pic by pixabay |
Saya tidak memahami ramalan Jayabaya, tetapi saya tergoda untuk mengenakan istilah zaman kalabendu bagi masa pandemi ini. Mungkin itu pemakaian yang kurang tepat. Namun, secara harfiah, zaman kalabendu bisa diartikan sebagai zaman penuh kesengsaraan. Bukankah saat ini, dunia sengsara akibat Covid-19?
Mau percaya atau tidak pada keberadaan virus ini, toh tetap ikut terdampak. Sebagian terdampak langsung dalam hal usia. Yakni ketika tubuh tak bisa melawan keganasan virus Covid, sehingga harus terdaftar dalam statistik “korban meninggal.” Sebagian lagi terdampak dalam hal kesehatan. Ini ketika terserang virus dan mengalami sakit hebat tetapi puji Tuhan bisa selamat.
Paling banyak adalah bagian yang tidak sakit tapi tetap
terdampak, entah itu dalam hal ekonomi, pendidikan, keagamaan, olahraga,
hiburan, wisata ...... ah, apa sih yang luput dari Covid?
Keluarga kecil kami juga tidak luput.
Pindah tempat tinggal dalam situasi pandemi, membuat proses
adaptasi berjalan sangat lambat. Sosialisasi dengan warga setempat mungkin akan
lebih cepat “jika tidak ada Covid”. Demikian juga dengan eksplorasi wilayah, pergi-pergi mengenal tempat baru rasanya
akan lebih leluasa “jika tidak ada Covid.”
Seperti orang-orang lain, saya berharap pandemi Covid segera
berakhir. Namun, faktanya, kami justru harus “mengalami Covid” dalam tingkat
yang berbeda. Sebelumnya kami hanya
mendengar si A atau si B atau si C positif Covid. Namun, akhir Desember lalu,
hasil test PCR menegaskan jika BJ positif Covid. Heiii, kali ini kabar tentang
positif Covid bukan dari “orang di luar sana”, tapi dari BJ –suami saya –ayah
AleElo.
Kronologi :
Saat itu seminggu menjelang Natal. Sebelumnya kami sudah
memutuskan untuk tidak mudik ke Jawa Tengah. Rencananya, libur beberapa hari
akan kami isi dengan jalan-jalan seputar Sulawesi Selatan. Kami sudah memilih
destinasi outdoor guna menghindari kerumunan.
Namun BJ mendapat kabar, seseorang yang ia temui beberapa
hari sebelumnya ternyata positif Covid. Tidak bisa tidak, pikiran langsung
negatif. Bagaimanapun, pertemuan dengan orang itu bukan hanya kontak yang
sekilas lalu. Membicarakan pekerjaan di tempat minum kopi, durasinya jelas tak
cukup satu atau dua menit. BJ ingat, saat itu, yang bersangkutan sudah mengeluh
sedikit sakit.
Jadi BJ cepat-cepat menghubungi kantor. Lalu, dia direkomendasikan
untuk test PCR. Senin, 21 Desember, BJ
menjalani test PCR di sebuah rumah sakit di Makassar. Sehari kemudian, hasilnya
diberitahukan lewat telepon.
BJ termasuk orang yang patuh pada protokol kesehatan.
Dibandingkan saya, dia malah dia lebih rajin mengambil posisi sebagai reminder,
mengingatkan saya dan anak-anak untuk memakai masker, mencuci tangan (atau
menggunakan sanitizer), serta menjaga jarak. Sebagian besar pekerjaannya juga
dilakukan dengan posisi work from home.
Namun, kenyataan bahwa dia positif Covid seharusnya tidak
mengherankan. Dengan penularan virus yang begitu mudah dan masif, siapa saja
bisa terkena. Melakukan protokol kesehatan adalah ikhtiar. Sedangkan tertular
atau tidak adalah cerita yang berbeda.
Saya jelas tidak akan berkata, “makanya ngapain ribet-ribet
melakukan protokol kesehatan, wong patuh saja kena. Tuh, yang nyantai malah
enggak kenapa-kenapa.” Buat saya sih, antisipasi tetap lebih baik daripada
menyesali. Sebisa mungkin, saya akan
tetap berusaha melakukan protokol kesehatan.
Isolasi Mandiri
Mungkin karena sudah menyiapkan hati, jadi ketika menerima
kabar positif, kami relatif tidak panik (galaunya justru beberapa hari kemudian
hehehe). Setidaknya masih bisa bersyukur karena sedari bertemu di tempat ngopi
(jika memang itu asal penularannya) hingga hasil test keluar (rentang waktu
seminggu), BJ tidak mengalami gejala khas infeksi. Namun, seperti informasi di
berbagai sumber, masa inkubasi virus adalah 14 hari. Jadi, apapun bisa terjadi
dalam seminggu selanjutnya.
