Salah satu ulah iseng anak-anakku, Ale dan Elo |
Mungkin
sudah menjadi kelaziman jika banyak “orangtua”
terkaget-kaget melihat perilaku “anak-anak zaman sekarang”. Saat menjadi
“anak zaman sekarang”, saya merasa aneh dengan reaksi shock para orangtua. Tapi
akhirnya saya mengalami juga fase terkaget-kaget itu. Setelah melahirkan dua anak
dan otomatis masuk golongan “orangtua”, ternyata saya juga shock dengan
beberapa perilaku anak-anak kekinian. Shock yang berlanjut menjadi
kekhawatiran, “duuuh, bagaimana dengan anak-anakku nanti?”
Ada kasus-kasus
yang membuat saya shock dan ngeri dalam jangka waktu cukup lama. Beberapa di
antaranya akan saya sebut di tulisan ini. Pertama, saya sempat shock dengan
kekejaman Hafidt dan Asyifa, pasangan remaja
pembunuh Ade Sara. Saya masih teringat foto ekspresi senyum Asyifa saat
diperiksa di kantor polisi. Hah, diperiksa polisi karena kasus pembunuhan kok
masih bisa senyum-senyum. Bersyukurnya, ada pelajaran sangat indah yang bisa
dipetik dari kasus ini. Yakni keluasan hati Elizabeth Diana dan Suroto, orangtua
Ade Sara, untuk memaafkan pasangan pembunuh tersebut. Buat saya, mereka adalah pribadi
luar biasa. Semoga Tuhan senantiasa memberkati Ibu Diana dan Pak Suroto.
Kedua,
saya juga sempat shock (bahkan mual) karena tragedi Eno Fariha. Karyawati
pabrik di Tangerang yang diperkosa dan dibunuh dengan sangat sangat sangat
sadis. Satu dari tiga pelakunya adalah pelajar SMP! Ketiga, adalah peristiwa
yang berdekatan dengan kematian tragis Eno. Yakni perkosaan dan pembunuhan Yuyun. Pelajar SMP
yang diperkosa ramai-ramai, dibunuh, lalu dibuang ke jurang. Pelakunya
anak-anak muda dan sebagian masih di bawah umur.
Saat
itu saya adalah salah satu orang yang terdampak berita secara negatif. Saya
sangat sediih, sediih, dan sediih. Sampai-sampai saya juga curhat di blog ini.
Belum lama,
saya kembali shock karena peristiwa pembunuhan siswa SMU Taruna Nusantara Magelang. Korban
Kresna dibunuh saat tertidur nyenyak. Pembunuhan yang rapi dan direncanakan
dengan latar belakang dendam. Terlepas dari kabar-kabur bahwa kualitas anak-anak
yang masuk Taruna Nusantara tak sehebat dulu, toh tetap saja itu sekolah dengan
disiplin tinggi semi militer. Kok bisa juga terjadi tragedi semacam itu.
Saya
bukan psikolog maupun pengamat sosial handal yang mampu menganalisa peristiwa secara ilmiah. Saya hanya bisa terkaget-kaget dan sedih. Betapa anak-anak
sekarang ini menghadapi situasi yang sangat kompleks dibandingkan masa saya
dulu. Rasanya, yang saya sebut “dulu” itu belumlah dulu-dulu banget. Baru juga satu
– dua dekade lalu.
Lalu,
kemarin saya ngobrol dengan tetangga sebelah, yang anak-anaknya juga seumuran
anak-anak saya. Kurang lebih saya bilang begini, anak-anak punya potensi
menjadi korban ataupun pelaku. Sudah pasti sangat sediiih kalau anak kita jadi
korban kejahatan. Tapi kami sepakat kalau rasanya akan jauh lebih sedih, lebih
terpukul, lebih shock kalau anak kami jadi pelaku kejahatan.
Dalam
kesedihannya, setidak-tidaknya keluarga korban masih mendapat simpati dari
banyak orang. Sebaliknya, keluarga pelaku justru akan mendapat kecaman, hinaan,
dan mungkin sanksi sosial. Mungkin sebagian orang akan berkata, ngapain simpati sama keluarga korban. Pantaslah mereka mendapat cacian dan hinaan. Eh, belum tentu lho anak-anak pelaku kriminal
itu berasal dari keluarga berangasan. Bisa saja mereka lahir dan tumbuh dari
keluarga yang tampak normal dan baik kepada lingkungan sekitar. Mereka juga keluarga yang berusaha sebaik-baiknya mendidik anak. Tapi kan, mengutip sebuah kalimat yang tenar dalam dunia parenting : butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak.
