Beberapa
tahun lalu, saya menonton talk show wawancara tokoh di tivi. Bintang acaranya
adalah mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Bapak Mahfud MD. Entahlah, tepatnya
tahun berapa, di stasiun tivi apa, judul talk show-nya apa, pembawa acaranya apa,
saya lupa semua. Dan memang nggak perlu semua data itu untuk tulisan yang
bercerita tentang LUPA ini hihihi.
Wawancara
tersebut bukanlah untuk mengupas suatu kebijakan atau situasi sosial politik
saat itu. Namun, lebih ke perjalanan hidup Bapak Mahfud, seseorang dari
keluarga sederhana yang mampu menjadi akademisi dan pejabat tinggi di negeri
ini. Ada satu bagian yang saya ingat betul dari wawancara tersebut. Yakni Pak
Mahfud menyebut sebuah istilah, yang dikaitkan dengan keadaan beliau. Istilah
itu hanya beliau sebut sekilas saja. Yang cukup panjang adalah keterangannya.
Pak
Mahfud bilang, hidupnya saat ini jauh melebihi ekspektasinya di masa dulu.
Tuhan mengabulkan jauuuh lebih banyak daripada yang dia minta.
Saat
itu, saya merasa “makjleb”, rada-rada “iri” dengan beliau. Duuh, uenak banget yaaa...
hidup yang jauuuuh melampaui ekspektasi. Saya membandingkan dengan diri saya.
Diri yang rasanya justru jauh dari impian-impianku di masa lalu. Diri yang
jangankan melampaui, sesuai ekspektasi saja beluum. Buat saya, permintaan yang terkabul
masih lebih sedikit daripada yang saya minta.
Ups....hahaha,
kurang bersyukur banget yaaa..
Kan
sedang membandingkan dengan Pak Mahfud. Realitanya, saya tetap berusaha
bersyukur dengan apa yang saya jalani saat ini. Namun, kemampuan bersyukur itu
kan juga lewat proses. Kalau ada istilah “happiness is a journey”, maka buat
saya bersyukur itu juga sebuah perjalanan. Bagaimana bisa bersyukur bukan
sekedar karena “perintah agama” atau karena “semestinya begitu” atau karena
“kebajikan universal”. Awalnya mungkin memang beranjak dari situ. Tapi kemudian
jadi bersyukur yang benar-benar dari hati. Bersyukur yang karena kesadaran
pribadi.
Entahlah
ya, saat ini perjalanan bersyukur saya sudah maju, atau malah mundur, atau masih maju mundur. Biarlah Tuhan saja yang menilai. Maunya sih, grafiknya naik.
Karena memang, bisa bersyukur itu membuat hati menjadi tenang.
Yang
pasti, saat itu, istilah yang dipakai Pak Mahfud jadi terasa penting buat saya.
Sebab, salah satu hobi saya memang
mengoleksi kata-kata yang saya rasa asyik. Dulu, kalau baca/dengar kata yang
menarik, saya catat di buku/kertas/handphone. Bahkan, saya pernah menyediakan buku
khusus untuk mencatat kata/kalimat menarik itu. Dulu sih rajin, sekarang
sesempatnya saja hahaha.
Kalau
saya tak salah ingat, Pak Mahfud sempat berkata kalau istilah itu berasal dari
bahasa Latin. Jadi, saya sampai googling dengan keyword “istilah dalam bahasa
latin yang berarti hidup melampaui harapan” segala hahaha. Saya juga googling dengan aneka keyword lainnya. Tapi, upaya untuk
menemukan istilah itu dalam belantara gugel tak membuahkan hasil. Ya iyalah,
itu mungkin bisa dibilang “mencari jarum di tumpukan jerami”. Mencari seseorang
di sebuah kota besar hanya dengan mengandalkan ciri fisik yang terbatas tas
tas. Yaaaa...mission impossible toh..
