Pic : www.ardikaya.wordpress.com |
Nyambung cerita beberapa hari lalu:
Pada Jumat (14/10) meteran sudah kembali dipasang. Buat yang
males buka link, saya flashback singkat : pada Selasa (11/06), rumah
kontrakan kami didatangi petugas Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Dari
hasil pemeriksaan, KWh-meter (meteran) kami dinyatakan diperlambat. Akibatnya,
sore itu juga petugas membawa meteran kami ke kantor PLN Deli Tua. Plus, esok
harinya kami harus mengurus masalah itu ke sana.
Sore hari itu, suami saya (BJ) langsung menelpon ibu S,
selaku pemilik rumah. Berhubung ibu S bekerja, maka esok harinya beliau tidak bisa ikut ke
kantor PLN. Ibu S minta tolong suami saya menguruskan masalah ini sembari minta
dikabari perkembangan informasi. Suami saya berangkat cukup gasik ke kantor
PLN. Tapi sampai siang belum memberi kabar sehingga saya tanya via Whatsapp.
T : Bisa senyum atau gawat nih?
J : Gawat. Ntar sore/malam kita ke rumah Bu S
Wedewww.... gimana nih gawatnya? Tapi saya nggak ngejar cerita detail via WA.
Toh ntar sore pasti diceritain. Dan beneran memang gawat : perusakan KW-h meter itu mengakibatkan denda Rp 10.5 juta.
Weiksssss.....
Lebih gawat lagi kalau kami harus membayar.
Sementara posisi kami hanya sebagai pengontrak yang baru empat bulan menghuni
rumah. Sore itu juga kami ke rumah bu S menyampaikan berita ini. Bu S juga
shock melihat besaran angka yang tertera di “surat cinta” dari PLN.
Saya sih percaya kalau bukan ibu S yang merusak meteran. Sebab, ibu S tidak pernah mendiami rumah ini, artinya ibu S tidak ada masalah dengan besarnya tagihan PLN. Kalau pas kosong (tak ada yang mengontrak), ibu S tinggal bayar biaya bebannya saja. Apa untungnya ibu S merusak properti sendiri?
Ditilik dari kronologisnya, tagihan tak wajar bermula dari tahun 2015. Itu adalah penghuni sebelum kami. Tapi ibu S pun tak bisa memastikan siapa pelakunya. Sebab di kurun waktu itu, ada nama pak B selaku pengontrak resmi. Namun, oleh pak B, kontrakan dialihkan ke orang lain tanpa memberi tahu ibu S terlebih dulu.
Parahnya lagi, kata bu S, si penghuni terakhir itu juga
pergi sembari meninggalkan tagihan air sebesar Rp 350 ribu. Duuuh... siapa yang
nggak jengkel kalau ketemu kejadian kayak gini?
Pelajaran banget nih, mana tahu suatu saat punya kontrakan. Haha, punya
rumah aja belum sudah ngayal punya kontrakan *ngayal mah sah-sah saja ^-^*
Petang itu juga kami ikut Bu S ke rumah Pak T, seorang
pegawai PLN. Mana tahu Pak T bisa menolong, memberikan cara agar denda lebih ringan. Atau setidaknya kasih pencerahan, mesti gimana. Kami masih
sama-sama blank soal ini.
Ternyata soal denda, Pak T nggak bisa menolong. Menurut Pak
T, sekarang-sekarang ini PLN memang sedang gencar-gencarnya melakukan razia pelanggaran
pemakaian listrik. Ditambah lagi, mulai dari razia hingga pengurusan di kantor
PLN juga diawasi. Jadi, sulit untuk menyiasati perkara ini. Apalagi di saat-saat gencar razia pungutan liar seperti hari-hari ini. Satu-satunya cara ya harus membayar denda.
