kucing mampir di sudut teras - dok pribadi |
Tempo hari, senyampang adek Elo boci, aku berniat mengutak-utik
blog. Emak-emak dengan batita begini, buat ngeblog mesti nunggu bocil tidur. Tapi,
sebelum update, aku malah memanggil Ale
dan menunjukkan foto Miong di tulisan ini. Itu foto lama. Saat itu, sepertinya
Elo belum genap setahun. Bahkan, foto itu sudah terhapus dari gallery telepon
seluler. Aku pun mendapatkan foto itu setelah mengaduk-aduk unggahan foto di
facebook. Jadi aku nggak punya maksud tertentu dalam menunjukkan foto itu
selain nostalgia : “ini lho foto Miong
sama dek Elo.”
Eh...tak kusangka, bocah kelas dua SD itu malah berkaca-kaca
lalu menangis tersedu-sedu. Lalu dia kembali protes, mengapa dulu aku dan si
Ayah tak mengizinkan Miong dibawa ke Medan. Semasa kami tinggal di Siantar, Miong
memang sering datang dan pergi sesuka hati. Tapi bagi Ale, kucing pincang itu
adalah kesayangannya. Alih-alih bisa utak-utik blog, aku malah harus menghibur
si bocah. Hiks hiks hiks...
Salah satu yang menghentikan tangis Ale adalah janjiku untuk
kembali memelihara kucing. Tapi itu nanti, setelah pindah dari kontrakan ini. Janji
yang bersayap. Sebab aku menyambungnya dengan syarat, “Ale pikirkan ya, kalau
kita pulang kampung, kucing itu kita titipkan kemana?” Dia menyebut satu nama.
Tapi aku tahu, itu bukan solusi yang bisa diambil.
Kecerdasan Natural
Aku termasuk ibu yang percaya jika memelihara binatang
memiliki manfaat positif bagi perkembangan anak. Jadi, sebenarnya aku senang
saja ketika Ale dan juga Elo menyukai binatang peliharaan. Toh, yang diinginkan
Ale juga bukan binatang yang mahal atau langka atau membuat aku takut. Cuma
kucing kampung gitu loooh...how easy to get it..
Dulu, ketertarikan dan kesenangan anak terhadap binatang mungkin
hanya dianggap perilaku perkembangan yang wajar. Namun, menurut teori
kecerdasan majemuk yang muncul belakangan, ketertarikan
terhadap binatang termasuk jenis kecerdasan. Dalam bukunya yang berjudul
“The Frames of Mind” (sejujurnya aku belum baca bukunya hehehe), Howard Gardner
membagi kecerdasan manusia dalam delapan kelompok, yakni kecerdasan bahasa,
logis, visual spasial, kinestetik jasmani, musik, interpersonal, dan natural.
Sebab itulah teorinya dikenal sebagai kecerdasan majemuk. (Sungguh aku berterima
kasih pada beliau karena membuat aku tetap merasa pintar meski jeblok dalam
banyak hal hahaha).
Tertarik memelihara hewan adalah salah satu “penampakan”
kecerdasan natural. Siapa tahu, dengan bekal kecerdasan ini, kelak anak akan
jadi dokter hewan, pakar lingkungan hidup, atau profesi-profesi lain yang
berkaitan dengan alam.
Terlepas dari profesi masa depan, memelihara hewan memiliki
berbagai manfaat positif pada anak, di antaranya memupuk tanggung jawab serta
rasa sayang pada sesama mahluk hidup. Meski memang, untuk itu harus
diperhatikan daftar do and don’t-nya. Bagaimanapun, anak-anak belum
bisa sepenuhnya bertanggung jawab dalam pemeliharaan binatang. Orangtua masih
harus terlibat demi keamanan, kebersihan, dan kesehatan binatang maupun
penghuni rumah lainnya. Tindakan orangtua akan menjadi teladan bagi anak
bagaimana cara memperlakukan binatang. Alih-alih mengajarkan kasih sayang
sesama mahluk hidup, bisa jadi kita malah memberikan contoh buruk.
