Part 1 ada di mari ya...^-^
Gambar dari SINI
Hirschsprung Disease
Ini nama penyakit yang tak familiar buat saya maupun MJ.
Jujur, sebelum diagnosa dari dokter, saya baru sekali ketemu dengan kataHirschsprung,
yakni ketika googling tentang penyakit Ileus. Suatu hari, MJ mem-forward artikel tentang ileus yang bisa
disebabkan konsumsi obat diare sembarangan. Sebab itu ketika dokter bilang ada
pelambatan gerak usus, saya langsung berpikir tentang Ileus. Berhubung saat itu
lagi fokus cari info tentang ileus, jadinya sekilas aja baca tentang Hirschsprung.
Sembari menunggu pengurusan administrasi kepulangan Elo,
kami berusaha mencari sebanyak mungkin tambahan informasi tentang Hirschsprung.
Apalagi kalau bukan dengan googling (thanks to internet!). Dari Wikipedia, Hirschsprung
adalah suatu bentuk penyumbatan pada usus besar
yang terjadi akibat lemahnya pergerakan usus karena sebagian dari usus besar tidak
memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Angka kejadian Hirschsprung adalah 1 : 5.000 dan kebanyakan terjadi pada anak laki-laki.
Kami juga mendapatkan informasi cukup berharga
dari sini. Ada juga grup di Facebook bernama Kolega
Histomi. Tapi sepertinya kurang begitu update. Solusi yang umum pada penyakit Hirschsprung adalah
OPERASI untuk membuang bagian usus yang kurang persyafarannya, kemudian
menyambung bagian usus yang bagus ke anus. Namun, jika bagian usus yang
persyarafannya bagus kurang panjang, maka terlebih dulu dibuatkan lubang
pembuangan di dinding perut (kolostomi). Kalau nanti usus sudah cukup panjang,
kembali dilakukan operasi untuk penyambungan usus ke anus.
Kalau Hirschsprung kok
baru ketahuan setelah usia mau setahun?
Beberapa artikel yang kami baca menyatakanHirschsprung bisa
terdeteksi sejak bayi. Jawaban dokter : itu bisa saja tergantung tingkat
kelainan ususnya. Selain itu sebelum setahun, Elo masih ASI Eksklusif lalu MPASI yang lembut, jadi belum ada
masalah. Problem baru timbul setelah Elo mulai makan yang lebih kasar/padat.
Kalau Hirschsprung kok
selama ini Elo nggak pernah mengalami susah BAB?
Dari lahir sampai mau setahun, Elo sama sekali belum pernah
sembelit. Sempat baca sebuah artikel, kalau anak sering sembelit, bisa jadi itu
karena Hirschsprung. Dokter bilang,Hirschsprung
tidak selalu ditandai dengan sembelit. Bisa jadi pupnya tampak normal padahal
nggak keluar maksimal. Sisa-sisa pup yang tertinggal kemudian terakumulasi,
menyebabkan sumbatan sehingga usus membesar (megacolon), jadilah perut kembung
dan keras. Karena ada timbunan feses di perut, masuk akal kalau sempat terdiagnosa
Infeksi Saluran Kencing dan infeksi
pencernaan. Yang terakhir kesimpulan saya sendiri sih ^-^
Bisa jadi, demam-demam di bulan sebelumnya itu sudah
merupakan pertanda. Kan waktu itu test darah juga menunjukkan ada infeksi.
Hanya saja nggak kami lanjutkan pemeriksaannya karena Elo terlihat sudah
sembuh.
Berbekal rekomendasi satu nama dokter spesialis bedah anak
di Medan, Kamis sore kami pulang ke rumah. Pulang bukan dengan kelegaan tapi
justru dengan rasa tidak menentu. Khawatir kalau-kalau kami sampai terlambat
bertindak. Kami terus berdoa agar kami
bisa tetap tegar, tenang, dan bijak. Bagaimanapun di saat-saat seperti ini
banyak orang akan memberi saran terkait pengobatan.
Ada saran untuk kusuk (pijat), minum ramuan, dibawa ke RS di
Penang (Malaysia), sampai dibawa ke "orang pintar". Saya menghargai
semua saran. Sebab saya yakin semua diberikan atas dasar perhatian. Kalau nggak
ada atensi, ya cuek-cuek aja toh...ngapain repot, ya nggak? Tapi kan tidak
semua saran bisa kami lakukan.
Kami bergumul dalam doa untuk membuat keputusan. Kami
benar-benar memohon agar diberi kemampuan dalam membuat keputusan yang benar.
