pic : google doodle |
Gara-gara tulisan Mbak Ira, saya jadi merefleksi diri
sendiri, “apa ya yang saya ingat dari seremoni peringatan Soempah Pemoeda?” Saya berusaha mengubek-ubek file ingatan saat upacara, dari zaman seragam
putih merah, putih biru, sampai putih abu-abu,... tapi NIHIL! Terlalu nggak sih? Hihi, mungkin karena dulu nggak terlalu suka upacara. Kalau pagi-pagi hujan terus nggak ada upacara, rasanya seneeng ^-^. Giliran sekarang kadang ada
perasaan kangen kalau lihat upacara hahaha.
Memang, segala-gala yang jadi seremoni rutin, kadang jadi
mengalami degradasi makna. Rasa-rasanya sih, dulu saya tak merasakan makna dan
pentingnya sumpah pemuda berdasarkan pengalaman pribadi. Sumpah pemuda hanya terasa sebagai ide yang "tinggi". Masterpiece para pemuda dan pemudi pada masanya, yang sekarang sih nggak terlalu relevan lagi. Lah kita sudah merdeka dari penjajah Belanda dan Jepang. Terus hari gini, nggak zaman lagi negara satu menginvansi negara lain seperti masa perang dunia. Kalau ada pertanyaan
tentang makna sumpah pemuda di ulangan harian atau ujian, maka jawaban saya
adalah normatif berdasarkan pelajaran Sejarah atau PSPB (yang tahu pelajaran
ini pasti sudah usia emak-emak/bapak-bapak deh ^-^).
Pemahaman dangkal seperti itu tak bisa sepenuhnya disalahkan sih. Pertama, saat itu memang masih usia anak-anak/remaja dengan pengetahuan yang lebih terbatas dibandingkan usia sekarang. Kedua, di masa itu, saya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang relatif homogen dari sisi suku. Sedikitnya relasi dengan orang-orang dari suku lain menyebabkan minimnya kasus nyata dalam kehidupan sehari-hari.
pic : www.kochiefrog.com |
Bertambah umur, juga tinggal berpindah-pindah (walau baru sedikit bagian
wilayah Indonesia) membantu saya memahami pentingnya Sumpah Pemuda di masa
kekinian. Saya ingat percakapan via Whatsapp dengan seorang mantan teman kerja (sebut
saja Mbak Y) beberapa bulan lalu. Saat itu saya bercerita tentang kesulitan
kami mendapatkan rumah kontrakan di Medan. Ada dua atau tiga kali kejadian di
mana kami sudah merasa cocok dengan rumah yang kami lihat. Namun, tak terjadi
deal karena perberdaan agama kami dengan si empunya rumah.
Kebetulan, dulu ketika kami masih sama-sama bekerja, saya
pernah hampir satu kost dengan Mbak Y. Saya sudah deal dengan pemilik kost,
bahkan sudah memasukkan kasur dan beberapa barang. Namun, tak sampai hitungan
minggu, si empunya kost meminta maaf pada saya. Dia meminta saya batal kost di
situ karena beberapa penghuni kost keberatan karena perbedaan agama saya.
Rrrr... sakit hati? Mengeluh-memaki?
Syukurnya tidak. Puji Tuhan saya boleh memahami perbedaan sikap orang per orang. Perilaku satu atau beberapa orang tak
lantas mencerminkan keseluruhan ajaran yang dianut. Lagipula, menolak seseorang dari agama
lain tinggal di rumah kita bisa jadi juga karena yang bersangkutan sebelumnya pernah
punya pengalaman buruk. Pengalaman buruk yang berulang bisa membuat seseorang
menggeneralisir sesuatu. Perlu dipahami kalau penerimaan dan pemahaman tiap-tiap orang
(yang seagama sekalipun) bisa berbeda-beda.
So tak perlu lah langsung menghakimi dan merasa sakit hati. Toh, di dunia ini banyak orang (mungkin termasuk saya) yang masih
hidup dalam stigma negatif terhadap orang lain. Padahal namanya stigma, belum tentu kebenaran
detailnya.