*Ya memang sih,
kalau sudah niat cari celah, mungkin bakalan ketemu juga meski risikonya cukup
tinggi.*
Puji Tuhan, ibu S memilih jalan yang lurus saja. Menurut Pak T, besaran denda tak hanya dihitung
dari besarnya tagihan dan lamanya pelanggaran seperti dugaan kami. Tapi juga dihitung dari besaran
daya terpasang dan tipe pelanggaran. Sekalipun baru mencuri selama satu bulan, kalau
pelanggarannya dianggap berat, dendanya tetap besar.
Hari Kamis-nya, BJ dan bu S ke kantor PLN. Di sana akhirnya
dicapai kesepakatan, pembayaran denda dilakukan secara mencicil. Pembayaran
pertama (bulan ini) Rp 3,5 juta. Sisanya dicicil selama 10 kali dengan cara
terikut dalam tagihan rekening listrik. Tanggung-jawab penuh ibu S selaku pemilik rumah membuat saya simpatik terhadap beliau. Dalam beberapa kasus yang saya baca, ada lho pemilik rumah yang tak mau tahu ketika terjadi persoalan seperti ini.
Sebelum ini, saya nyaris tak peduli berita tentang pelanggaran pemakaian listrik. Satu-satunya berita pelanggaran pemakaian listrik yang saya masih ingat hanyalah kasus Daeng Azis. Itu loh, mantan jawara Kali Jodo, Jakarta. Tahu masalah itu juga karena berita penertiban Kali Jodo waktu itu kan lumayan ramai. Akibat pelanggaran listrik, Daeng Azis dipenjara dan dikenai denda ratusan juta rupiah.
Tapi kalau belum kena sendiri mah baca berita/dengar juga sambil lewat saja. Gara-gara masalah ini, jadilah saya googling, baca sana-baca sini. Weiiih,
ternyata buanyak banget berita soal penertiban listrik. Saya-nya saja yang selama ini nggak pernah perhatian *belum kena masalah sih*. Bahkan, setelah posting tulisan pertama, seorang
teman lalu cerita kalau kantor suaminya juga barusan kena razia P2TL. Dendanya Rp 64
juta!Fiuuuuuh... Di artikel lain, denda pelanggaran listrik bisa sampai angka miliaran rupiah!! Ini sih bukan pengguna listrik untuk rumah tangga, tapi listrik untuk usaha.
Salah satu artikel sharing yang menurut saya cukup mencerahkan ada di sini nih. Si empunya blog, Mas Aswin, menceritakan mamanya yang kena denda Rp 11 juta. Tapi tak berhenti pada bete, Mas Aswin rela bersusah-payah menelusuri dasar hukum P2TL. Bahkan beliau juga sudah bersiap melakukan judicial review atas aturan tersebut. (Namun judicial review batal diajukan karena mama Mas Aswin tak jadi dikenai denda)
Kasus pelanggaran listrik ini menjadi lebih rumit ketika penghuni rumah bukanlah pelaku perusakan meteran/instalasi. Jika semisal pemilik rumah/usaha memang adalah pelaku, ya sudah, itu mudah. Denda/pidana adalah konsekuensi dari tindakannya. Tapi bagaimana jika kasusnya seperti di kami? Dari kejadian kemarin kan, suami yang tanda tangan di berita acara razia. Lalu, kami diminta untuk diskusi dengan pemilik rumah. Bersyukur pemilik rumah bersedia menanggung denda sebagai konsekuensi kerusakan propertinya. Kalau semisal beli rumah second dan ternyata kemudian pembeli terkena denda gara-gara pelanggaran listrik yang dilakukan pemilik rumah sebelumnya??
m |
pic : indonesia.coconuts.com |
Dari blog Mas Aswin ditulis, ada cara untuk melawan PLN di
kasus ini, yakni melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Lewat badan ini, beberapa penggugat menang atas perkaranya melawan PLN. Tapi yah, bagi sebagian orang, mungkin tak
tahu atau merasa ribet untuk berurusan dengan masalah hukum seperti ini. Jadi
terpaksa-lah membayar denda (rasanya nggak mungkin ya membayar denda dengan sukarela, apalagi sukacita :D).