Puji Tuhan, banyak yang mendoakan baik datang langsung maupun dari jauh. Bapak-ibu
gembala dari gereja kami (GBI NCC) juga datang mendoakan. Waktu itu bapak
pendeta Riando Napitupulu mendoakan adanya cara-cara Tuhan yang ajaib tapi
pikiran saya masih fokus pada operasi. Saat
itu saya belum terlalu down dengan opsi operasi pada Elo.
Jumat (9 Oktober) pagi, kami berangkat ke Medan. Kami sudah
janjian bertemu dengan Dokter E Sp.BA (namanya saya tulis inisial aja ya).
Memang sih, baru janjian konsultasi. Tapi mana tahu langsung disuruh opname,
jadi kami sekalian sudah bawa perlengkapan. Berangkat sekitar pukul 07.00 dari
Siantar, kami sampai di Medan sebelum pukul 11.00. Tapi kami baru bisa ketemu Dokter
E sekitar pukul 14.00. Sebelum operasi, Dokter E ingin lebih dulu memastikan kondisi Elo
dengan prosedur barium enema. Ini adalah pemeriksaan X-ray (rontgen) pada usus besar (colon) di mana sebelumnya colon diisi dengan pewarna barium sulfate.Teknisnya, Elo harus menjalani dua
kali foto rontgen dengan selang waktu 24 jam. Barium sulfate dimasukkan sebelum pengambilan foto
yang pertama, fungsinya untuk menandai letak dan volume feses di usus. Hari selanjutnya, Elo foto rontgen lagi tanpa
pemberian pewarna (foto rontgen biasa).
Masalahnya, kata Dokter E, tidak semua RS di Medan punya alat dan tenaga
ahli (radiolog) untuk melakukan barium
enema. Terlebih, menurut dokter E,
saat itu banyak dokter radiologi yang sedang keluar Medan untuk ikut sebuah
acara. Dokter E menyarankan agar kami membawa Elo untuk foto rontgen ke RS
Haji. Namun hari itu Jumat dan sudah
sore. Jika foto pertama dilakukan Sabtu, dokter E ragu apakah RS Haji membuka
pelayanan radiologi pada hari Minggu. Alternatif
solusi, foto pertama tetap di RS Haji. Sedangkan foto kedua dilakukan di RS/laboratorium
yang membuka layanan di hari Minggu.
Kalau tidak bisa demikian, terpaksa foto dilakukan pada Senin-Selasa. Setelah
diketahui hasilnya, barulah dilakukan kolostomi.
Duuuh....ribet. Kalau semula saya masih cukup kuat, habis
konsultasi saya down lagi. Opsi teknis foto rontgennya nggak praktis. Lebih
dari itu, terbayang segala keribetan hari-hari ke depan. Bocah kecil itu di
meja operasi, lalu hari-hari dengan lubang di perut, lalu sederet prosedur
untuk operasi lanjutan. Itu kalau operasinya lancar. Bagaimana dengan risiko
operasi, atau lebih buruk lagi kalau sampai terjadi malpraktik. Pikiran-pikiran
buruk berpendar di kepala. Arrrghhhh…
Tapi kami harus tetap bisa berpikir toh… istilah sekarang,
jangan baper hehehe. Saya dan MJ
mendiskusikan beberapa opsi. Rasanya kami sudah sangat lelah jika harus kembali
mencari second opinion di Medan.
Fokus masalah yang kami lihat saat itu adalah bagaimana kondisi kami jika nanti
Elo jadi operasi. Di Medan, kami jauh dari keluarga, sahabat, maupun tetangga
dekat. Kemungkinan besar hanya saya dan Ale yang setiap saat bisa intens di RS.
Sedangkan MJ pasti tak bisa 100 persen fokus, tapi terpecah konsentrasi dengan
pekerjaan. Namanya juga karyawan, nggak mungkin dong libur dan cuti sekehendak
pribadi :D. Ale
-walaupun terbilang tidak rewel, tetapi dia tetap masih seorang bocah yang
juga butuh perhatian. Kalau BJ sedang tak bisa di RS, apa iya saya sanggup menjaga
Elo hanya ditemani Ale?
Saya merasa ciut.
Tiba-tiba timbul ide untuk membawa Elo pulang ke Jawa.
Kalaupun Elo harus operasi, setidaknya ada keluarga yang menjadi pasukan
pendukung kami. MJ di Sumut bisa relatif tenang bekerja karena yakin saya tak
sendirian. Bagaimanapun saat itu kami tak bisa dan tak boleh hanya memikirkan
Elo. Tapi kami juga memikirkan keadaan kami. Kalau saya atau MJ atau Ale atau
malah tiga-tiganya sampai jatuh sakit karena kelelahan kan berabe pake banget.