Berhubung tanpa gejala, BJ hanya disarankan untuk isolasi
mandiri di rumah. Lupakan jalan-jalan liburan, lha wong belanja ke warung dekat
rumah tak akan bisa. Dua minggu penuh, kami akan benar-benar #dirumahsaja.
Sampai hari itu, kami masih berpegang pada asumsi bahwa
hanya BJ yang positif. Jadi rancangan
isolasi mandiri dan peningkatan protokol kesehatan segera dirancang dan
dilaksanakan :
- Memberitahukan Bapak RW mengenai kondisi kami (kebetulan Bapak RW adalah pemilik rumah tempat tinggal kami).
- Pisah kamar untuk meminimalisir kontak dengan saya dan anak-anak. BJ akan di kamar saja, keluar kamar hanya saat berjemur atau keperluan yang sangat penting. (Ini nikahnya kapan, pingitnya kapan hahaha).
- Meski di dalam rumah, semua wajib pakai masker.
- Baju bekas pakai BJ langsung dimasukkan ember tersendiri dan dibilas desinfektan sebelum dicuci.
- Alat makan BJ dicuci tersendiri.
- Sering cuci tangan/menggunakan hand sanitizer.
- Belanja keperluan menggunakan jasa ojek online.
Ribet, jelassss saja! Namun, ada lucu-lucunya juga kok.
Salah satunya sesi menjelang tidur. Kalau BJ keluar kota, menjelang waktu tidur
hampir pasti selalu ada sesi video-call. Berdoa bersama jarak jauh lalu saling say
goodnight. Nah ini, satu rumah, yang mana rumahnya tak seluas rumah taipan
Harry Tanoesudibjo. Namun, gara-gara Covid, sesi berdoa bersama harus kami
lakukan dengan video-call antar kamar ^-^
Obat-obatan
Resep BJ dikirim dokter via Whatsapp. Mungkin karena OTG,
jadi daftar resepnya tidak banyak, yakni hanya obat antivirus, vitamin D dosis
tinggi, dan vitamin B-complex. Resep ini harus kami cari sendiri. Berhubung
saya juga ikut karantina, kami belanja obat mengandalkan ojol (trimakasih
Go-shop dan Go-mart!!). Beberapa kali order obat antivirus yang diresepkan
dokter (oseltavimir), tapi selalu nihil. Pesan ke apotik, mereka mengiyakan
tapi tidak bisa menjanjikan ketersediaannya.
BJ berkabar ke dokter tentang hal ini. Dokter menjawab akan
menghubungi puskesmas terdekat supaya obat tersebut diantar ke rumah. Kami
tunggu-tunggu, tak ada pengantaran obat. Hingga karantina berakhir, BJ tidak
mengonsumsi obat antivirus.
Selain obat, ada beberapa langkah lain yang dilakukan BJ, yakni :
- Berjemur. Namun, musim hujan membuat matahari tak selalu muncul. Alhasil berjemur tidak bisa rutin setiap hari.
- Olahraga ringan
- Minum madu herbal
- Minum vitamin C
- Nasalwash (cuci hidung dengan larutan NaCL)
- Makan dan tidur cukup
- Beberapa kali sehari cek tubuh dengan thermometer dan oxymeter
- Berusaha tidak stress. Ini bagian yang cukup berat sih. Bagaimanapun, sedikit banyak otak pasti sudah terpengaruh informasi tentang ganasnya si Covid. Selain itu, terkurung di kamar berhari-hari sudah bikin stres lho. Terlebih, BJ tetap harus work from home (mau cuti sakit, nyatanya nggak ada gejala apa-apa).
Skenario yang Sulit
BJ test PCR setelah seminggu kontak dekat dengan temannya. Dengan
BJ terkonfirmasi positif, ada kemungkinan saya dan anak-anak juga sudah
tertular (kemungkinan berarti : bisa ya bisa tidak). Jadi, sebelum BJ test,
kami sudah ngobrol selintas, bahwa saya dan anak-anak akan menyusul test SWAB
jika BJ positif.
Ternyata praktiknya tidak semudah itu.