Sebenarnya, selain masalah kondisi rumah yang kuceritakan di
postingan sebelum ini, ada masalah lain yang masih kupertimbangkan soal
memelihara binatang. Yakni, kadang kami pergi keluar kota selama beberapa hari.
Bahkan, kalau pulang kampung, rentang waktunya pasti lebih lama lagi, bisa dua
hingga tiga minggu lamanya.
Waktu di Siantar dulu, setiap pergi beberapa hari atau
pulang kampung, kami bisa titip peliharaan pada Uwak sebelah rumah. Menitip di
sini bukan berarti mengurung si Miong dalam rumah si Uwak. Melainkan meminta
tolong pada Uwak, untuk memberi makan si Miong kala dia tampak. Dan itu
sepertinya tidak susah karena si Miong memang terbiasa datang dan pergi. Jadi
dia terhitung binatang yang mandiri. Nah, di sini, rasanya masih mustahil
melakukan hal serupa.
Oh ya, sebenarnya kami sudah punya binatang peliharaan sih.
Yakni, beberapa ekor ikan kecil dalam akuarium mungil. Yang pengin ikan bukan
duo Alelo (meski mereka sempat bersuka cita dengan keberadaan si ikan). Justru
si Ayah yang ngebet mau memelihara ikan. Katanya, melihat ikan berenang
kesana-kemari bisa mereduksi stres. Tapi, tiba saatnya mau pulkam, jadi bingung,
si ikan mau dikemanain. Karena, tetangga dan teman yang kami rasa dekat tidak
punya akuarium. Jujur, hingga mau dua tahun tinggal di kompleks ini, kami masih
saja kuper. Segan lah kalau minta tolong sama tetangga yang kami nggak kenal
dekat. Bersyukurnya, di gerbang kompleks ada kolam mini tempat ikan peliharaan
pak satpam. Akhirnya, menjelang pulang, semua ikan kami kasihkan pak satpam.
Kalau ikan bisa dikasihkan pak satpam. Bagaimana kalau
kucing? Sebelum ketemu jalan keluarnya, baiklah aku ajak Ale memelihara kucing
dulu saja. Tapi, untuk saat ini adalah memelihara
tanpa harus memiliki. Yah, konsep ini sodaraan lah sama “mencintai tanpa
harus memiliki”.
Idiiih...pediiih tauuu..
Tapi sejauh ini, hal itulah yang bisa kami sarankan pada Ale.
Konsep ini terinspirasi dari bacaan semasa sekolah dasar. Entah di buku PMP
(holaaa..siapa yang juga dapat pelajaran PMP –bukan PKN, ngacuuung!) atau
Bahasa Indonesia atau malah IPA. Nggak penting di buku apa yaa...Intinya di
buku itu diceritakan satu cara, yakni menyediakan biji-bijian (atau makanan burung
lainnya) di tempat-tempat yang potensial disinggahi si burung. Dengan cara ini,
kita turut memelihara kelestarian burung dan mendapatkan manfaatnya (yakni
merduanya kicauan si burung atau si burung turut serta dalam proses penyerbukan
dan penyebaran biji tanaman). Kita juga tidak menghilangkan kebebasan si burung
(mengurungnya dalam sangkar). Jelas ini cara yang akan didebat para penghobi
burung yaa hehehe.
Kembali ke topik utama, yakni kucing. Di kompleks ini banyak
kucing-yang-entah-punya-siapa atau mungkin memang kucing-yang-bukan-punya-siapa-siapa.
Mereka adalah kucing yang sering terlihat di tempat sampah saat mengais
makanan. Mereka juga adalah kucing sering kelayapan di atap rumah dan membikin
kegaduhan.
Turut memelihara aku ajarkan dengan cara menyisihkan
sisa-sisa makanan untuk diberikan pada kucing-kucing itu. Sisa makanan biasanya
aku tempatkan di atas plastik/kertas lalu ditaruh di dekat ember sampah.
