pic from bisniswisata.co.id (karena kemarin kami naik Lion Air) |
Sebelum memublikasikan
ini, saya mengecek tanggal artikel terakhir. Sekedar memastikan hal yang sudah
pasti bahwa saya cukup lama hiatus ngeblog. Daaan....sudah lebih dari sebulan saya enggak
menengok “rumah” ini. Fiuuuuh, sapu-sapu, lap-lap, pel-pel dulu biar rada
bersih hehehe.
Padahal, sebelum kembali
jatuh dalam kemandegan ngeblog, saya sudah punya list tema tulisan. Yakni
tulisan-tulisan experience-based selama tinggal di Sumatera Utara. Tulisan yang
akan amat-sangat subyektif dari sudut pandang saya. Yaaaah, tulisan-tulisan
ringan, seringan diri saya yang hanya remah rempeyek kacang ^-^
Saya merasa perlu
menuliskan hal-hal itu sebagai kenangan tentang Sumatera Utara. Bagian
Indonesia yang hampir sebelas tahun saya tinggali. Lebih dari satu dekade yang terbagi di tiga tempat
: Karo, Siantar, dan Medan. Si sulung
Ale, lahir di Karo (that’s why he has name Ladika). Si bungsu Elo, lahir di Siantar
(sehingga dia punya nama Ladiant). Sengaja tidak berdoa meminta anak ketiga saat di Medan karena nama Ladimed terdengar aneh :P.
Intinya, masing-masing
daerah kesan punya dan cerita tersendiri.
Kalau ditanya, kerasan
tidak tinggal di sana? Haha, kalau nggak kerasan pasti sudah sejak lama kami
pulang kampung ke Jawa. Kerasan itu bukan karena selalu senang. Tapi mungkin karena
berusaha lentur menghadapi berbagai keadaan. Di manapun berada, senang dan sedih
itu pasti akan ada. Karena keduanya sudah paket bundling, layaknya promo
handphone dengan sim-cardnya :P.
Kami pergi bukan karena
tak lagi nyaman. Kami angkat
kaki karena menolak kondisi Long Distance Family (LDF). Sepuluh tahun lebih, membuat keseharian di Sumatra Utara sudah terasa biasa. Namun, ketika
tiba waktu harus pergi, hal-hal yang kemarin terasa biasa, mendadak
terasa istimewa. Terasa penting dan perlu diawetkan dalam tulisan.
Tapi memang, selalu ada
alasan untuk kemalasan #eh. Sebulan terakhir, saya cukup sibuk dengan urusan
pindahan. Nggak sibuk-sibuk amat sih kalau soal packing. Toh beberes barang
sudah dicicil sejak lama. Tapi pindahan kan nggak cuma urusan packing. Ada
hal-hal lain yang juga wajib diselesaikan sebelum kami benar-benar pindah.
Oh ya, BJ sudah lebih dulu pergi. Itu berarti, kami berbagi tugas. BJ mengerjakan persiapan kami
tinggal di Makasar. Sementara saya membereskan urusan di Medan (packing, jual/bagi/buang barang, pindah
sekolah, de el el). Bersyukurnya, ada bantuan dari berbagai arah mata angin.
Oh ya, orang-orang yang
rajin menulis berhak bilang : “malas ya malas aja, nggak usah banyak alasan!” Hehehe, iya sih. Maafkan hamba sahaya
yang kadang membiarkan diri ditelan kemalasan.
Jadi, hari ini, 9 Juli
2020, di sebuah titik di Sulawesi
Selatan, saya start menulis lagi. Tulisan ini akan saya sambung dengan cerita tentang pengalaman naik
pesawat terbang di saat pandemi, pengalaman mengurus pindah sekolah antar
provinsi, etc. Kalau sekarang sih sekedar tulisan curhat tentang cinta dan benci tawa dan tangis yang bertabrakan ^-^
TAWA
Selama BJ masih bekerja
di perusahaan yang sekarang ini, pindah-pindah kota tetap akan jadi hal yang
niscaya. Saya nggak kaget sih, secara pekerjaan saya dulu juga punya potensi
pindah ke berbagai daerah di Nusantara. Jadi, beberapa tahun lalu, saya pernah
bilang : “kalau pindah lagi, aku pengin ke Indonesia tengah atau timur.”