Di saat menimbang opsi itu tetiba kakak saya telepon dan
bilang kalau emak akan pesan tiket ke Medan. Hal itu malah seperti menjadi
penguatan untuk kami pulang ke Jawa. Sore itu juga kami memutuskan untuk tidak
lagi cari opini dokter lain di Medan. Kami minta kakak batal pesan tiket karena
kami yang akan terbang ke Jawa.
Bergegas kami balik ke Siantar.
Sepanjang hari Sabtu, kami menyiapkan segala sesuatu untuk
"pulkam spesial" ini. Kalau baju-baju sih sudah beres karena sudah
packing sejak mau ke Medan. Yang utama di hari itu adalah cari tiket pesawat,
juga informasi tentang dokter spesialis bedah anak di Jogja yang recomended. Selain gogling, kami juga
mencari info ke teman-teman. Dari sekian informasi, mengerucut satu nama yakni
Dr Rochadi Sp.B, Sp.BA. Konon beliau ini terkenal sebagai dokter-bedah-yang-malas-membedah. Maksudnya, beliau menjadikan
bedah sebagai alternatif paling akhir jika memang tak bisa lagi dilakukan cara
non-bedah. Kami semakin yakin dengan pilihan ini karena topik disertasi beliau
adalah tentang Hirschprung. Selain itu, beliau buka praktik di klinik pribadi
yang juga buka di hari Minggu. Ini opsi yang juga penting. Karena kalo masuk ke
RS, kemungkinan hari Minggu cuma masuk UGD dan kamar. Ketemu dokter spesialis
baru hari Senin.
Hari Sabtu itu, sahabat-tetangga-teman berdatangan memberi
penguatan. Kami sungguh bersyukur dengan dukungan langsung itu. Juga bersyukur
untuk dukungan teman-teman di facebook, BBM, WA. Terima kasih – terima kasih –
terima kasih. Semuanya sangat berarti buat kami.
Pesawat Air Asia Medan - Jogja akan terbang pukul 06.00. Minggu
pukul 02.00 kami sudah bertolak dari rumah dengan say goodbye pada tetangga-tetangga yang malam itu begadang di
samping rumah. Puji Tuhan, Elo maupun Ale nggak rewel di perjalanan. Tiba di
Jogja sekitar pukul 09.00, kami dijemput Mbah Uti (ibu mertua saya), Pakdhe
Jarwadi, dan Oom Freddy. Dengan bantuan GPS, kami langsung menuju klinik Dr
Rohadi di Jl Plered, Bantul.
Klinik Dr Rohadi terletak persis di pinggir jalan, bersebelahan
dengan RS Mitra Husada. Ini RS kepunyaan beliau. Tapi sempat agak bingung sih,
karena yang dominan terlihat dari jalan justru plang klinik skin care dan supermarket.
Kliniknya terlihat sederhana tapi antre pasiennya cukup
panjang. Setelah menunggu agak lama, dipanggil masuk ruang periksa deh. Rupanya
ruang periksa dibagi menjadi empat sekat ruangan. Begitu masuk, kami masih
harus menunggu lagi.
Lalu eng ing eng...ketemu deh sama dokter. Beliau sudah
tampak sepuh tapi sehat. Baca-baca artikel di internet dan sharing beberapa teman, dokter Rochadi sarat
prestasi dan expert. Namun ketika bertemu langsung, ternyata beliau terlihat
amat bersahaja. Ia langsung ramah menyapa menggunakan bahasa Jawa halus
sehari-hari. Hadeeeeh.... jadi kita deh yang bingung jawabnya. Gini deh kalau
sudah termasuk generasi Jawa yang nggak capcus bahasa halusnya. Terpaksa campur-campur
ngomong dengan Jawa krama dan bahasa Indonesia he2...
Begitu kami katakan tentang diagnosa penyakit Elo plus
memberikan foto rontgennya, dokter Rochadi bilang gini :
Wonten mrika diajari
nopo kalih dokter? (Di sana diajari -penanganan- apa sama dokter?)
Saya bingung. Lah...memang nggak diajari penangangan apa pun
kok. Saya jawab kami sudah ke dokter spesialis bedah anak dan disuruh operasi.
"Taksih alit.
