pic : youtube & pinterest
Sebenarnya sudah lama ingin menulis topik
ini. Tapi rupanya perlu trigger post yang bikin saya merealisasikan keinginan.
Masih ingat film Bolt? Jangan-jangan lupa kalau Bolt adalah judul film. Begitu
membaca kata “Bolt”, ingatan malah otomatis nge-link ke Usain Bolt, atlet yang
pernah digelari “manusia tercepat sejagad”. Atau, kalau bukan ke Usain,
nge-linknya ke paket internet “Bolt” (#BukanPromo😊).
Hehe, wajar kok kalau sepenuhnya lupa
atau lupa-lupa ingat. Soalnya Bolt terbilang film lawas. Film animasi produksi Walt Disney ini diluncurkan tahun 2008. Itu berarti sudah
hampir satu dekade yang lalu! Mungkin kurang menggema karena dalam hal
penghargaan dan respon (jumlah) penonton, Bolt kalah oleh Wall-E, film tentang
robot pembersih sampah yang juga dirilis tahun 2008.
Jadi ini memang bukan film yang sangat
nge-hits. Saya saja tahu film ini setelah Ale balita. Padahal, Ale lahir tahun
2010. Meski demikian, Bolt adalah salah satu film favorit saya. Bahkan saya
masih menyimpan keping cakramnya. (Kalau ternyata keping cakramnya rusak,
kayaknya baru deh mau mengunduh hehehe). Saat ini Ale memang sudah bosan. Namun
saya menyimpannya buat si adek Elo.
Bagi yang masih hafal ceritanya, boleh
skip empat paragraf di bawah ini. Tapi bagi yang nggak tahu atau lupa-lupa
ingat, berikut sinopsis film Bolt ya...
Alkisah, Bolt (suaranya diisi oleh John
Travolta) adalah seekor anjing yang bersahabat dengan Pennie (Milley Cyrus).
Keduanya membintangi sebuah serial televisi, di mana keduanya juga berperan
sebagai sepasang sahabat. Di serial tersebut, Bolt digambarkan sebagai anjing
yang memiliki berbagai kemampuan istimewa, seperti mata menyala, lari yang
sangat cepat, dan gonggongan super yang mampu menghancurkan berbagai benda.
Bolt adalah tokoh anjing super yang harus
melindungi Pennie dari berbagai ancaman.
Supaya akting Bolt tampak realistis,
dalam kehidupan nyata, produser serial tersebut menciptakan situasi seperti
dalam film. Bolt diperlakukan sedemikian rupa supaya yakin bahwa dia adalah
anjing super dengan misi utama melindungi tuannya, Pennie.
Hingga suatu hari, sebuah kejadian
membuat Bolt kecemplung dalam kotak paket dan terbawa mobil ekspedisi dari
Hollywood ke New York. Sekeluar dari mobil, Bolt langsung berhadapan dengan
dunia sebenarnya yang jauh berbeda dengan dunia settingan produser film. Ia
tidak bisa menggunakan kekuatan supernya. Lha wong memang sesungguhnya dia
nggak punya kekuatan super. Itu membuat Bolt sangat bingung.
Meski demikian, Bolt berhasil memaksa
seekor kucing betina bernama Mittens (Susie Essman) untuk mengantarnya kembali
ke Hollywood. Petualangan mereka semakin berwarna dengan bergabungnya Rhino
(Mark Walton) seekor hamster yang adalah penggemar serial Bolt di televisi.
Banyak hal terjadi dalam perjalanan tersebut. Hingga akhirnya Bolt menyadari
jika dirinya hanyalah anjing biasa. Semua hal-hal super yang dia “miliki”
hanyalah tipuan untuk adegan film. Bolt
“kehilangan” kekuatan supernya. Namun, dia menemukan arti persahabatan dan
kebanggan meskipun hanya sebagai anjing biasa.
Laiknya kebanyakan tontonan anak-anak,
film ini punya happy ending. Kalau nonton ending yang happy, saya suka ikut
senang. Hal lain yang menyenangkan adalah, film ini membantu saya untuk
mengajarkan perbedaan antara imajinasi dan realitas. Film Bolt memang
sepenuhnya imajinatif. Tapi Ale bisa paham, kalau apa yang tampak hebat di film
belum tentu yang sesungguhnya terjadi.
Misalnya saja saat Bolt bisa “menembak”
penjahat yang hendak menculik Penny menggunakan sinar tatapan matanya. Hal itu
bisa terjadi karena saat pengambilan adegan, ada kru yang menembakkan sinar
dari tempat yang tersembunyi. Pemain penjahat pun merobohkan diri, pura-pura
tertembak. (Ya kan memang gitu arahan sutradara😅)
Atau adegan setelah Penny selamat dari
kejaran penjahat. Penny berjalan sambil menggendong Bolt dengan latar belakang
properti pengambilan gambar yang sedang dibereskan. Buat kami yang belum pernah
jalan-jalan ke Universal Studio atau lihat syuting film, adegan-adegan di film
Bolt sangat membantu memberi gambaran dengan cara yang fun.