Keinginan random tanpa alasan khusus. Sekedar memenuhi rasa ingin tahu dan
ingin mengalami.
Maklum, dulu nge-fansnya
sama Riyanni Djangkaru. Menjelajah adalah hasrat yang terpendam. Bersyukur, hasrat
ini tak lagi menggelegak seiring bertambahnya usia. Pada fase
sekarang, saya sudah cukup mampu berdamai dengan situasi “tak mudah untuk
kemana-mana.” Tapi memang, kisah-kisah perjalanan tetap menjadi tema bacaan
favorit saya sampai sekarang. At least, saya bisa “melihat dunia” dengan
meminjam kaki dan mata mereka yang berbagi cerita. (FYI, salah satu blog favorit
saya adalah milik Agustinus Wibowo, saya menyukai cara penulisan sekaligus
sudut pandangnya dalam bercerita).
Jadiiii, pindah-pindah
kota itu memang repooot. Tapi sepanjang pengalaman yang sudah terlampaui,
kerepotan itu selalu terbayar lunas. Bahkan lebih.
Bukan berarti saya
selalu ready 100 percent untuk pindah. Bagaimanapun, dalam situasi baru selalu ada
tantangan dan ketidakpastian. Dan tak semua tantangan bisa saya atasi dengan
kecepatan ekspress. Bahkan, ada kondisi-kondisi yang tak mampu saya tangani. Kondisi yang
akhirnya saya skip dengan berjuang untuk menerima bahwa saya memang tak bisa
menanganinya.
Duluuu, rasa-rasanya
saya jumawa, yakin bisa menaklukkan semua keadaan. Tapi sekarang situasinya
berbeda, saya lebih memilih untuk rendah hati dan bersandar pada Tuhan (harus
“dihajar” dulu baru bisa berpikir seperti ini hihihihi). Terlebih, saat ini,
saya dan suami tak bisa lagi hanya berpikir tentang kami berdua. Tapi juga
anak-anak yang sudah terikat dalam sistem sekolah formal (saya merasa belum
siap untuk home-schooling).
Makanya, dalam kepindahan
kali ini, sebenarnya saya nggak langsung oke. Yang terutama terpikir adalah Ale
yang baru saja pindah sekolah saat naik kelas IV. Saat ada informasi mutasi, Ale baru enam bulan di sekolah baru. Dengan menunggu sampai kenaikan kelas, hanya setahun Ale di sekolah itu. Maka, pendapat Ale sangat kami dengar. Salah satu alasan kuat untuk pindah adalah karena Ale memilih ikut ayah.
BJ berangkat di Februari.
Sementara saya dan anak-anak menyusul Juli, usai kenaikan kelas. Praktis, sejak
awal Februari hingga permulaan Juli, kami hidup terpisah. Bagi orang-orang yang
sudah sangat amat terbiasa dengan kondisi LDF, lima bulan mungkin belum
apa-apa. Tengok cerita keluarga-keluarga TKI, mereka long distance dalam
hitungan tahun! Bahkan, nggak harus berstatus TKI untuk punya status LDF.
Banyak juga keluarga yang bertahun-tahun LDF meski kerja di dalam negeri.
Saat belum menikah, ada
status Long Distance Relationship. Setelah menikah, ada kondisi Long Distance
Marriage. Setelah punya anak, terjadi Long Distance Family. Sampai-sampai ada istilah pejuang LDR/M/F.
Terdengar heroik layaknya perjuangan kemerdekaan bangsa :D
Terdengar heroik layaknya perjuangan kemerdekaan bangsa :D
Buat kami, ini kondisi yang baru pertama kali.
Pekerjaan BJ memang membuat dia biasa pergi berhari-hari keluar kota. Tapi ritme
yang sering adalah, dalam seminggu hanya dua, tiga, empat, atau lima hari di
luar kota. Rekor terlama pergi hanya 1,5 bulan, yakni ketika BJ ada pekerjaan di Lampung. Pun, saat
berangkat ke Makasar, BJ berencana pulang satu atau dua kali sebelum akhirnya
pindah. Tapi pandemi Covid-19, mengubah banyak rencana manusia. Transportasi yang
semula relatif mudah mendadak jadi rumit.