Emak-eman nek operasi. Mpun mriki tak ajari," kata dokter. (Masih kecil. Sayang kalau operasi. Sudah, sini saya ajari)
Lalu kami pindah ke ruang lainnya. Dokter menyuruh saya
melepas popok dan celana Elo lalu meletakan dia di bed. Selajutnya dokter minta
asisten menyediakan kertas untuk alas pantat Elo. Kemudian beliau memakai
sarung tangan, mengolesi jari telunjuk dengan gel. Dengan lembut ia memasukkan
telunjuk ke anus Elo dan menggerak-gerakknya kurang lebih satu menit. Walau
pelan Elo nangis kencang. Ya iyalah.. Dengan tindakan itu feses Elo langsung
keluar. Selesai ini Elo kemudian menjalani sesi terapi sinar microdiatermi
selama kurang lebih tiga menit. Bentuk alatnya seperti mesin cuci dua tabung
tapi ada pemancar sinar warna merah. Saya pikir semacam infra red. Tapi kata
dokter Rochadi, itu bukan infra red. Terapi sinar ini untuk meningkatkan
antibodi.
|
Total tak sampai
setengah jam di ruang dokter. Tapi kami harus kembali empat kali lagi dengan
selang satu hari. Total Elo harus menjalani lima kali pemeriksaan. Bukan
perkara rumit untuk bolak-balik ke klinik. Karena saya-Elo-Ale akan tinggal di
rumah Mbah Uti di Klaten. Jarak Plered – Klaten bisa ditempuh sekitar satu
jam. Selama di rumah saya harus
melakukan prosedur “colok dubur” seperti
yang dokter lakukan, yakni :
- bungkus tangan dengan sarung tangan karet yang tipis
- masukkan telunjuk ke anus hingga terasa batas atas saluran anus (kalau umpama di balon, hingga batas atas mulut balon)
- gerakkan perlahan maju mundur dengan posisi jari tetap tegak (tidak bengkok)
- lakukan sekitar satu menit
Sehari dua kali, pagi dan sore. Fungsinya untuk
mengeluarkan timbunan feses dan merangsang pertumbuhan syaraf di usus. Kalau
jumlah syarafnya bertambah otomatis masalahnya selesai. Sementara untuk
obatnya, kami hanya perlu membeli -di apotik mana saja- sirup paracetamol,
antibiotik, dan gel pelicin.
Sudah? Gitu aja?
Iyesss.. Sudah! Gitu aja!
Saya keluar dari ruang periksa dengan bersyukuuur, dengan
legaaaa, tapi juga antara was-was dan belum sepenuhnya percaya. Beneran cuma
gitu aja? Jalan keluar yang sepertinya "terlalu sepele" jika
dibandingkan dengan bayangan kerumitan dan beban yang kami rasakan hari-hari
sebelumnya. Menurut dokter Rochadi, Elo
tak perlu operasi karena penyakitnya belum terlalu parah. Kalau parah, ya mau
tak mau harus operasi.
Bagi kami, ini terasa sebagai mujizat. Tuhan begitu baik dan
murah hati memberikan proses akhir yang mudah untuk kami jalani. Tak perlu
detik-detik menegangkan menunggui operasi pertama. Tak perlu hari-hari dengan lubang
di perut dan segala keribetannya. Juga tak perlu kembali tegang saat operasi
kedua.
Soal biaya, juga menjadi sangat-sangat ringan. Semula
estimasi sampai puluhan juta rupiah -karena perawatan dengan kelainan bawaan
tidak ditanggung asuransi. Ada sih kartu BPJS. Tapi dengar-dengar bisa lama antre kalau pake BPJS -karena saking banyaknya orang pakai BPJS. Plus belum tahu juga, ada hambatan tidak dalam mengurus kartu BPJS kami yang terdaftar di Sumatera Utara tapi digunakan di Jawa Tengah.
Ternyata biaya setiap kali periksa "hanya" Rp
50.000 (kecuali saat periksa pertama kali yang Rp 100.000). Ya sih keperluannya
memang nggak cuma biaya periksa, tapi banyak keperluan lain di luar periksa, termasuk –tentu
saja- tiket pesawat hehehe. Tapi tetap saja cost-nya tak sebesar kalau mesti
operasi. Puji Tuhan semuanya dicukupkan.
Periode ini menjadi satu pengalaman yang
sangat-sangat-sangat berarti bagi kami. Ini semacam vaksin, yang bikin panas
dingin saat diberikan, tapi memberikan daya tahan. Kami kan tidak tahu apa yang
akan terjadi di hari esok. Apakah sekali ini saja kami akan mengalami krisis?
Ataukah kami akan diizinkan untuk kembali mengalami – entah dengan case apa. Setidaknya pengalaman ini
menebalkan keyakinan, bahwa Tuhan itu ada dalam suka maupun duka. Kalau kami lupa,
semoga semesta mengarahkan kami untuk mengingatnya.
