Di postingan sebelum ini, aku sedikit bercerita tentang
“sesuatu yang tidak terduga, yang terjadi di awal September ini.” Sesuatu yang
jauh hubungannya dengan blogging maupun kegiatan menulis lainnya (meski bisa
saja sih kalau dihubung-hubungkan :P). Sesuatu yang adalah bagian kecil dari
semesta kuliner dan memasarkannya.
Hihi.. it seems like something very special gitu ya. Padahal
sesuatu itu“cuma” menerima pesanan dan akhirnya sekaligus membuat nugget ayam
dengan sayuran untuk dijual. Aku sengaja
mengapit kata cuma dengan tanda kutip. Karena, bagi orang lain bisa jadi itu bener-bener
CUMA alias remeh temeh remah rengginang. Apa’an sih cuma bikin dan jual nugget
ayam dengan sayuran aja kok? Tapi buatku yang selalu merasa nggak pandai
mengolah bahan makanan, apalagi menjualnya, kata cuma itu bener-bener harus
diapit tanda kutip.
"CUMA itu memang relatif. Sesuatu bisa jadi CUMA buat kita, tapi luar biasa bagi orang lain. Demikian juga sebaliknya."
Padahal, seharusnya hal semacam ini bukan hal aneh buatku. Soalnya,
gini-gini aku tu lulusan STM jurusan Teknologi Hasil Pertanian (THP). Iyesss, aku anak STM!! (Pantesaaan...rada-rada tomboy. Sampai emak-emak pun masih tetap tampak
tomboy).
Etapi kalo soal tomboy sih uda bawaan orok :D. Nggak ada
hubungan sebab akibat sama ke-esteem-anku. Soalnya, STM-ku malah nggak terlalu
maskulin seperti cap STM pada umumnya.
Stemba Tema alias STM
Pembangunan Temanggung, itulah sekolahku dulu. Meski berlabel STM, tapi rasanya
sekolahku cukup feminin. Terutama (saat itu) untuk jurusan THP yang jumlah
siswa-siswinya cukup berimbang. Memang sih, di jurusan satunya, yaitu Agronomi,
jumlah murid laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Tapi kesan feminin itu
tetap kuat karena mayoritas siswi di Stemba mengenakan hijab. Makanya, bagi
siswi non-muslim seperti aku, mudah banget dikenali karena memang hanya sedikit
yang tak berhijab.
Jadi kalau masih ada saja kesan bahwa STM itu sekolahnya
anak laki-laki. Terus lekat dengan tawuran dan sebagainya yang “anak laki-laki
banget”, Stemba adalah salah satu pengecualian.
Apalagi kalau di jurusan THP, praktikumnya juga terasa feminin lho. (Eh
ini bukan bikin dikotomi feminin maskulin yaak...sekedar mengikuti persepsi
umum saja mengenai apa yang tampak feminin atau maskulin).
Salah satu praktikum anak THP waktu itu adalah Pengolahan
Hasil Pertanian (PHP). Ini praktikum yang asik karena kami akan mengolah
bahan-bahan pertanian. Kalau nggak salah ingat nih, di kelas satu pelajarannya
adalah mengolah bahan berbasis karbohidrat (seperti beras dan umbi-umbian). Di
kelas dua, fokus mengolah sayur dan buah-buahan (antara lain bikin asinan dan
manisan buah dalam kaleng). Di kelas tiga belajar pengolahan produk-produk
hewani (contohnya mengolah sosis dan produk daging kalengan).
Terakhir di kelas empat, usai Praktik Kerja Industri, kami
fokus di kelas kewirausahaan (KWU), yakni murid-murid dibagi dalam
kelompok-kelompok. Tiap kelompok harus membuat sebuah rencana usaha, lalu
mengajukan proposal ke guru pembimbing. Setelah itu masing-masing kelompok
mendapat dana pinjaman usaha dan harus benar-benar menjalankan rencana
usahanya. Kalau sekarang banyak sekolah
mengajarkan enterpreneurship, sekolahku sudah duluuu banget.
Eh bentar-bentar. Kelas empat? Nggak salah baca nih?
Enggak kok. Kami anak-anak Stemba memang sampai kelas empat.
Kalau umumnya masa putih abu-abu itu cuma tiga tahun, kami empat tahun! Aku
nggak hafal sejarah STM Pembangunan (dulu pernah dikasih tahu, tapi lupa
hahaha). Intinya di Indonesia ada beberapa Stemba yang masing-masing berbeda
program studinya. Stemba-stemba ini adalah cikal bakal seluruh SMK di
Nusantara.