Persoalan menyusul test PCR ini malah sempat bikin saya
galau berat (atau mungkin karena hari-hari itu juga pas pra-mens, jadi psikis
saya memang super enggak jelas). Saya mikir, bertiga test PCR kan nggak mungkin
diantar BJ. Sementara saya nggak bisa menyetir mobil (haha kasian), juga belum
hafal jejalan Makassar.
Kalau naik taksi online, saya takut berisiko bagi drivernya.
Bisa jadi driver juga langsung menolak karena saya nggak mau menutupi situasi
pada driver. Sempat tercetus opsi untuk
test PCR di tempat yang dekat, jadi bisa bertiga naik sepeda motor saja.
Hwaaaa....hal ini sempat bikin saya dan BJ berantem berbeda pendapat.
BJ cenderung ingin saya dan anak-anak test swab. Sementara, saya merasa dilema. Satu sisi kepengin test PCR untuk
mendapatkan kepastian cinta kondisi, positif atau negatif Covid. Di sisi lain, beberapa
kemungkinan hasil test justru akan membuat situasi tambah rumit. Saya
mengandaikan beberapa skenario :
- Saya dan anak-anak semua positif. Ya sudah, sekedar tahu aja. Toh tanpa gejala, jadi lanjut isolasi mandiri.
- Saya positif sementara anak-anak negatif. Nah ini akan membuat bingung berat. Kami belum lama di sini, tanpa keluarga juga belum ada teman yang sangat dekat. Situasi yang tidak memungkinkan untuk menitipkan anak-anak. Kalaupun ada yang mau menampung anak-anak, saya yakin mereka nggak akan bersedia.
- Saya negatif dan anak-anak positif. Toh saya nggak mungkin keluar memisahkan diri. Saya tetap harus di rumah, karena suami dan anak-anak butuh keberadaan saya.
Huuft, jadi emak-emak ini yaaaa..... Dalam situasi
kemarin, saya benar-benar merasakan kebenaran kalimat : emak-emak dilarang
sakit ^-^
Dengan skenario yang serba sulit, akhirnya saya
memutuskan untuk tidak pergi test PCR. Terlebih ketika Ibu RW mengabari kalau
tenaga kesehatan dari puskesmas akan datang. Jadi spesimen SWAB saya bisa
diambil dari rumah. Ya sudah, saya dan anak-anak tidak pergi untuk test mandiri.
Namun ternyata sampai lewat 14 hari masa isolasi, tak pernah
ada nakes datang, baik untuk mengantar obat maupun memeriksa kondisi kami. Satu
sisi heran, karena kalau baca-baca berita di media, juga ngobrol dengan kakak
yang seorang nakes, harusnya ada kunjungan dari puskesmas terdekat.
Tapi ya sudah berpikir positif saja. Mungkin karena
pesebaran Covid yang meluas, jadi puskesmas overload. Lagipula, dengan
ketidakhadiran mereka, malah jadi tidak ada pertanyaan dari tetangga-tetangga.
Yang jelas, kami tertib isolasi mandiri sampai lewat 14 hari. Pada test PCR kedua, BJ juga langsung dinyatakan negatif.
Lebih penting dari semua itu, puji Tuhan kami bisa melewati
masa isolasi. Sungguh itu adalah berkat tersendiri. Saya sungguh bersyukur
untuk doa serta dukungan keluarga dan teman-teman. Juga pertolongan dari
orang-orang di sekitar kami (terkhusus untuk keluarga Bapak/Ibu Yusri). Meski
jauh dari keluarga, juga belum banyak teman dekat, tetapi pertolongan itu
selalu ada.
Refleksi
Beberapa hari lalu, saya mendapat kabar dukacita dari seorang
teman lama. Tentang ayahandanya yang wafat setelah positif Covid-19 kali kedua. Ini bukan kabar duka pertama yang saya terima sehubungan dengan Covid.
Meski bukan orang dekat, saya tetap merasakan bela-rasa. Menempatkan diri
sendiri pada posisi kehilangan, itu dasar bela-rasa berita duka.
Pasca pengalaman BJ positif, bela-rasa itu meningkat ke
level lebih tinggi. Bagaimanapun, sama-sama dengan kondisi positif Covid, bisa
saja kami terikut dalam barisan “yang dipanggil”. Atas dasar apa seseorang dipanggil mati melalui Covid sedangkan yang lain tidak?
Kita yang memercayai keberadaan Tuhan menyebutnya sebagai misteri Illahi.