Note :
Berhubung banyak pertanyaan soal klinik Dr Rochadi, berikut alamat dan nomor kontak klinik beliau sesuai dengan kartu berobat Elo tahun 2015 (data mungkin saja berubah).
Klinik Grha Permata, Kauman, Pleret, Bantul, Telp (0274) 441313
Alhamdulillah, senang bacanya bisa mendapat alternatif pengobatan terbaik. Semoga Elo sehat selalu ya...
BalasHapusmakasiiih ya mbak..amin. hana juga sehat2 yaa...maaf baru buka via lapi hihihi.
Hapusallhamdulilah, senang bacanya sudah bisa teratasi, semoga lekas sembuh ya elo
BalasHapusterima kasih mbak selvy..
Hapusmaaf yaa baru bales koment.nya :)
Mbak. Anak saya divonis megacolon oleh dr rohadi. Usia 2.5 tahin. Terapi colok dubur juga. Menurut pengalaman mbak apakah terapi ini cukup efektif?
BalasHapusHallo Mas Sanda Irawan. Maaf baru respon. Kalau dari pengalaman anak saya sih waktu itu jadinya sembuh dan sampai sekarang Puji Tuhan tak ada masalah terkait hal itu. Mudah2an memang tak ada masalah lagi. Entah kalau dari pengalaman orang lain. Bagaimana anak mas sanda sekarang? sudah baikan?
HapusMb si elo proses colok dubur berapa lama ya
HapusMb si elo proses colok dubur berapa lama ya
HapusMbak menurut pengalaman mbak apakah cukup signifikan efek terapi colok dubur. Anak saya 2.5 y dvonismegacolon oleh dr rohadi dan harus terapi ini
BalasHapusmbak bisa nanya jadawal prakteknya dr rochadi, sy search di google tidak ada kliniknya
BalasHapuskalau saya nggak salah ingat, pas saya periksa elo dulu, dokter rochadi praktik di klinik pukul 6-9 pagi. setelah itu beliau praktik di tempat lain/mengajar
HapusSenin sampai Sabtu jam7-9,minggu pagi jam 7-11,minggu sore jam 19.00sampe selesai
HapusMbak... Hasil ronsen panjang usus yg ga berfunsi seberapa ya..makasih
BalasHapusIbu, tolong bantu sharing2... Anak saya jg di diagnosa seperti itu... Boleh kah saya minta no ibu.... Atau ibu WA saya di no 087783812363. Tolong bantu saya ya bu. Gbu
BalasHapusIbu bagaimana dengen kondisi elo sekarang?
BalasHapusTerkait Hirscprungnya, belum pernah ada masalah sejauh ini. Dan anaknya tumbuh normal layaknya anak2 lainnya.
Hapusmba, dlu sebelum didiagnosa hisprung, gejalanya apa saja ya mba. anak saya kalau bab 4 hari sekali dan keras, takut klo anak saya juga hisprung... bisa share info mba
BalasHapusnggak ada gejala terkait pencernaan mbak. sebelum diagnosa ini anak saya bahkan sama sekali belum pernah sembelit. namun selama di RS (10 hari) dia tiba2 nggak bisa pup dan perutnya langsung membesar
HapusMbak, apakah alamat kliniknya masih tetap? Soalnya saya googling klinik dr rohadi yg muncul rumah sakit permata husada
BalasHapusPas kami ke sana, kliniknya itu terletak di dekat RS Permata Husada. Dekat sekali kok..jalan kaki saja bisa.
HapusHallo mba...brapa lama Ello dicolok dubur mba??$0alnya kami LG terapi skrg di dokter Rohadi..
BalasHapushallo mbak. Saya lupa persisnya. Kalau tidak salah ga sampe sebulan terus krn sdh bisa pup normal jd saya hentikabn.
HapusTes
BalasHapustest back :)
HapusMbak Lisda dan Mba Rohani apa bisa bantu saya alamat lengkap dan no kontak klinik dr. Rochadi saat ini, saya dengan mohon kabari saya 085861410053. Saya dari Cianjur, Jawa Barat mba, berencana mau bawa anak saya berobat kesana.
BalasHapusTerimakasih. Karena artikel ini kami meluncur ke klinik dr rochadi. Setelah rontgen disarankan Colok dubur. Hisprung anak kami kelas 4SD sembuh sekitar 2 minggu.
BalasHapusBun total biaya disana umum atau bpjs ya ?
BalasHapus