Setelah nama STM dihapus,
nama almamaterku berubah menjadi SMK Negeri 1 Temanggung. Kurikulum dan
lain-lainnya pun pasti banyak berubah seiring perkembangan dunia pendidikan dan
industri. Hihi, jujur aku tu termasuk alumnus yang nggak berbudi. Sepertinya
aku baru sekali main ke sekolah sejak lulus tahun 1999 (sudah lama banget ya
kaaan). Aku juga baru sekali ikut acara
reuni dan memang aku nggak terlalu banyak kontak dengan sesama alumni. Kok jadi
berasa sombong yaaa... padahal bukan bermaksud begitu :D
Sekian flashback-nya. Sekarang ke fokus cerita.
Nah, dari cerita tentang sekolahku di masa lalu itu, bikin
nugget ayam sayur mah apa atuh yaa... Harusnya aku bisa melakukan lebih. Tapi entah deh...
lulus dari Stemba, aku lolos UMPTN di jurusan Penyuluhan dan Komunikasi
Pertanian di Universitas Sebelas Maret (mau ikut UMPTN jurusan THP-UGM sudah
merasa nggak mungkin tembus duluan wkwkwk). Selepas kuliah, kerjaannya nggak di
dunia pertanian tapi malah di media massa. Dan selama rentang waktu itu aku
merasa ilmu THP-ku prithil sedikit
demi sedikit dan akhirnya seperti tak ada yang bersisa :D
Bahkan, setelah menjadi emak-emak, aku selalu melabeli
diriku sebagai “ibuk-ibuk yang nggak pinter memasak.” Karena memang itu fakta dan realita. Padahal dulu setidaknya seminggu sekali
praktikum di laboratorium PHP, yang meski titik berat tujuan belajarnya berbeda
dengan jurusan tata-boga, tapi kan tetap saja mengolah bahan makanan.
Hihi, embuhlah...
Kalau aku cukup rajin bikin nugget, pendorong utamanya
adalah karena anak-anakku susaaaah makan sayur. Terutama si bontot Elo tuuu...
yang kalau ada cuilan ijo-ijo sediiiikit saja di piringnya langsung dicuthik
keluar. Dulu si sulung Ale juga begitu, tapi puji Tuhan, seiring bertambah usia
dia lumayan doyan sayuran. Nggak doyan banget sih, tapi nggak terlalu seekstrim
Elo dalam hal menolak sayuran.
Jadi, buatku, nugget sayuran beneran inovasi yang praktis.
Hihi iyaa..inovasi lama memang, tapi kan tetap inovasi toooh...Terberkatilah
dia (atau mereka) yang menemukan kreasi nugget dan sebangsanya. Sehingga
sekarang aku tinggal meniru untuk membuatnya. Dulu awal-awal bikin nugget buat
Ale, aku contek resep nugget ayam wortel dari Mbak Diah Didi. Kalau sekarang memang sudah aku modifikasi sendiri.
Nah, begimana ceritanya kok sekarang jadi jualan?
Awalnya adalah acara komsel (ibadah keluarga) di rumahku.
Semacam wirid atau pengajian di rumah-rumah gitu deh kalau di temen-temen
muslim. Untuk acara ini, sebenernya nggak wajib menyajikan makanan. Tapi
biasanya ada kue-kue, bahkan ada juga yang menyediakan makanan berat. Waktu
itu, aku meniatkan diri bikin bakso ayam brokoli. Sebenernya ini juga menu buat
si bocah penolak sayur itu sih. Karena kalau sekalian dicampur ke bola daging,
Elo mau makan. Aku suka buat bakso ini untuk stok. Ntar masaknya tinggal
dikasih kuah kaldu jamur.
Agak deg-degan juga saat membuatnya. Karena aku tu sering
nggak pede kalau memasak untuk ukuran besar. Besar di sini bukan ukuran pesta
kawinan yaa :P. Pokoknya kalau jumlahnya sudah lebih dari ukuran kebutuhan
keluarga kecilku (yang cuma empat orang), aku sering nggak yakin dengan
masakanku.
