya memang betul, letaknya di
sebelah sungai alias “girli” (pinggir kali) kalau kata orang Jawa. Sama-sama
artinya, temen-temen pembaca menangkap rasa yang sama atau berbeda saat membaca
“riverside” dan “pinggir kali”?
Nama-nama perumahan kadang juga
nggak sesuai dengan kenyataan. Istilahnya “jauh panggang dari api”. Mungkin sih
karena nama adalah doa. Kasih nama perumahan yang indah agar kelak jadilah
seperti namanya. Tapi hingga perumahan sold out, doa itu tidak terkabul (karena
nggak diusahakan sih hehehe). Misal perumahan dengan tambahan kata “green” tapi
jauh dari kesan “ijo”. Pohonnya kecil-kecil dan dikiit. Masih mending kalau cat
asli rumah berwarna hijau yaaa, kan ada ijo-ijonya buat ngeles hehehe.
Atau perumahan yang menggunakan
kata “taman”. Tapi di dalamnya nggak ada sepetak pun fasilitas taman dari
pengembang. Ada sih sedikit taman di
halaman mungil beberapa rumah. Tentu saja itu taman bikinan si penghuni. Mungkin
itulah yang diharapkan pengembangnya, tiap rumah bikin taman sendiri hehehe.
Ada juga perumahan yang
menggunakan kata “villa” dan “resort”, tapi letaknya di antara pemukiman padat.
Salah nama atau aku yang perlu revisi pemahaman? Soalnya, selama ini kalau dengar kata “villa” sama “resort”, pikiran saya
langsung mengait pada tempat-tempat berlibur yang eksklusif dan jauh dari kepadatan.
Memang sih, sejauh ini sih belum pernah
kedengaran orang ribut atau batal beli rumah gara-gara nama perumahannya. Mungkin saya saja yang terlalu nyinyir. Laiknya orang nyinyir, beli kagak – nyinyir iya
hahaha.
Salam
Posting Komentar untuk "Alkisah Nama-Nama Perumahan"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)