foto pribadi |
Beberapa bulan lalu, suamiku
a.k.a ayah Ale Elo bermimpi buruk. Dalam mimpi ayah, Ale berenang dan
tenggelam. Tragisnya, Ayah tak bisa menolong saat Ale tenggelam. Memang hanya
mimpi, tapi ada rasa tak nyaman hingga bangun tidur. Kami berdua bukan tipe orang yang suka menerka-nerka makna mimpi atau membawa-bawa mimpi dalam kehidupan nyata. Tapi soal mimpi tenggelam itu, rupanya agak berbeda. Si ayah begitu
waspada tiap kali dua bocah itu bermain air. Dia juga tak bosan
mengingatkan aku kalau tenggelam tak harus terjadi di air dalam. Di tempat yang
terbilang dangkal pun, bocah bisa tenggelam mengenaskan.
Minggu lalu, Ale mulai les
renang.
Sebenarnya, ayah kurang setuju.
Bukan karena ayah tak ingin Ale bisa renang. Tapi lebih karena kenangan mimpi
buruk itu masih saja membekas. Kalau Ale les, itu berarti kami pasti pergi
bertiga : aku, Ale, Elo. Sungguh yakin, Elo pasti tak mau duduk manis menunggui
mas-nya berenang. Balita itu pasti juga pengen ikut nyemplung. Artinya, aku tak
akan bisa 100 persen mengawasi Ale.
Huhuhu, iya sih. Tapi aku benar-benar ingin supaya Ale les renang. Ada beberapa alasan atas keukeuhnya aku. Pertama,
aku percaya, belajar renang akan semakin mudah kalau dimulai sejak dini. Di
usia sekarang (tujuh tahun), Ale sudah paham instruksi dan bahaya (meski tetap
harus terus diingatkan). Kedua, Ale sudah punya motivasi untuk bisa berenang.
Sebenarnya, sudah cukup lama aku menawari dia les, tapi dia belum tertarik.
Ketiga, lokasi kolam renang tak seberapa jauh dari rumah. Mana tahu kan,
tiba-tiba suami dapat mutasi dan kami tinggal jauh dari kolam renang.
Ayah bilang, biar dia saja yang
mengajari Ale renang. Tapi menurutku, latihan renangnya akan lebih intens jika dia ikut les. Kalau dengan ayah,
berarti hanya bisa di Sabtu/Minggu dan tanggal merah lainnya. Lagipula, aku sih
ingin memberi pengalaman dan pergaulan baru melalui les.
Ayah mengalah. (Hehehe, maafkan
daku ya Yah..) Tapi jelas, pesannya tegas. Selalu waspada!
Ale les di kolam renang
Istiqlal. Meski sama-sama bernama Istiqlal, ini jauh dari Masjid Istiqlal di
Jakarta ya.. Kolam ini tak seberapa jauh dari tempat tinggal kami saat ini. Jarak
itu juga salah satu motivasi-ku memberikan les renang pada Ale. Coba jauh,
pasti aku berpikir panjang dan sangat mungkin tidak melaksanakannya.
Di Istiqlal, biaya les renang
(saat aku menulis ini) adalah Rp 350.000 per orang (sistemnya BUKAN privat, satu guru satu murid). Biaya itu belum mencakup
tiket masuk, yakni Rp 10.000 (Senin-Jumat), Rp 15.000 (Sabtu), dan Rp
20.000 (Minggu dan tanggal merah). Pengantar yang menunggu di dalam juga mesti bayar tiket meski tak ikut berenang. Dibandingkan hasil browsing tentang “tarif les
renang di Kota Medan” (yang mana aku cuma dapat sedikit informasi), tarif ini termasuk standar. Ada yang lebih mahal, ada juga yang lebih murah (tapi jauh).
Tak ada batasan frekuensi latihan.
Kontraknya adalah “sampai bisa berenang.” Yang disebut “sampai bisa berenang”
ini tak ada kriteria jelas. Setidaknya demikian yang kutangkap dari sesi
tanya-tanya ke staff kolam renang. Ya rasanya sih bukan sampai bisa tingkat
mahir. Tapi kalau bermula dari level nol, mampu berenang minimal dengan satu
gaya, bisalah disebut “bisa”.
Hingga aku menulis ini, Ale
sudah dua kali latihan. Hmmmh, dugaan ayah benar, mana mau Elo duduk diam (atau
bermain) sembari aku mengawasi Ale. Dia jelas pengen ikut nyebuurrrr dengan
semangat. Jadinya memang agak repot karena harus memegang Elo, juga menengok Ale. Tapi bersyukur, Pakdhe Acok (nama pelatih) sangat
kooperatif, juga terlihat ngemong pada anak-anak.
Kerepotan lainnya adalah karena
aku mesti bawa perlengkapan perang cukup banyak. Kan aku juga ikut nyebur,
otomatis mesti bawa baju ganti untuk tiga orang, plus perlengkapan mandinya.