Minggu-minggu pertama,
Ale selalu melow menjelang tidur. Dia mau ayah!! Voice call maupun video call
tidak banyak menolong karena Ale mau ayah yang sungguhan. Ayah yang hadir
secara fisik, bukan sekedar ayah dalam jaringan! Serius, dia menggunakan
istilah itu. Ayah daring....hahaha.
Sebaliknya dari Ale, Elo justru susah
ditelepon. Dia cenderung cuek saat ayahnya menelpon. Elo baru mau menanggapi
agak panjang jika dijanjikan sesuatu yang dia inginkan, mainan misalnya. Huhuhu
payah...mesti disuap dulu. (Semoga ini tidak menjadi bibit “mau menerima
gratifikasi” di kemudian hari. Haha siapa tahu kelak dia jadi entah-apapun-itu yang berkaitan dengan
penegakan hukum).
Situasi berubah di minggu-minggu
terakhir. Kali ini giliran BJ yang sering mellow. Ada hal-hal yang membuat dia
merasa down. Di Medan, saya juga mengalami stress karena beberapa sebab. Itu adalah
minggu-minggu yang berat bagi kami. Pada suatu pagi, saya pernah panik
gara-gara BJ tidak menghubungi saya sekaligus saya tidak bisa menghubunginya. Kondisi
seperti itu sungguh sangat tidak biasa. Sebab, setiap pagi kami pasti bertukar
kabar, entah itu lewat telepon atau sekedar pesan instant. Karena panik, saya
sampai kontak beberapa teman kerja BJ. Puji Tuhan, BJ cuma nggak sempat WA
karena pagi itu buru-buru keluar kota.
Dalam pernikahan, hidup
bersama secara riil saja banyak potensi miss-komunikasi dan miss-understanding.
Apalagi ketika kondisi berjauhan,
probabilitas aneka miss itu semakin besar. (Oh ya, lupa, ada potensi kehadiran
miss-miss we name her pelakor juga ya hahaha. Biar setara, saya tulis juga
potensi kehadiran pebinor ^-^).
Saya jadi mikir, kalau ada
keluarga yang lama berjauhan tapi tampak baik-baik saja, kemungkinannya ada
tiga. Pertama memang sudah benar-benar advance dan adem dalam menyiasati
keadaan. Kedua, belum adem bener sih, tapi tetap bertahan menjalani karena
keadaan. Ketiga, memang memilih berjauhan sebab kalau dekat malah sering
terjadi keributan. Yang penting ada status meski kondisi jauh panggang dari api
:D.
Bersyukurnya, kami bisa
mengambil hikmah dari LDF lima bulan dalam kondisi pandemi ini. Sekian jarak
dan waktu ini merimbunkan kesadaran bahwa kami memang benar-benar saling
membutuhkan. Ada yang terasa timpang saat kami berjauhan. Semoga ini jadi
pengingat kalau-kalau nanti kami lagi nggak enakan. Namanya pernikahan itu kan
siklus enak dan nggak enak yang terus berulang.
Serius saya bilang bahwa
hanya karena pertolongan Tuhan kalau sekarang kami berempat masih bisa ngadeg
jejeg (berdiri tegak –bahasa Jawa). Rasa takut menghadapi ketidakpastian keadaan
itu pasti ada. Tapi kembali melihat pertolongan-Nya di hari-hari yang sudah lewat
meyakinkan kami untuk tetap kuat.
Ini foto moment pertama kembali
bertemu di Bandara Hasanuddin. Nggak bisa langsung pelukan
karena protokol COVID-19. Sayang sekali, tidak dapat shoot foto yang agak-agak dramatik gitu :P
AIR MATA
Sejak menerima kabar
mutasi, saya sudah yakin bahwa kepindahan ini akan sarat emosi. Sebab, ini
pindah yang cukup jauh. Bahkan mungkin sangat jauh, tergantung bagaimana cara
melihat. Dari Medan, terbang ke ibu kota negeri jiran jelas butuh waktu lebih
singkat daripada ke Makassar. Padahal, ke Malaysia atau Singapura adalah
penerbangan internasional. Sementara ke Sulawesi Selatan adalah penerbangan
domestik.