Meniru tokoh imajinasi memang bukan hal
aneh. Bahkan, rasanya lumrah dilakukan anak-anak ya... Jangankan anak-anak,
orang dewasa saja suka meniru. Dan banyak hal spektakuler yang embrionya adalah
“meniru”. Tentunya lewat proses ATM sih...Amati, Tiru, dan Modifikasi.
Jelasnya, orang dewasa mampu meniru
dengan akal yang lebih matang. Sementara, anak-anak meniru dengan alam
pikirannya yang masih polos. Apa yang terlihat dengan mata, itulah kenyataan.
Setelah menonton film Cars, Ale pernah
bertanya, kok mobil-mobil di jalan nggak bisa bicara? Setelah lihat Kungfu
Panda, dia juga heran, mengapa hewan-hewan di film bisa bicara seperti manusia,
tapi kalau di kebun binatang tidak.
Itu masih mendiiiiing banget ya... Cuma
heran dan bertanya. Lanjutannya juga “cuma” kepengin barang-barang yang ada
gambar tokoh film yang disukainya (itu pun tak semuanya kami belikan).
Yang berbahaya adalah ketika anak meniru
sampai level ekstrim. Ada satu peristiwa yang membuat saya merasakan pentingnya
mengajarkan perbedaan antara imajinasi dan realitas sedini mungkin. Peristiwa
tersebut terjadi tahun 2014, yakni meninggalnya Valentino (5 tahun) karena
jatuh (atau terjun?) dari lantai 19 Apartemen Laguna, Jakarta Utara. Ada satu
poin yang dicatat banyak media saat itu,
yakni Valentino adalah penggemar Spiderman. Tak ada yang tahu persis
bagaimana kejadiannya. Tapi ada dugaan, Valentino menirukan aksi si manusia
laba-laba.
Duuh...semoga anak-anak tidak sampai
seekstrim itu menirukan tokoh/adegan yang disenanginya. Bagaimanapun, hari-hari
ini, rasanya sulit (atau bahkan mustahil) untuk membuat anak-anak 100 persen
steril dari paparan tontonan, entah itu film, video, maupun game. Yang bisa
dilakukan, mungkin hanya memfilter tontontan mana yang boleh ditonton mana yang
tidak/belum boleh ditonton. Tapi toh, kita tak selalu bisa mengatur tontonan
anak. Ada kalanya situasi dan kondisi tertentu membuat anak melihat sesuatu
yang sebenarnya kepengin kita filter.
Seperti ketika suatu hari Ale tidur lebih
lambat dan untuk pertama kalinya melihat film Fast & Furious. Sekuel
awalnya kan sudah sering tayang di televisi. Dia terpesona pada kerennya
mobil-mobil di film itu dan bilang, “aku pengin lho bisa (ngebut) seperti Fast
and Furious”.
Belajar dari film Bolt, saya jadi mudah
menjawabnya : ah ngebut seperti itu dan baik-baik saja kan cuma ada di film.
Coba beneran, bisa kecelakaan atau ditangkap polisi.
Dan Ale pun tak melanjutkan percakapan.
Rasanya, kisah tragis Paul Walker belum perlu saya ceritakan.
--------------------------------------------------------------------------------------
Artikel partisipasi untuk
#KEBBloggingCollab
Hampir sama ketika memiliki anak perempuan, dan dia bermimpi pengen seperti putri di dongeng. Bertemu pangeran dan berakhir happy ending. Ibunya belum bisa cerita, kalau hidup tidak seindah di dongeng. Tapi, kelak juga dia akan mengerti. :)
BalasHapusBetul sekali. :D Yaa memang begitulah kenyataan hidup.
BalasHapusIya ya, sebagai ortu kita kudu mendampingi anak nonton film. Jangan sampai dia jadi gak bisa bdmedain realita n imajinasi. Bolt bagus banget ngegambarin ini
BalasHapusKadang ssmua tontonan yang kurang mengedukasi anak tidak usah ditonton ya mba. Takutnya dia d tiru karena tidak tahu.. btw anak emang masih polos takutnya apapun ditiru karena blum tahu apakah hal tersebut benar atau tidaknya ya mb.. thanks sharenya ya
BalasHapusAw.. aw.. kayaknya pengen cari film ini deh.. thanks for sharing ya mbak :)
BalasHapusAda nama Paul Parker dan filmnya Fast Furious, ah jd ingat belum kesampaian nonton sekuel film itu yg terbaru.
BalasHapus