Saya tak akan pernah bisa memecahkan misteri tersebut. Saya hanya harus lebih banyak bersyukur dan lebih menghargai hidup sehari-hari. Tepat seperti tagline blog ini, celebrating daily life. (*)
Semogaaa semuanya sehaaattt ya Mbaaa
BalasHapuskebayang memang kalo orang terdekat "tervonis" copid, rasanyaaa duh makjleb.
Tapiii, semua penyakit ada obatnya, kan. Tetap semangaaatt, optimis selalu! Yeayyy
yeayyy..thankyouu mbak nurul. Kalau ditest PCR bisa jadi saya juga positif sih ya..meski bisa jadi juga tidak :)
HapusAku bacanya antara happy, sedih, salut dan penuh misteri juga, ah nano2.
BalasHapusSuka banget dengan caramu Mak, tetep bersyukur itu yang penting.
Dan lucu banget yaa, biasa video call jarak jauh, ini antar kamar.
Ahh, makasih pengalamannya, semoga sehat selalu yaa buat kita semuaa.
trimakasih mak hanie. Iya itu memang "lucu" banget. Video call antar kamar. Padahal antar kamar cuma dibatasin kamar mandi ^-^
HapusSUdah banyak cirlce aku yang kena juga nih mbak. Rasanya campur aduk ya mbak apalagi tinggal dalam satu rumah. Berserah pada yang Maha Kuasa udah cara paling benar ya selain pengobatan termasuk isolasi. Sehat-sehat sekarang ya mbak
BalasHapusTerima kasih mbak. Memang yang utama berserah, kemudian tetap ikuti protokol.
HapusWaktu menggantikan mama saya untuk jagain papa yang rawat inap di RS (diabetes & ada cairan di paru-paru) sempet bikin deg-deg'an juga, karena mama saya aja harus rapid test waktu itu berarti saya juga dong. Entah kenapa, ternyata saat itu mungkin SDM RS lagi pada nggak ada, berhubung weekend, jadi saya hanya dicek suhu tubuh dan detak jantung lanjut ngisi kuesioner ttg covid. Udah gitu aja. Lanjut deh gantian dengan mama jagain papa.
BalasHapusAnak kedua saya "langganan" masuk RS. Karena dia memang suka dan memang susaaah minum obat. Sempat khawatir gimana kalau harus opname saat kondisi Covid. Bersyukur setahun ini dia nggak ada sakit yang perlu opname.
Hapus
BalasHapusClearly we give thanks for all the blessings. We also recognize bad things do not come from God, but with God, we do not have to be controlled by those bad events; we go through them
big hugs dear ...stay healthy stay positive!
thank youu mbak tanti. God bless u and fam :)
HapusAlhamdulillah mba. Ikut deg degan bacanya. Semoga kita semua ttp bs patuh protokol ya. Kebayang kalo sampe emak2 sakit n bergejala. Pasti galauuu
BalasHapusTrima kasih Mbak. Apalagi kalau anak-anak tipe yang emak banget, mereka nggak bakalan mau dititipin sekalipun ada keluarga yang mau menampung (misal saya positif)
HapusSaya juga lebih memilih mengantisipasinya daripada nanti menyesal. Lebih baik menjalankan protokol kesehatan ya,
BalasHapusSyukurlah Mbak dan keluarga bisa bebas dan sembuh dari Covid-19
Iya mbak. Nyesel lagi kalau sudah koar-koar nggak percaya Covid terus positif dan sampai parah. Kalau nggak percaya ya mending nggak teriak2 atau soft aja mainnya hehehe
Hapusduh deg deg an bacanya
BalasHapussemoga segera sehat ya mbak semuanya, mbak beli larutan pembersih hidung di apotik ya mbak
iya di apotik mbak, NaCl yang buat infus (etapi saya lupa yg berapa persen)
HapusTerima kasih banyak sudah berbagi, Mbak. Sehat selalu untuks emua setelah ini, ya. Dan semoga semakin banyak yang menyadari kalau covid itu nyata
BalasHapusterima kasih kembali Mbak Cie.
HapusMemiliki suami yang masih harus beraktivitas diluar rumah pun aku mempersiapkan diri, kalau-kalau Allah menghendaki terjadi pada keluarga kami, kita harus bersiap diri sih. Meski doa yang kuat juga jangan sampai menimpa kami. Sehat selalu ya Mba...
