Bulan kemarin, kami dikunjungi
rombongan keluarga dari Simalungun. Sebanyak 14 orang, dewasa dan anak-anak,
menginap satu malam saat week-end. Dengan kami empat anggota tuan rumah,
berarti saat itu total ada 18 orang. Jelas senang-lah dikunjungi keluarga. Tapi
di Rumah Ben, ukurannya yang minimalis nggak muat buat tidur sekian orang.
Terpaksa ada yang tidur di teras. Haha..ngenes banget.
Rumah Ben...selanjutnya, saya
akan menggunakan nama ini setiap kali menyebut rumah yang kami tinggali saat
ini. What’s a name, gitu kan ungkapan klasik ituuu. Tapi saya merasa perlu
kasih nama karena kami sudah pindah rumah beberapa kali dan masih potensial pindah
rumah lagi. Kasih nama pada tiap rumah itu memudahkan aja sih buat cerita. Rumah
di sini saya batasi sejak berumah-tangga. Soalnya setelah menikah kan memang
tinggal di satu rumah utuh gitu. Beda sama masih lajang, ngekost yang cuma
nyewa satu kamar ramai-ramai serumah dengan banyak orang.
Hmmmh..kalau dihitung sejak
ngekost, betapa hidup sudah berkali-kali-kali-kali pindah rumah. Rumah orang of
course hehehe.
Setelah mengakhiri fase Long
Distance Marriage, kami tinggal di Rumah Sarinembah, lanjut ke Rumah
Halilintar, lalu ke Rumah Gading, barulah Rumah Ben. Kenapa Rumah Ben, simpel
aja sih. Karena ada unsur Ben dalam nama perumahan ini. Ben, kalau di bahasa Jawa
bisa berarti “biar saja”. Sering digunakan untuk mengungkapkan sikap pasrah
atau cuek. Semacam “elek-yo-ben” gitu lah.
Sementara kalau di orang atau
tokoh, bagi saya nama Ben selalu
mengantarkan ingatan pada Filosofi Kopi, novel Dewi “Dee” Lestari. Ben, si
barista yang pernah bangga banget karena berhasil menciptakan kopi Perfecto.
Kebanggaan yang terhempas bebas karena kopi tiwus dari Klaten. (Meski fiksi,
tetap saja bikin saya bertanya-tanya, Klaten daerah mana yang adalah penghasil
kopi. Bagi yang tahu, bisalah kasih tahu ^-^)
Developer menggunakan nama Ben
untuk beberapa perumahan yang dia bikin. Pembedanya hanya nama jalan atau
daerah lokasi perumahan. Jadi kayak nama kantor cabang gitu deh, seperti BCA
Katamso, BCA Sudirman, BCA Imam Bonjol. Akibatnya, kalau cuma nyebut nama
kompleks tanpa diikuti jalan/lokasi, bisa bikin disinformasi.
Pernah seorang
kawan diantar ojek online ke kompleks Ben yang bukan tempat tinggal saya. Bersyukur
saat itu masih banyak tukang bangunan yang salah satunya bersedia anter temen ini
ke tempat saya. Memang Ben yang itu, jaraknya nggak seberapa jauh dari Rumah
Ben kami. Yihii, kayaknya si driver ojol juga belum ngerti kalau kompleks Ben
itu ada beberapa. Kalau ketik nama kompleks doang –di Google Map, tanpa
jalan/lokasi, bisa-bisa ditunjuk ke kompleks Ben yang lain.
Jadi penasaran, apa spesialnya
nama itu sampai-sampai developer membikinnya jadi nama sekian kompleks. Sayangnya,
pas dulu masih sering kontak sama orang developer, malah nggak kepikiran buat
tanya. Ya emang juga nggak penting banget sih... eh tapi penting sih kalo demi
rasa penazaran hahaha.
Well, Rumah Ben adalah tempat
pertama yang kami tinggali tanpa label kontrakan (Puji Tuhan, haseeek). Kali
ini labelnya adalah kreditan (syukur dan haseknya lanjut tarik nafas panjaaang
wkwkwk). Ya..maunya sih beli rumah itu cash. Tapiii, ya kan beli rumah nggak
kayak beli lombok. Masih butuh bertahun-tahun untuk rumah ini sah jadi hak
milik. Semoga lancar-jaya bayarnya. Bahkan, sekiranya ada keajaiban, rumah ini
bisa ditebus penuh kurang dari tenor kreditnya. Amiin.
Rumah Ben juga tempat termungil
yang pernah kami tempati. Bener-bener minimalis dalam arti yang sebenar-benarnya.
Dua kamar, satu dapur, satu kamar mandi dan satu ruang serbaguna dengan luas
serba terbatas. Makanya, di bagian depan, teras kami modifikasi sebagai ruang
tamu terbuka dengan cara memangkas halaman depan. Alhasil, sisa halaman tinggal
seuprit. Dengan ukurannya, nggak heran kalau saat belasan tamu menginap, sampai ada yang ngampar di teras hahaha.
Karena ukurannya juga, saat
pertama-pertama tinggal di Rumah Ben, si bungsu Elo sempat menyebutnya “rumah
kucing”. Hihihi, ekstrim dan sarkas banget kan ya...FYI ya Elooo, untuk rumah
kucing aja kita mesti nyicil lhooo. Penginnya sih rumah yang gede. Tapi rumah
gede, duitnya juga mesti gede. Nah etaaa...
Nggak heran juga sih kalau Elo
sampai segitunya. Soalnya, rumah yang kami tempati sebelumnya, berukuran lebih
besar. Rumah yang dalemnya bisa buat maen sepedaan (karena minim perabotan
hahaha). Rumah-rumah sebelumnya juga selalu
punya ruang yang bisa kami fungsikan sebagai gudang. Nah, ruang itu tidak ada
di Rumah Ben. Jadi, saat pindahan, banyak barang yang mesti kami lepas. Sudah
susah menyimpan barang-barang yang “dipake enggak, dibuang sayang”. Pengganti
ruang gudang hanya para-para berukuran sekitar 1x1 meter yang dipasang diantara
dinding dua kamar tidur. Jelas hanya sedikit barang yang bisa ditaruh di situ
kan?
Kami pindah ke Rumah Ben di
bulan kedua tahun 2018. Pindahnya tepat tanggal 14, jadi gampang mengingatnya.
Konon hari kasih sayang, semoga rumah ini pun penuh dengan kasih dan sayang.
Amiin.
Laiknya banyak keluarga lain,
punya rumah butuh perjuangan. Beda lah sama #crazyrichsurabayan gampang aja
beli rumah senilai miliaran. Sampai sama rumah sendiri pun bisa lupa karena
saking di mana-mana propertinya hahaha.
Sangat menginspiratif sekali mbak :)
BalasHapusmakasih mbak nisa :)
Hapus