Kalau ingin listrik tetap mengalir, denda tetap harus
dibayar. Ini berbeda dengan kasus keterlambatan membayar. Di mana tiga bulan
berturut-turut tak membayar, listrik diputus tanpa konsekuensi pidana (cmiiw).
Sedangkan di kasus ini, berita acara di kertas warna pink adalah sekaligus
sebagai pemanggilan pertama. Jika abai, akan ada panggilan selanjutnya. Jika
masih abai juga, akan ada panggilan lagi. Lupa sih, berapa kali panggilan
susulan. Pokoknya, kalau tetap mengabaikan urusan ini, maka masalah akan masuk
wilayah pidana. (Ohh, makanya Daeng Azis
sampai masuk penjara..)
Jadi mengambil pelajaran gara-gara kejadian ini.
Pertama, walaupun banyak cara untuk mencuri listrik, lebih
baik nggak usah deh. Memang sih, setiap bulan bayarnya irit. Tapi begitu kena
razia, dueeeeng langsung deh denda guede. Belum lagi risiko kebakaran gara-gara
instalasi listrik yang diutak-utik. Di atas alasan tersebut adalah poin penting yang sering kita
ajarkan pada anak-anak : mencuri itu dosa ^_^
Kedua, jika dalam posisi sebagai pengontrak/pembeli rumah second, ada baiknya memeriksa
meteran/instalasi listrik lebih dulu sebelum mengambil keputusan. Sebagai orang
awam, mungkin akan sulit untuk tahu kalaupun ada pelanggaran di instalasi listrik.
Biar aman dan jelas, bisa kok minta tolong ke petugas PLN. Ya memang sih, agak
terasa kurang kerjaan. Tapi ini penting untuk antisipasi kasus serupa di
kemudian hari. Nggak enak banget kan kalau kena kasus seperti ini sementara
pemilik rumah kontrakan atau pemilik rumah sebelumnya nggak mau tahu sama
sekali.
Ketiga, sebaliknya dalam posisi pemilik rumah
kontrakan/penjual rumah second, jelaskan keadaan meteran/instalasi listrik
yang baik pada pengontrak/pembeli. Biar lebih sahih, baiknya juga memanggil
petugas PLN sebagai pihak yang punya kompetensi menjelaskan hal ini. Pun saat menerima
pengembalian kunci (dalam usaha kontrakan), ada baiknya meteran/instalasi
listrik dicek sebelum yang pamit :)
Dengan tips di atas, akan jelas siapa yang harus bertanggung-jawab
ketika terjadi pelanggaran listrik. Mending kalau seperti kasus kami yaa...
pemilik rumah sangat koperatif. Tapi kalau beli rumah second dan di kemudian hari kena razia listrik, sementara si
pemilik rumah sebelumnya tak mau bertanggung-jawab. Bukannya seperti peribahasa mendapat durian runtuh, melainkan seperti tertimpa durian runtuh dalam artian sebenarnya:
PASTINYA SAKIT BANGEEEET!
Ini jadi pelajaran yang sangat berharga ya mbak Lisdha, semoga masyarakat diluar sana tidak mengalami kejadian serupa. Dan perlu sosialisasi juga tentang hal ini supaya kita lebih berhati-hati kalau mau sewa rumah.
BalasHapusweks denda 10 juta. Untung pemilik kontrakannya baik ya mba, enggak kebayang klo si ibu kontrakan orang yang gak mau tau.
BalasHapusMasalah kelistrikan saya dua kali mengalami kerusakan MCB. Listrik rumah padam sendiri padahal tetangga aman-aman saja. Akhirnya telpon 123 dah. Untung petugas nya cepat tanggap dan ramah 😀
BalasHapusoke makasih infonya, tapi kalo misalnya terjadi kerusakan pada saat memeriksa kita bisa menghubungi petugas pln
BalasHapus