Tapi saat itu aku niatkan hati. Pakai berdoa segala saat
memasaknya. Takut rasanya ambyar gagal total wkwkwkw. Puji Tuhan, nggak
gagal-gagal amat. Bahkan, berawal dari bakso brokoli, komsel malam itu malah
jadi ngomongin soal entepreunership. Penting buat setiap kita untuk menangkap
peluang dan mengembangkan kreatifitas. Selain menjadi berkat bagi diri sendiri,
juga bisa menjadi berkat bagi orang lain.
Tapi aku masih tetap merasa, ah masa aku jualan makanan sih?
Masih tetap nggak terpikir untuk melakukannya.
Minggu selanjutnya, gereja ROLC tempat aku berjemaat merayakan ulang tahun kelima. Untuk acara
makan-makan, kaum ibu-ibu yang memasak. Supaya efektif dan efisien, memasaknya
dibagi-bagi (jadi nggak acara masak bareng gitu). Berhubung aku nggak pinter
masak, aku minta jatah nyiapin menu anak-anak sekolah minggu aja, yakni menggoreng
sosis dan nugget. Sosis dan nuggetnya beli di toko-toko itu, jadi aku tinggal menggoreng.
Pokoke sing paling gampil ^_^
Tapi tiba-tiba aku kepikiran kalau nuggetnya aku bikin aja.
Kan sudah biasa. Toh jumlahnya juga nggak terlalu banyak. Aku bilang sama
koordinator memasak dan disetujui. Jadilah hari itu aku bikin nugget
ayam-wortel dari sekilo daging ayam dan ternyata ludes. Jumlahnya tak mencukupi
untuk sekian anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan ^-^
Komentar positif terhadap nugget plus sharing saat komsel
bikin aku memberanikan diri untuk kembali bikin sekilo nugget dan aku tawarin
ke temen. Ternyata responnya juga positif, bahkan ada repeat order. Awal aku tawarin ke teman, kemasannya masih
kantong plastik bening yang biasa untuk gula pasir itu. Sekarang, aku pakai
kemasan kotak plastik yang bisa dipakai kembali untuk keperluan lain
(re-useable).
So far, aku belum rutin bikin sih. Produksinya juga masih sekilo-dua
kilo karena aku masih pakai chopper kecil (yang sepaket sama blender) untuk
menggiling dagingnya. Dengan chopper itu, menurut petunjuk pemakaian, sekali giling hanya maksimal 180 gram.
Terbayang dong, kalau bikin 2 kilogram daging aja, aku mesti sepuluh kali
menggiling. Belum termasuk menggiling sayurnya :D. Aku nggak mau menggiling daging
di luar karena nggak nemu tempat nggiling yang aku yakin bersihnya.
Hihi..sebenernya nggak nyari juga sih, soalnya kalau nanya orang, rata-rata
jawab “ya tahu sendiri-lah” soal kebersihannya.
Aku bukan tipe OCD soal kebersihan, tapi juga nggak mau-lah kalau jorok.
Banyak usaha dijalankan berdasarkan rencana yang detail,
from A to Z. Di sisi lain, ada juga usaha yang berawal “tanpa sengaja.”
Beberapa orang mendorongku untuk lebih serius menjalankan usaha ini. Aku
sendiri melihat adanya prospek. Ada celah pasar yang bisa disasar. Plus, zaman
digital membuatku tak perlu terlalu cemas soal pemasaran. Aku juga menyukai apa
yang kubuat karena rata-rata pembeli nuggetku adalah ibu-ibu yang anaknya susah
makan sayur. Membuat produk ini seperti menjalankan misi untuk membantu
anak-anak supaya mau makan sayur (yang awalnya adalah misi pribadiku buat
Alelo).
Menjalankan usaha yang sejalan dengan misi pribadi itu
sangat penting. Mengingat beberapa tahun lalu aku pernah ikut sebuah MLM
kecantikan. Aku sempat berambisi untuk melakukan apa yang aku tidak suka
(selama menjalankannya, passion pada kecantikan dan perawatan tubuh tetap tidak
tumbuh :D). Tapi kemudian aku sampai pada satu titik di mana aku benar-benar
merasa tidak bisa meski levelku sudah cukup menjanjikan.