Jadi
ya sudah. Saya menyerah. Toh bukan sesuatu yang urgent dan emergency. Tanpa
istilah itu, hidup masih tetap berlanjut. Ketiadaan kata-kata itu hanya sekedar
seperti “slilit” (bukan selulit yaah) yang tak terlalu mengganggu. Ketemu
syukur, nggak ketemu ya maunya ketemu #TetapNgarep
Uniknya,
yang saya lupa adalah istilah itu. Sedangkan asal muasal istilah (dari
wawancara Pak Mahfud) saya tidak lupa. Hhhmmm, memang suka aneh ya mekanisme
kerja ingatan ini. Selaku orang-yang-bukan-ahli-tentang-ingatan, saya kadang
bingung dibuatnya. Bukan bingung sih tepatnya, tapi penasaran. Kok bisa sih
ingatan itu begitu...
Soalnya,
ada hal-hal yang diharapkan tetap ingat,
eh malah lupa. Lupa nyolokin magic com yang sudah diisi beras dan air, lupa
beli sesuatu padahal tadi sudah masuk ke supermarket (salah sendiri nggak
di-list apa yang mau dibeli), lupa matiin kompor setelah selesai menggoreng
(minyak dalam wajan sampai berasap!), lupa bayar utang, bla bla bla...hihihi,
kasus lupa yang emak-emak banget ya.
Kalau zaman masih skolah dulu, maunya
ingat-ingat rumus dan segala macam bahan ujian. Di rumah sudah belajar, di
jalan menuju skolah masih terus komat-kamit menghafal, tapi saat
mengerjakan soal ujian malah lupa. Entah karena grogi atau sudah capek
mengerjakan soal lainnya. Apapun sebabnya, nggak enak banget deh!
Sebaliknya,
ada hal-hal yang maunya kita lupa, tapi hal itu justru kuat bercokol di
ingatan. Isssh, ini juga menyebalkan! Saya ingat, dulu pernah patah hati (cit cuiiit) dan saya mau melupakan si dia. Tapi kok syusyaah banget.
Sampai-sampai saya berdoa, Tuhan saya pengin amnesia, bukan amnesia total tapi
amnesia parsial. Amnesia khusus tentang dia. (hihihi, lucu ya doanya, tapi itu
dulu doa yang serius saya minta).
Masih
mending kalau “cuma” urusan melupakan si dia. Ya meskipun kata cuma saya kasih
tanda kutip. Sebab bagi saya, hal itu sekarang tinggal terasa lucu-lucunya
saja. Tapi ada kan sebagian orang yang nggak bisa move on dari patah hari masa
lalu. Bahkan pada masa berat-beratnya, itu patah hati sampai bikin bunuh diri.
Oh my..... Kita bisa ngomong “ish gitu aja bundir”...Tapi kan ketahanan
masing-masing orang itu beda.
Akan
jadi rumit kalau sampai susah melupakan peristiwa-peristiwa traumatik di masa
lalu. Ini banyak terjadi pada korban kekerasan, korban perang, dan sebangsanya.
Banyak orang tidak bisa melupakan kejadian-kejadian pahit itu. Bahkan
kepahitannya sampai berakar kuat dalam di hati dan jiwa. Dan lalu berpengaruh
dalam tindakannya sehari-hari. Kalau baca-baca cerita tentang para psikopat, banyak
dari mereka adalah orang-orang yang punya trauma masa lalu.
Hehehe,
dah jauh kemana-mana ngobrolnya. Kembali lagi ke laptop!
Kejadiannya
beberapa hari lalu. Sesaat setelah mandi pagi, tiba-tiba di kepala saya melintas
suatu frasa, yakni ULTRA PETITA! Buat saya, istilah ini terasa asing. Jadi
jelas, itu bukan istilah yang sering saya dengar, apalagi saya gunakan dalam
bahasa lisan maupun tulisan. Jadi, saya sendiri heran, mengapa di pagi itu,
istilah tersebut tiba-tiba melintas di kepala? Saya mencoba mengingat-ingat,
apa di hari-hari itu saya membaca atau mendengar istilah tersebut. Tapi rasanya
tidak.