BalasHapusTerima kasih Mbak Desi. Memang kata temen saya juga, anggota keluarga yang masih bekerja di/keluar rentan menjadi agen penular ke rumah. Tapi kan sebagian orang juga nggak mungkin WFH terus ya mbak. Semoga semua terlndungi
HapusKakak ipar ku juga kena Covid-19 mbak, dan beberapa teman juga sudah banyak yang kena huhu sedih banget ya mudah2an Covid ini segera musnah
BalasHapusdoa kita bersama untuk Covid ini :)
Hapussebenarnya yang pada takut covid bukan serangan virus kematiannya, namun sakit psikis terhadap penolakan tetangga dan orang-orang terdekat yang melihat penderita covid seperti sampah yang harus dijauhi. Seperti kena penyakit AIDS. Padahal justru orang kena covid itu ya diperhatikan, seperti konsumsi makanan sehari2.
BalasHapusBersyukur, kelaurga mba kuat yaa.. kuat dari segi fisik dan psikis. sehat2 selalu ya, Mba setelah ini.
thank you mba ade. Nah ini saya juga bersyukur banget, tetangga dekat yang tahu kami positif nggak terus menjauhi kami. Malah kalau saya lagi jemur di depan, tetap disapa. Sementara saya uda diem aja takut gimana2 :)
HapusDilema itu pasti selalu ada ya, Mbak. Menjadi pengalaman menghadapi situasi seperti ini. Sehat-sehat semuanya
BalasHapusPengalaman yang sangat berharga. Thank you Mbak astin
HapusSemoga mbak dan anak2 negatif ya. Semua pasti akan segera berlalu dan akan baik-baik saja. Doa kami dari sini ya mbak
BalasHapusthank you mbak retno. Doa untuk mbak retno dan Kalimantan juga, segera pulih pasca banjir
HapusDuh terharu bacanya...penyakit ini memang ngga main-main ya...semoga sehat selalu sekeluarga ya mbak
BalasHapusMakasih mbak dewi. Doa serupa utk mba dewi and kel
HapusTerima kasih mbak Lisda untuk sharingnya, jadi pengingat juga untuk diriku. Semoga kita semua diberikan kesehatan ya mbak.
BalasHapusAmin Mbak. Di masa seperti ini, betapa kesehatan sangat amat terasa berharga
HapusPastinya dilema banget ya mbk. Apalagi salah satu anggota rumah kena Covid, huhu. Semoga mbk dan keluarga diberi kesehatan.
BalasHapusTrima kasih Mbak Is. Mbak Is dan keluarga juga senantiasa sehat
HapusTetap sehat yaa, kak..
BalasHapusSemoga kita semua sehat dan suami segera fit kembali.
Kemarin masku yang pertama dan ketiga, juga dinyatakan positif.
Dan aku cuma bisa nangis sambil berdoa yang terbaik, kak..
Amin. Sehat juga Lendy dan keluarga. Dua dua kakak pula ya ...semoga bisa melewati masa postif ini dan kembali negatif
HapusDuh, aku jadi keingetan sama keluargaku sendiri. Akhir Desember lalu, keluarga om kena covid. Totalnya 13 orang. Dan omku meninggal karena covid ini. Memantau dari WAG keluarga dari sejak sakit hingga meninggal dikubur dengan protokol covid sungguh bikin patah hati. Alhamdulillah sekarang yang lainnya sudah pada negatif. Sehat-sehat selalu semuanya, ya. :)
BalasHapusSaya baca ini juga jadi ngilu lagi. Sedih sekali 13 orang sekaligus bahkan Oom sampai meninggal. Semoga keluarga diberikan ketabahan dan kelapangan hati ya mbak
HapusSehat sehat ka, semoga pandemi segera berlalu, circle yang kena covid semakin dekat, selama pandemi ini kita memang harus menjagaa kesehatan jasmani & mental
BalasHapusmemang warbyasa sekali virus ini. Setahun lalu di Wuhan, hari2 ini sudah di sekitar kita, bahkan di dalam rumah sendiri.
HapusTeman kuliah saya ada yang meninggal krn covid ini, juga seorang teman kerja saat saya masih di Jatim. Mendengar berita ttg kedua teman tersebut, campur aduk rasanya. Semoga pandemi COvid-19 segera mendapatkan solusi terbaik, kita bisa semua sehat, Aamiin.
BalasHapusmendengar kabar orang yang kita kenal saja sudah sedih banget, apalagi kalau orang dekaaaat
HapusWooow .. sehattt teruss ya lisdha n fam.. berbagi pengalaman. Emang bener quote of this moment ..emak2 dilarang sakit.. 🤭
BalasHapusSyukurlah kalau suami sudah dinyatakan sehat ya mba, semoga kita dan keluarga diberikan kesehatan. aamiiin.
BalasHapus