Tapi mungkin jiwa usahaku belum terasah ya, jadi meski
melihat peluang, tetap saja mentalku masih maju mundur. Bagaimanapun, untuk
menjadikannya lebih serius, menurutku perlu persiapan dan perhitungan yang
matang. Faktanya, dari dulu aku memang
pengin bisa menghasilkan income dari rumah. Sejauh ini, kadang aku memang
mendapatkan job (yang berhubungan dengan menulis), tapi sifatnya insidental,
belum rutin. Apakah justru nugget ini memang cara yang diberikan Tuhan untukku?
Tapi kok malah bukan dari menulis? Atau justru ketika aku punya kesibukan lain,
aku akan jadi lebih produktif menulis?
Siapapun yang membaca ini, pasti bisa menangkap kegalauanku
:D. Jiaaaah...gini aja galauuu. Yah, mungkin ini hanya sekelas “gini aja” bagi
orang lain, tapi buatku enggak “gini aja” huhuhu. Setidaknya, saat ini aku cukup antusias dengan
fakta bahwa aku bisa melakukan apa yang semula kupikir tidak mungkin aku
lakukan (makanya aku sampai menuliskan ini).
"Barangkali aku perlu lebih banyak berdoa, lebih berani bermimpi, dan mau menjalani prosesnya. Kalau memang ini buatku, pasti akan ada jalan menuju ke arah sana." (*)
Akhirnya malah jadi bimbang yaa mau diseriusin atau nggak mba.. Hahaha.. Dilanjut saja, terus nanti pengalamannya dituliskan lagi.. :D
BalasHapussiap lanjuutkan, mas dinul hahaha
HapusDUlu jaman aku sekolah memang anak STM identik dengan tawuran ya, tapi skr udah gak lagi kayanya ya mbak. Blognya mbak Diah didi jadi andalan aku juga kalau mau contek resep.
BalasHapusNgomongin soal usaha, aku juga bingung mau usaha apa selama ini.
kadang masih dengar anak2 STM tawuran. tp kalo soal tawuran, anak2 SMU jg ada ya kan mbak :)
Hapuswaah terus semangat mbaa. aku dukung :)
BalasHapuskalo aku masih bimbang nyari usaha buat pensiun mau bikin apa
thanks semangatnya mba inna :)
HapusHebat mbak.. Dulu sekolah STM... Dan aku baru tau kalau STM itu ada jurusan pertanian saya cuma mesin sama teknik saja
BalasHapusSTM macem2 banget memang mbak...di pekalongan kalo ga salah Stembanya jurusan yg terkait dg pertekstilan
Hapuswaaah itu mah diseriusin oke...dijadiin hobby juga boleh bangeeet...hehehe
BalasHapusaku mau lihat resepnya juga ah ke mba IG mba didi hahaha...mo nyontek buat nambahin koleksi bekal anak2
yuuk mak ophi...segera cuzz ke blog mba DD :)
HapusJalanin aja, Mbak. Syukur-syukur malah bisa jalan semuanya. Jualan nugget dan menulis :)
BalasHapusamiin mbak mira. thank youuu
HapusMantap, mbak. Lanjutin aja usaha nuggetnya. Tanoa sadar itu sebenarnya terbantu ilmu dari STM dulu ya
BalasHapushaha..iya kayaknya ya mbak. meski rasanya uda printil ternyata msh nyangkut
HapusLanjut terus mbak. Mungkin benar ini cara Tuhan untuk mengubah remahan rengginang menjadi remahan berlian.
BalasHapusKali aja nanti bisa lebih banyak berkreasi, terus menulis buku resep dan diterbitkan. Jadi nulisnya tetep jalan juga
waah...remah rengginang jd remah berlian..sukaaa istilahnya ini mbak nanik :)
HapusHidup anak STM haha, itu nuggetnya bikin ngiler euyy,
BalasHapuskmarin nama STM jg kd hits pas demo2 ya mbak :)
HapusJadi ingat dulu waktu SMA depan sekolahku STM, bisa dibayangin tawuran itu kayak minum obat, tiga kali seminggu hahaha, damai besok tawuran damai lagi tawuran lagi...ampun. Tapi kalau urusan masak aku aja yang SMA agak gimana gitu kalau sudah urusan masak, tapi demi anak-anak belajar masak deh. Salut mbak bisa memulai bisnis, mudah-mudahan laris manis, jangan kayak aku nih mbak, cuma niat doang.
BalasHapusSTM dulu tu mungkin cocok dg kepanjangan sekolah tawur menerus ya mbak hahaha
HapusKeren loh mba, ada kesempatan untuk melanjutkan bisnis nuggetnya. Ayo semangat, kenapa galau. Enggak semua orang punya kesempatan dan kemampuan sepertimu lho. Aku aja pengin bisnis sendiri dari dulu ga jalan2.
