Jalan-jalan seputar Medan kali ini kembali mengunjungi
daerah yang secara administratif bukan di Kota Medan-nya (sah-sah saja, namanya
juga “seputar” hehehe). Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan terletak di
kabupaten sebelah, yakni Serdang Bedagai. Pengin ke sini gara-gara
“terprovokasi” artikel di internet sih. Dengan judul “kampung hindu” dan foto
pura yang cantik, sepertinya ini destinasi yang menarik. Kok judulnya pakai "tanda tanya"? Baca dulu yak..
Dua minggu lalu, kami sudah berencana ke situ. Tapi karena
kesorean, jadi batal. Hip hip, saya dan BJ memang tipe geje (nggak jelas) soal jalan-jalan, apalagi kalau cuma jalan-jalan
seputar kota. Kalau direncana sejak jauh hari, malah sering batal. Giliran
dadakan atau kalau-memungkinkan-pergi-kalau-tidak-nggak-usah malah terlaksana.
Ke Pegajahan ini pun sebenarnya kami rencanakan pergi hari Sabtu. Tapi
karena ada tukang datang untuk beresin rumah, jadi batal deh. Padahal sudah
ajak-ajak teman segala. Bersyukur mereka nggak bisa ikut karena ada agenda
sendiri. Coba dia ok...kan kami nggak enak.
Keluar pintu tol, kami belok kiri lalu pilih jalur
kiri lagi saat bertemu pertigaan Bengkel. Setelah melewati jembatan di atas
jalan tol yang tadi kami lewati, kami menyusuri perkampungan di antara
perkebunan sawit. Ada pemandangan baru yang bisa kami tunjukkan pada Ale-Elo,
yakni –pabrik-pabrik batu bata lengkap dengan tungku-tungku besarnya. Meski
cuma sekedar lewat, setidaknya dua anak itu bisa mengerti bagaimana dan dari
mana batu bata rumah berasal. Buat kita bukan hal baru, tapi buat mereka itu
kan baru๐
Di perjalanan, kami malah ketemu R-Zoo, sebuah kebun
binatang yang dari luar tampak menarik. Eh tapi, fokus dulu pada tujuan awal,
yakni ke Pegajahan. Nanti baliknya bisa mampir ke R-Zoo. Tak seberapa lama,
kami sampai di sebuah kampung dengan gerbang beraksen Bali. Pasti itu deh
tempatnya. Kalau dihitung dari pertigaan Bengkel, jaraknya mungkin sekitar 10
kilometer (perkiraan saya yang sering nggak jelas soal jarak dan peta wkwkwkwk). Total waktu perjalanan dari Medan nggak sampai 2
jam (dengan perjalanan santai).
Tepat seperti kami duga, itu memang desa yang kami tuju. Tak
jauh dari gerbang beraksen Bali itu, kami bertemu pura seperti yang kami lihat
fotonya di internet. Celingak-celinguk, sepiii. Nggak ada aktifitas apapun di
pura tersebut. Ada rasa antara mau turun atau tidak. Tapi mosok nggak turun, tanggung banget sudah sampai TKP. Akhirnya, parkir
tak jauh dari pura. Lalu kami menyambangi warung yang tepat berada di depan
pura. Alelo langsung girang karena bisa jajan. Huh...
Kami tak beruntung.
Kata anak muda yang
jaga warung, bapak juru kunci pura baruuuu saja selesai bersih-bersih dan
pulang ke rumah.
“Itu rumahnya nggak jauh kok,” kata si penjaga warung
(berhubung saya nggak tanya siapa namanya, saya sebut saja Bang Warung –maap ya
Bang).
Hhhmmh...dalam hati sih pengin banget ke rumah bapak juru
kunci dan ngobrol-ngobrol. Tapi, ada rasa segan karena kami hanya pengunjung
biasa, nggak ada tujuan khusus kecuali “main-main.” Juga bukan siapa-siapa
(wartawan/akademisi/mahasiswa dan status lainnya) yang punya tujuan khusus
dalam berkunjung ke pura (hihihi...kasihaaan). Jadi lah, saya dan BJ memutuskan
untuk nggak ke rumah si bapak. Ngobrol-ngobrol saja sama Bang Warung.
Konon, dulu di kampung tersebut memang banyak penduduk Hindu
Bali. Mereka datang dari Bali tahun 1960-an sebagai pekerja perkebunan. Menurut
laman ini, saat itu ada 50-an Kepala Keluarga atau sekitar 200 jiwa warga Hindu
Bali di Pegajahan. Mereka tinggal di sana berdampingan dengan warga asli maupun
pendatang lain yang berasal dari bermacam-macam etnis.
Namun, Bang Warung bilang saat ini hanya ada delapan
keluarga Hindu Bali yang tersisa di Desa Pegajahan. Entah ini angka yang valid
atau tidak (kan hanya ngobrol-ngobrol sama warga, bukan sama perangkat desa
atau juru kunci pura). Di tautan di atas (yang tulisannya dibuat tahun 2013),
masih terdapat 11 keluarga Hindu Bali.
Berkurangnya warga Hindu Bali asli disebabkan oleh beberapa
hal, di antaranya kembali ke kampung halaman, pindah ke tempat lain atau pindah
keyakinan. Dengan jumlah keluarga yang hanya tinggal sedikit, rasanya sih sebutan
“kampung Bali” sepertinya kurang tepat untuk saat ini. Dengan jumlah keluarga
yang tinggal sedikit, bisa dibilang mereka hanyalah komunitas kecil (kata lain
dari minoritas). Jadi, jangan bayangkan akan menemukan “suasana Bali” yang
kental di tempat ini. Itulah sebabnya di judul tulisan sengaja saya beri "tanda tanya".
Tapi setidaknya, kita bisa menemukan jejak-jejak fisik yang
masih tegak. Seperti Pura Panataran Dharmaraksasa yang didirikan tahun 1989. Pura
ini masih bagus dan terawat serta rutin digunakan untuk ibadah warga Hindu
setempat. Menurut Bang Warung, kadang juga ada kunjungan dari umat Hindu dari
lain daerah. Pura bagian luar kadang juga dipakai untuk kegiatan non-keagamaan
seperti pre-wedding. Berhubung pintu pagar terkunci, kami hanya
melongok-longok dari luar. Untuk pemandangan dalam, saya jadi pinjam video dari
youtube deh :
video by travellingmedanTV
Seandainya saat itu kami berkunjung ke rumah juru kunci atau
berbincang dengan warga Hindu Bali yang sudah senior, pasti ada banyak hal menarik
yang bisa saya ceritakan di sini. Bagaimana mereka datang ke sana, bagaimana
mereka berbaur, bagaimana mereka bertahan, bagaimana harapan mereka ke
depan....dan sebagainya.
Untuk wisata sejarah, ini pasti menarik. Beda ceritanya
kalau jalan-jalannya bareng krucil, seperti Ale-Elo. Akan susah ngobrol
lama-lama karena mereka pasti bakalan bosan. Mungkin akan menarik buat
anak-anak kalau datang ke sana saat hari raya agama Hindu.
Kedatangan kami kemarin, terasa nanggung sih. Jadi terasa sekedar
melihat dan sekedar tahu. Yaaaah, setidaknya pernah ke sana.
Seru banget ya, jadi pingin liburan ke sini. Sekalian nambah pengethuan budaya.
BalasHapus