Belum lagi sesi mandi dan ganti baju. Ale sudah bisa melakukan itu sendiri. Lha
Elo?
Tapi demi Ale bisa berenang,
aku rela menjalani keribetan itu. Sampai-sampai si ayah bilang, jangan-jangan
Ale les hanya demi obsesi ibunya. Hihihi, mungkin iya. Tapi tentu nggak akan
kulakukan kalau Ale nggak enjoy. So far, Ale enjoy bangeeet. Malah mau nambah
dari porsi dua kali seminggu jadi tiga kali seminggu. Ish, ini sih aku nggak
bisa iya-kan. Kalau tiga kali seminggu, brarti adeknya juga tiga kali main air.
Hohoho...
Aku memang kepengin banget
anak-anakku bisa berenang. Buatku, renang itu salah satu life-skill dan sarana
rekreasi yang mudah (kalau bisa renang, tentunya). Aku sendiri tidak tumbuh dengan
kemampuan berenang. Kalau aku lahir dan tumbuh di kampung yang terdapat sungai
besar atau telaga, besar kemungkinan aku bisa berenang. Soalnya, tempat itu pasti jadi
tempat bermain favoritku. Sayangnya, di kampungku cuma ada parit. Mana mungkin
berenang di parit kan hehehe. Kedalaman airnya saja tak sampai sedengkul hehehe.
Makanya, aku pernah megap-megap
di air. Waktu itu sedang acara outbond di kawasan Taman Safari Bogor sebagai bagian akhir
training pekerjaan. Game-nya macem-macem (namanya juga outbond๐ช). Tiba di game yang mesti nyemplung di air, aku gagal menyelesaikannya dengan lancar. Bahkan, ya itu, aku sempat megap-megap dan mesti
ditolong teman.
Makanya aku jadi pengin banget
bisa renang. Sedemikian inginnya, aku sampai les renang saat bertugas kerja di
Cirebon. Tempat les-ku di Hotel Grage dengan pelatih renang dari tim pelatihan
daerah Kota Cirebon. Aku lupa nama si pelatih, lupa pula berapa biaya dan
frekuensi latihannya.
Yang aku ingat, usai les aku tetap tak mahir renang haha.
Yang aku ingat, usai les aku tetap tak mahir renang haha.
Tapi setidaknya, aku tak sepenuhnya mati gaya kalau masuk kolam renang. Tapi tentu saja pilih kolam dengan kedalaman maksimal setinggi leher. Kalau ketemu
kolam dengan permukaan bawah miring, aku akan mulai berenang dari sisi paling
dalam. Kalau aku capek dan tak lagi fokus, aku sudah
tiba di bagian kolam yang tak terlalu dalam. Jadi, aku bisa menjejakkan kaki di
dasar kolam dengan kepala di atas permukaan air. Ini namanya strategi menghindari tenggelam hehehe.
Dengan kemampuan level
dasar begini aku berani sok-sok olahraga berenang. Waktu tinggal
di Bandung, aku sering ke kolam air hangat Cipaku. Pokoknya kalau badan sudah
pegal-pegal nggak nyaman, itu tandanya sudah butuh pijat atau justru berenang. Dengan
berenang, badan kan bergerak semua ya.. ambil nafas juga maksimal. Buatku, efeknya justru relax seperti kalau dipijat. Usai renang
pasti bisa tidur lelap dan saat bangun, badan sudah kembali segar.
Saat hamil Ale, aku juga suka
ke kolam renang. Waktu itu aku sudah tinggal di Kabanjahe, Tanah Karo. Aku
berenang di kolam Hotel Sibayak di Berastagi. Kalau dipikir-pikir nekat juga
sih. Soalnya aku pergi sendirian, sementara kemampuan berenangku pas-pasan.
Kalau tiba-tiba kram atau apalah...namanya juga bumil, gimana coba? Terlebih
kolam renang hotel di hari biasa jelas tak seramai kolam renang umum.
Bersyukurnya, saat itu tak pernah ada kejadian buruk. Kemarin aku tanya si
ayah, kok dulu aku boleh hamil-hamil ke kolam Hotel Sibayak. Kata si ayah, kan
bunda bilangnya setelah di perjalanan ke kolam. Salah-salah si bumil malah ngambek kalau
dilarang.
Hehehe...iya sih.
Semoga harapanku supaya
anak-anak mampu berenang bisa terwujud. Mimpi ayah dahulu tak kujadikan sumber ketakutan. Tetapi kuanggap sebagai peringatan
agar kami tak lupa berdoa tiap kali hendak berenang. Juga tetap hati-hati dan waspada.
Happy swimming :)
Belajar berenang nagus buat anak2. Juga melatih mandiri selain utk keselamatan ya
BalasHapusiya mbak fiberti. tapi ternyata si bocah ga cepat bisa hahaha. sabar :)
Hapus