Pagi
itu, beberapa kali saya menggumamkan kata Ultra Petita. Saya mencoba menebak,
kata itu mirip dengan apa? Dan dalam benak saya justru terbayang Harry Potter
mengacungkan tongkat sihir sembari bermantra : Ultra Petita!! Jangan-jangan itu
memang salah satu mantra Har-pot. Soalnya, di hari-hari itu, saya nonton film Harpot
yang sedang diputar di channel tv kabel. Tapi masa ada mantra Ultra Petita
sih...
Daripada
penasaran, jadilah saya gogling. Ternyata Ultra Petita adalah salah satu istilah dalam bidang hukum. Dari blog ini, saya mendapatkan arti Ultra Petita yakni penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau menuntut melebihi apa yang diminta.
Setelah membaca definisinya, langsung deh teringat sama Pak Mahfud๐๐. Rasanya, masuk akal banget kalau itu-lah istilah yang dulu dipakai beliau. Istilah yang saya ingat-ingat dan cari-cari tapi tak ketemu. Setelah saya menyerah dan lalu
mengabaikannya, kata itu justru muncul begitu saja.
Iyaa, begitu saja!
Saya benar-benar merasa heran. Kalau memang benar itu istilah yang dipakai Pak Mahfud, berarti saya memang pernah mendengarnya. Tapi, faktanya saya lupa. Bahkan kemudian saya juga merasa asing dengan istilah tersebut. Rupanya, dalam berita-berita politik dan hukum, kata itu lumayan kerap disebut. Tapi saya kan memang bukan pemerhati berita-berita tersebut. Kalau baca, ya selintas saja. #bacanyagosipmelulusih๐๐๐๐
Jadi, seumpama berkas, saya pernah menerima dan menyimpannya. Namun, ketika saya butuh, berkas itu nggak ketemu. Mungkin terkubur atau terselip sangat dalam, tertimpa timbuna berkas lainnya. Lalu, suatu hari, entah saya kejedug tembok atau habis makan sesuatu, berkas itu melenting dan saya nggak tahu itu berkas apa.
Ah
entahlah. Volume otak, mungkin tak jauh lebih besar dibandingkan kepalan tangan. Tapi mekanisme kerjanya sungguh mengherankan. Terpujilah Tuhan yang menciptakannya.๐๐๐๐๐๐
Jiaah...Pertama aku setuju dengan kata-kata di kertas itu "kalau disuruh melupakanmu antar aku ke kelurahan dulu untuk minta surat keterangan tidak mampu"..hahahaha. Sukaa!
BalasHapusMemang hebat bener kinerja otak kita yaaa..berapa kali aku juga punya pengalaman yang lebih kurang sama, mbak Lisdha. Dan, betapa enaknya kalau ternyata lupa itu parsial saja sifatnya dan bisa kita tentukan yang mana...lupa segera pada mantan, lupa utang sama teman..kwkwkw..Lha tapi ternyata lupanya malah sama teman sama-sama jemput sekolah, karena sudah lama nggak ketemu..eh bisa plas..lupa siapa namanya...hadeeeh!
Yang di kerta hasil nyontek mbak dian hahaha...gokil2 ya gombalan kekinian ituu hihihi. Iya enak bgt kalo bisa parsial-dan-ditentukan, sayangnya enggak ya..wkwwkkw
HapusHahaha lucu banget sih penyampaiannya. Tapi bener banget, Maha Besar Tuhan dengan segala kesempurnaannya yang membantu keseharian kita yg penuh khilaf ^^
BalasHapusHallo mba ayu. Saya baca2 artikel medis ttg ingatan/otak malah bingung. Jd kesimpulannya mmg Tuhan sang Pencipta itu huebaaat
Hapus