Pindah dari Karo ke
Siantar, dan Siantar ke Medan juga ada unsur emosi. Tapi mungkin tak sehebat
ini karena “ah dekat kok.” Terbukti, selama di Siantar kami masih main-main ke
Karo. Juga selama di Medan bisa berkali-kali bertandang ke Siantar (dan Karo).
Tapi jarak Sulsel – Sumut, garis lurusnya saja berapa ribu kilometer ya? Belum
lagi, jarak riil yang mesti ditempuh bukanlah garis lurus. Jika naik pesawat terbang, kita mesti transit di Jakarta atau Surabaya.
Sebelas tahun adalah
waktu yang cukup panjang untuk membangun hubungan sosial. Dalam kurun waktu itu
kami mendapatkan banyak teman. Dari sekian hubungan, banyak yang meningkat
menjadi sahabat dekat, bahkan saya anggap setara keluarga.
Untuk apa ada pertemuan
jika harus ada perpisahan?
Aduuuh...klise banget yaaak.
Jujur saya nggak iyes deh sama ungkapan itu. Ya kalo gitu mah nggak usah ketemu
siapapun biar nggak perlu pisah sama siapapun. Emang bisa?? Saya rasa, orang
introvert level akut pun tetap butuh
hubungan sosial. Meski mungkin nggak sebesar tipe haha-hihi seperti saya.
Tapi saya ngerti sih,
kalimat itu muncul sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam atas sebuah
perpisahan. Apalagi, dalam perpisahan ini, entah kapan akan ketemu lagi. Bagi
BJ, ada kemungkinan meeting atau apalah urusan pekerjaan ke Sumut. Sementara
saya dan anak-anak? Kemungkinannya lebih kecil. Jauh lebih kecil dari peluang
muncul satu angka dalam sepelemparan dadu. Tapi saya nggak mau bilang impossible
sih. Because I believe, miracle is possible. Dan siapa tahu saya layak
mendapatkan keajaiban itu??
Saya sangat terharu
menuliskan bagian ini. Mengingat seminggu terakhir sebelum hari- H kepergian,
begitu banyak perhatian dan bantuan yang kami dapatkan. Sebelumnya, ada rencana
pergi ke Karo dan Siantar untuk kunjung-pamit. Tapi rencana itu batal karena
pandemi Covid-19. Bahkan, mendatangi teman-teman di Medan pun tidak saya lakukan
dengan alasan yang sama. Jujur saya agak worry ketika minggu-minggu menjelang test rapid, kami bertiga justru ketemu dengan banyak orang (jangan tanya tentang social distancing! :D). Hanya bisa berdoa. Karena itu adalah pertemuan-pertemuan yang entah bisa terulang atau tidak. Terima kasih untuk semua yang menyempatkan datang ke rumah.
Saya sangat bersyukur
untuk SEMUA ORANG yang menjadi bagian dalam potongan hidup kami di Sumatera Utara. Mungkin dengan sebagian orang hanya berupa interaksi singkat dan selintas lalu. Tapi seberapapun itu adalah bagian
dari perjalanan kami (life is a journey, right?). Terlebih untuk semua hubungan
dengan intensitas lebih, meminjam judul lagu lawas milik Slank : terlalu manis
untuk dilupakan.
Terima kasih untuk semua
kebaikan yang boleh kami terima. Sengaja tidak merinci satu per satu nama/keluarga,
juga satu per satu moment, karena itu akan membuat saya mellow tingkat dewa.
Just post some photos here. Hopefully we'll meet again, someday...
Waaaah sempet ngerasain Siantar , Karo, Medan ya mba. Aku jg org Medan, merantau ke JKT :D. Tiap mudik aku slalu mampir ke Siantar Krn pasti ngelewatin kalo mau ke kampung papa di Sibolga.
BalasHapusKerasa sih sedihnya 11 THN di sana trus hrs pindah yg jauuuh , beda pulau pula :). Tp pengalaman kayak gini, ga semua orang ngalamin. Aku aja pgn banget pindah2 begitu, walopun tau rempongnya pasti luar biasa :D.
Aku tipe yg ga bisa juga LDR. Mending ikutan pindah nemenin suami deh drpd hrs jauhan.
Tosss soal ogah LDR haha. Makanya angkat jempol banget buat para pejuang LDR tu mba :)
Hapuspindah2 jauh memang repot tapi saya bilang selalu terbayar lunas :)