Obrolan dengan Mbak Y berlanjut sampai ke urusan suku. Bersyukur
sih, sekarang (dan semoga seterusnya) tak ada lagi konflik besar antar suku
seperti yang dulu-dulu pernah terjadi. Meski
demikian, sentimen kesukuan itu masih
ada saja lho.
Kalau tak salah ingat nih, Mbak Y cerita bagaimana dulu seorang
pemilik kost (yang adalah orang Aceh) tak mau menerima penyewa kamar dari Jawa.
Soalnya dulu dia pernah punya pengalaman tak menyenangkan dengan seorang
penghuni kost bersuku Jawa. Kapan hari, saya juga membaca resensi sebuah film pendek
tentang kesulitan mahasiswa asal Papua mencari kost di Jogja. Sebuah foto di facebook juga memperlihatkan pengumuman
di sebuah kost yang menolak calon penghuni dari Palembang. Dan ini dibenarkan
tetangga dekat saya yang berasal dari Sumatera Selatan. Stigma buruk tentang
suku/orang Palembang membuat dia sering langsung mengaku dari Muara Enim. (Ya memang
aslinya orang Muara Enim sih, tapi sebagian kita kalau berkenalan dengan “orang
jauh” kan pertama-tama menyebut ibu kota provinsi dulu sebelum kota asal... ya
nggak? ^_^)
Bersyukurnya, meski dulu tinggal di lingkungan yang nyaris
homogen Jawa, tapi saya diberi kemampuan untuk beradaptasi dengan suku-suku
lain. Terlebih ketika kemudian sempat tinggal di lingkungan sangat santai dalam
urusan suku-menyuku ini. Dengan teman-teman kerja dulu, biasa aja tuh saling
ledek dengan membawa-bawa suku. Seperti misalnya dulu saya pernah diejek begini
nih :
“Kamu ini cantik tapi kasihan deh..” (iih...ini
pasti enak di depan nggak enak di ujungnya :D)
“Emang
kenapa kasihan?”
“Karena kamu Jawa.”
Weeeeew.... emangnya saya bisa milih lahir jadi suku apa,
bangsa apa? Hehehehe.
Dulu sih sering bercanda-bercanda membawa-bawa SARA dan nggak pakai baper. Tapi yesss, becanda begini harus lihat-lihat tempat, waktu, dan dengan siapa bercanda. Salah-salah malah kena pasal pidana :D. (Atau, kalau nggak mau risiko, ya mending hindari bercanda macam begini).
Saya dan Mbak Y sepakat bahwa sebenarnya Indonesia ini
tinggal dalam kerentanan kerukunan. Keragaman suku budaya dan agama seperti
layaknya gunung berapi. Cantiiiik tapi punya potensi bahaya. Bahaya yang mesti diantisipasi dari berbagai sisi. Saya nggak bisa membayangkan andai ikatan-ikatan persatuan itu lepas bebas. Lalu di negeri ini terjadi perang yang luas dan berkepanjangan. Cerita derita yang biasanya hanya kita lihat di tayangan berita.
Kalau saya perlu waktu lama untuk merasakan pentingnya sumpah pemuda, bagaimana ya nanti dengan anak-anak saya?
Mudah-mudahan sih prosesnya lebih cepat. Sebab, tinggal di daerah yang jauh dari tempat asal membuat anak-anak lebih cepat melihat dan
merasakan keragaman. Sewaktu TK di Siantar, Ale harus ikut
menari tor-tor Batak saat kelulusan. Saat ini di Medan, Ale bisa berinteraksi
cukup dekat dengan seorang tetangga Tionghoa. Bagi saya, ini membantu dia
melihat bahwa keragaman adalah fitrah yang layak disyukuri. Sumpah pemuda memang ide yang "tinggi", tapi selalu relevan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Seruju banget mbak smg anak2 bisa menyerap pesan sumpah pemuda ditemgah makin majemuknya suasana indonesia
BalasHapusIya mbak diah. Apalagi musim-musim pilkada begini, sara potensi dibikin jadi "senjata". Trimakasih kunjungannya :)
BalasHapuswaahh, senangnya tulisan saya jadi inspirasi buat Mba Lisdha, terimakasih yaa Mbaa :)
BalasHapusmaaf baru sempat berkunjung ke sini :)