Mungkin hanya sedikit orang atau bahkan tak ada orang yang mau
berbela-rasa dengan keluarga anak pelaku kriminal. Padahal, sebagai orangtua, mereka
pasti juga sedih, shock, dan merasa gagal mendidik anak.
Saya
baru saja memutuskan untuk berdoa bagi keluarga-keluarga anak pelaku kriminal
ketika hari ini saya mendapat kabar yang mengejutkan. Yakni, ada seorang anak
yang saat kecilnya saya kenal, kini sedang tersangkut perkara pembunuhan. Saya
benar-benar shock!! Dari sepotong informasi yang sangat pendek, saya langsung
googling. Ternyata beritanya cukup heboh dan banyak tersebar di media-media
mainstream.
Mungkin karena saking banyaknya berita kriminal, peristiwa itu
luput dari pembacaan saya. Kejadiannya sih sudah Desember 2016 tapi saya baru
tahu sekarang. (Oh iya, Desember -
Januari kan saya lagi pulang kampung lalu lanjut Elo masuk rumah sakit. Pantesan
jarang baca berita di internet).
Langsung
terbayang, dulu anak ini tampak lucu dan menggemaskan. Juga terbayang bagaimana
keluarga si anak, yang dulu saya sempat dekat. Saya tak tahu banyak bagaimana
perjalanan anak ini sejak balita hingga sekarang. Bagaimana anak yang dulu lucu
dan menggemaskan bertransformasi menjadi seorang pembunuh berdarah dingin.
Membaca
berita kriminal oleh anak-anak itu sudah menyeramkan. Dan ternyata lebih
menyeramkan lagi ketika kita tahu atau kenal orang yang terlibat dalam perkara
tersebut. Laiknya sifat sebuah berita, seseorang akan merasa terhubung ketika
obyek berita adalah sesuatu yang dikenal.
Jujur,
ada rasa takut dan khawatir yang menelusup ke dalam hati dan pikiran saya.
Apalagi kalau bukan tentang anak-anak saya? Bagaimana jika mereka menjadi
korban. Lebih seram lagi, bagaimana kalau mereka menjadi pelaku? Hari-hari ini
saja, anak-anak sudah menghadapi situasi yang sangat kompleks. Bagaimana dengan
lima-sepuluh tahun mendatang ketika anak-anak saya beranjak remaja?
Saya
jadi ingat sebuah anekdot yang berkali-kali saya dengar dan baca. Tentang
seorang ibu yang mendatangi pastor untuk konseling. Si ibu nyerocos tentang kekhawatirannya
akan si anak. Kesehatannya, pendidikannya, pekerjaannya, pasangan hidupnya....
semua hal tentang si anak. Sampai kemudian setelah si ibu selesai curhat,
pastor bertanya pada si ibu, “berama umur anak ibu?” Si ibu menjawab, “lima
tahun.”
Deuuuuh,
lebay-nya, baru juga si anak berumur lima tahun, tapi kekhawatiran si ibu sudah
panjang kali lebar kali tinggi. Dulu sih, begitu respon saya. Tapi setelah
menjadi orangtua, baru deh bisa memahami psikologi si ibu.
Jadi ada
baiknya kalau saya mengutip puisi Kahlil Gibran. Puisi yang bisa juga dimaknai agar
kita tak perlu terlalu khawatir dengan jalan hidup anak-anak. Sebab, Tuhan –Sang
empunya anak-anak- sudah memiliki rencana yang indah buat mereka. So, berusahalah sebaik-baiknya,
semampu-mampunya, dalam mendidik dan merawat anak-anak. Selebihnya, berserah
penuh kepada Tuhan, Pribadi yang sesungguh-sungguhnya Pemilik dari anak-anak
kita. Sengaja
puisinya saya kutip bagian yang pas dengan maksud tulisan ini.
Anakmu
bukanlah milikmu.
.............................................
Kaulah
busur, yang melepaskan anak panah kehidupan.
Sang Pemanah membidik sasaran dalam ketakterbatasan.
Dia merentangmu dalam keperkasaan-Nya
Sang Pemanah membidik sasaran dalam ketakterbatasan.
Dia merentangmu dalam keperkasaan-Nya
agar
panah melesat cepat dan jauh.
Meliuklah dengan sukacita di tangan Sang Pemanah,
Meliuklah dengan sukacita di tangan Sang Pemanah,
sebab
Ia mengasihi anak panah yang melesat cepat,
sebagaimana
Ia mencintai busur yang kuat.
Posting Komentar untuk "Kaget dan Curhat Malam Ini"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)