foto ilustrasi, pinjam dari www.kateringmedan.com |
Berawal dari kebutuhan untuk mengurangi item pekerjaan rumah
tangga. Sesama emak-emak, pasti paham lah ya, bagaimana kerjaan emak-emak itu
seperti enggak ada habisnya. Kalau nggak
percaya, silakan saja survey emak-emak dengan jumlah responden semaksimal
mungkin ^_^
Waktu tinggal di Pematangsiantar, lumayan banget ada Si Mbah
yang cuci-gosok dan bersih-bersih rumah. Datangnya pagi dan sore. Saya cuma perlu
masak, cuci piring, dan ngurus bocah. Pun saat itu, Ale masih TK dan Elo masih
banyak tidurnya. Mas J juga sering ke luar kota. Pokoknya masih ada lah waktu
buat me-time.
Berhubung sekarang semua di-handle sendiri, jadilah semua
waktu rasanya tersita untuk tetek-bengek urusan rumah tangga. Pun sekarang Ale sudah kelas satu SD dan Elo sudah dua tahun (tidur siang cuma sekali). Tugas merangkap-rangkap, antara lain tukang masak, tukang cuci-setrika, tukang ojeg, guru privat, baby sitter (dan lain-lain yang tak perlu disebutkan 😃😃😃).
Bisa sih bisa,
tapi rasanya jadi nggak ada waktu untuk diri sendiri, untuk me time. Sebenarnya
kerjaan rumah itu simpel. Tapi jadi nggak simpel kalau kita nggak bisa konsen
ngerjain karena selalu ditarik-tarik si kecil untuk menemani main. Di sisi
lain, saya nggak mau ngasih gadget ke bocah hanya demi dia anteng sementara
kita bisa konsen pada kerjaan. Di sisi lainnya lagi, saya juga pengin punya
waktu untuk diri sendiri. Minimal, saat bocah tidur, saya bisa konsen baca
buku, nonton film, update blog, atau menulis buku yang sejauh ini masih berupa
kerangka saja (hiks). Yang terjadi saat ini, saat bocah melek, saya nggak bisa fokus urus pekerjaan rumah tangga, Saat mereka tidur, saya harus cepat-cepat merampungkan pekerjaan
rumah. Dan nanti, saat malam, saya sudah kecapekan.
Hellooo... saya juga manusia yang butuh waktu untuk diri
sendiri. Waktu untuk re-charge setelah memberikan diri sepenuhnya untuk anak-anak
dan suami #tsaaaah.
Lagipula, kredo saya adalah “Supermom Is Dead” (terima kasih
untuk grup musik Superman Is Dead yang namanya mengilhami). Tak perlulah jadi
supermom yang bisa melaksanakan segala urusan rumah, suami, dan anak-anak jika
itu ternyata menyedot seluruh energi seorang ibu dan menjadikannya layu (perhatikan kata yang di-bold). Mungkin
ini sindrom yang sering melanda perempuan. Tuntutan eksternal yang saking halus
merasuk akhirnya menjelma menjadi tuntutan internal. Sebagai seorang ibu harus
bisa melakukan segala-segala. Pendek kata merasa harus menjadi superwife dan
supermom.
Saya sudah angkat tangan dulu deh. Hihihi..cemen atau
rasional?
Nah, di Medan ini, saya memutuskan untuk nggak pakai asisten
rumah tangga lagi. Takut nggak cocok, sementara saya orangnya nggak enakan
kalau nanti mesti berhentikan dia.
Awalnya, saya memutuskan untuk mengurangi
pekerjaan cuci-gosok dengan cara mendelegasikan ke laundry kiloan. Tapi rupanya
ribet soal antar jemput pakaian. Juga baju yang jadi bolong-bolong kecil karena
pemasangan label nama.
Jadilah mencuci dan setrika kembali jadi urusan rumah.
Pikir-pikir, apa ya kerjaan yang bisa dikurangi? Pilihan jatuh ke urusan makan.
Aslinya juga karena saya memang nggak hobi masak. Kalau pakai rantangan, segala
keribetan memasak, mulai dari belanja hingga mencuci perkakas akan
terminimalisasi. Paling-paling saya cuma perlu menyiapkan makanan bagi bocah-bocah
karena saya yakin menu rantangan bakalan nggak cocok buat lidah mereka.
Tapi sungguh, meski sudah menjatuhkan pilihan, tapi
eksekusinya tak bisa segera. Sewaktu di Siantar, saya pernah pakai rantangan.
Tapi saya nggak selalu cocok dengan masakannya. Sehari-dua hari masih oke, tapi
lama-lama bosan juga makanan masakan luar. Padahal, bayar harus sebulan full.
Dan kalau kami pergi keluar kota, tidak ada diskon untuk periode hari selama pergi.
Rugi bandar 😁😁😁😁
Jadilah, sebelum memutuskan untuk langganan rantangan, saya sesekali beli
masakan di warung (yang mana sebagian besar warung melayani rantangan). Saya
sampai mencoba-coba beberapa warung untuk menemukan yang cocok. Tapi rupanya
enggak ketemu. (Mungkin memang lidahnya yang susah kompromi).
Pun urusan beli makan ini
pun kadang ribet karena belinya sekalian saat menjemput Ale sekolah, yang mana saya
sudah ribet membawa duo bocil dan bawaan-bawaan anak sekolah. Mau keluar khusus
buat beli makanan kok males... Beda kalau rantangan, delivery, nggak perlu
repot keluar rumah.
Tapi ya sudahlah, memang sulit untuk mendapatkan situasi
yang “sempurna”. Akhirnya, tiga hari lalu, saya memutuskan untuk pesan
rantangan ke tetangga. Keputusan saya ambil setelah dua hari sebelumnya si
tetangga ini bikin pesta ulang tahun dengan hidangan buatan dapur sendiri.
Hmmmmh...kayaknya sih rasanya lumayan cocok.
Jadilah saya mulai rantangan. Saya pilih rantangan ini
karena bisa suka-suka kapan dan berapa lama pesannya. Bisa harian, mingguan,
atau bulanan. Nggak dipatok bayar sebulan seperti kebanyakan jasa rantangan. Jadi
di awal ini, saya pesan hanya untuk tiga hari dulu. Pas hari H, harap-harap
cemas (hahaha, kayak nunggu pacar yang
datang-datang aja). Gimana nih masakannya, cocok nggak sama lidah. Bagaimanapun,
enak nggak enaknya makanan itu kan sering relatif. Enak buat saya, belum tentu
buat orang lain. Dan sebaliknya.
Tiga hari ini, lumayan lah...baik dari segi rasa maupun
kuantitas. Not bad. Sepadan sama harganya. Suami juga nggak protes ketika makan
malam kembali menghadapi masakan luar, bukan masakan istrinya. Tapi justru saya
sendiri yang rasa-rasanya nggak bakalan sanggup kalau setiap hari mesti makan menu
rantangan. Mungkin ke depan, saya tinggal atur, dalam seminggu berapa hari
rantang dan berapa hari masak sendiri. Bukan situasi yang sempurna. Tapi untuk
beberapa situasi, memang perlu ada kompromi.
Posting Komentar untuk "Rantangan oh Rantangan"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)