BalasHapusgalaunya krn pasti jd ada yg berubah dr rutinitas. bisa nggak ya... ^_^
HapusWah blender kita sama'an, hehehe gagal fokus. Salut banget sama perjuangan ibu yg satu ini meskipun agak tomboy hehehe
BalasHapusblender edisi murmer ya kan mbak ruli...dibandingkan merk P hahaha
HapusWih mantap, Mak. Dari yang awalnya gak pede lantas bisa. Jurusan THP di jaman now penting banget ya buat bekal bisa berwirausaha. Mantap, Mak. Lanjutkeun. 😍
BalasHapussiap lanjuuut mba niar ^_^
HapusSTM sampai 4 tahun, lama juga, yaaaa. Btw, selagi bisa dan emang ada waktu, mending jalanin saja usaha rumahan bikin nuggetnya, Mbak. Sudah ada peluang juga. Sambil menunggu job-job menulis. Hihihi.
BalasHapushihihi..iya mbak. lagipun jobnya blm rutin :)
Hapusgara² nugget jadi bisa nuliskan ini. Jalani saja mba, nanti akan terarah ke mana. Btw, selamat ya mba, saya pun masih mencap diri gak bisa masak
BalasHapusyup mbak...jalani saja. jangan cuma galau dan rencana ya kan
HapusDiterusin aja usahanya Mba, yang penting konsisten rasa dan kualitasnya.. ntr bs jd inspirasi utk Moms yg lain,. Semangat!
BalasHapusthank youuuuu mbak (atau mas ya?) hahaja
HapusMayoritas memang anak STM memang lelaki ya mbak, tapi salut deh sama kamu yang sekolah di tempat dominan para lelaki. Btw, lanjutkan mba jualan nugget nya siapa tau bisa jadi kadang rejeki baru
BalasHapusSTM ku dulu perempuannya jg banyak sih mbak :)
HapusAku pernag nyoba juga nugget ayam mbak diah didi. Rasanya enak. Anakku juga suka
BalasHapusresep2 mb DD mmg banyak yg cocok ya mbak liza
Hapussmk 4 tahun,lulusnya D1 kah mak? nuggetnya terlihat mengggiurkan, nyari usaha yang bener bener klik bgt sama passion itu emang susah susah gampang ya maaaak. Tapi teteup ga boleh patah semangat. Semangat terus ya maaaak
BalasHapustwtap bukan D1 statusnya mbak hahaha.
HapusAku dulu waktu sekolah pernah kepikiran untuk masuk STM, tapi cancel karena ortu khawatir aku gimana2 di tengah-tengah banyak anak cowok
BalasHapusdulu sempat mau ke jurusan apa mb nia?
HapusSuka banget sama nugget homemade.
BalasHapusPasti lebih sehat dan lebih enak.
Aman buat anak-anak.
Ayoo..kak, semangaaatt~
thank you mb lendy :)
HapusSaya suka banget deh baca tulisan yang ceritanya sangat jauh berbeda dari apa yang saya lihat sehari-hari di sekitar saya. Kayak cewek anak STM gitu belum pernah punya teman anak STM yang cewek pula haha. Semoga lancar terus ya Mbak sama nugget sayurannya.
BalasHapusamiin..thanks mbak. Iya aneh itu krn kita jarang ketemu sih ya. Bahkan saya pun kdg msh merasa aneh sama anak cewek masuk stm mesin..hahahha
HapusAku coba resep Mba Diah Didi hasilnya zonk, hahah, beda tangan emang beda hasil. Berarti mba emang terampil di situ. Buktinya nugget ayam wortel langsung ludes. Semoga menjadi jalan rezeki yaa dengan berjualan makanan sehat.
BalasHapuspas lg ga mood kali mbak helena. jd zonk hehehe. aku kalo lg ga mood tp maksain masak jg sering zonk meski itu resep yg uda biasa bikin
Hapuskeren kak. saya perlu nyontek resep beliau juga nih. siapa tahu bs buka peluang usaha ya kak. duuuh saya selama ini bingung looh mau usaha sampingan apa, saya jg belum pintar masak
BalasHapussmpai bales2 koment ini, saya jg msh belum rutin bikinnya hahaha.
Hapus