Mungkin karena dulu memang pernah melakukan cara serupa sih ya..Jadi kalau ada
sisa ikan atau daging, rasanya eman-eman
(sayang) untuk langsung membuangnya dengan kondisi bercampur dengan
sampah-sampah lainnya. Daripada terbuang dan langsung menjadi jatah
mikroorganisme, mending dimanfaatkan dulu oleh mahluk hidup yang levelnya lebih
tinggi. Lagipula, kalau disisihkan, sampah jadi aman dari potensi tercecer
gara-gara aksi ubek-ubek si kucing.
Biasanya, sisa makanan aku kumpulkan dulu di dapur.
Nantinya, aku minta Ale Elo cek depan rumah. Kalau ada kucing, sisa makanan itu
baru ditaruh di sana. Duo bocah itu nyaris selalu semangat kalau aku minta
menaruh makanan di situ. Apalagi kalau si pus melahap makanan itu dengan
semangat.
Jangan Membeli
Oh ya, saat browsing beberapa waktu lalu, aku ketemu tips
yang unik soal anak memelihara binatang. Mungkin bukan tips baru, tapi bagiku
jadi unik karena berbeda dengan artikel-artikel lain yang aku temukan saat
itu. Artikel itu menyinggung asal-muasal
binatang jika anak ingin punya peliharaan. Di situ disarankan agar “jangan
membeli tapi adopsi.” Ajakan untuk tidak membeli dimaksudkan untuk mengurangi
permintaan terhadap anakan binatang. Sebab, ditengarai ada praktik-praktik yang
kurang binatangiawi (ini istilahku biar sepadan dengan kata “manusiawi” hihihi)
dalam memproduksi anakan. Tingginya permintaan akan memperparah sisi gelap
industri penyediaan anakan binatang, di mana indukan diforsir untuk reproduksi tanpa
dipedulikan kondisi fisik maupun psikisnya. Jadi, alih-alih beli, kita
disarankan mengajak anak untuk mengadopsi hewan yang telantar. Selain
menyelamatkan binatang tersebut, langkah adopsi juga bermanfaat untuk
menanamkan nilai-nilai kepedulian pada anak.
Saran yang rasanya tidak selalu bisa dilaksanakan. Kalau mengadopsi,
pilihan binatangnya terbatas. Lagipula, pasti tak semua binatang yang dijual
berasal dari praktik yang buruk. Sejauh pengetahuanku yang terbatas, ada
sertifikat untuk hewan yang dibeli di tempat-tempat yang legal. Tapi aku jadi ingat pemandangan yang duluuuu sering
kulihat di depan Bandung Indah Plaza (BIP). Bermacam hewan peliharaan
diperjual-belikan di trotoar (bukan di toko khusus). Mungkin jual-beli liar
semacam itu yang dimaksud penulis artikel tersebut.
Kalau kelak jadi memelihara kucing, saran itu sih mudah aku
laksanakan. Karena mendapatkan kucing kampung itu gampang. Nggak perlu ke
pet-shop atau tempat jual beli binatang dan merogoh kocek dalam-dalam. Banyak
kok yang mau memberi anakan kucing dengan gratis, bahkan sukacita. Buat kami,
persoalannya masih yang tadi itu saja. Bagaimana nanti kalau kami pulkam lama?
Apa mesti membawa si pus ke penitipan binatang? Jangan-jangan di sana dia jadi
stres melihat binatang-binatang lain yang kelasnya lebih tinggi. Secara dia
cuma kucing kampung gitu lho. Atau malah
aku yang stres gara-gara melihat bill-nya. Karena, membawa dia ke tempat
penitipan jelas harus bayar. Berbeda dengan dulu, nitip ke Uwak sebelah yang
gratis tanpa biaya. Hhhmm...ini #EmakIrit atau #EmakPelit yah?
P.S : Siangnya Ale yang nangis karena kucing. Sorenya, ada
kucing terluka mampir di teras. Elo girang bukan kepalang
melihatnya. Bahkan, si kucing ditaruhnya dalam dus di sudut teras. Tapi si kucing itu kemudian pergi dan aku melarang Elo
menangkapnya. Toh nantinya si kucing akan tetap pergi.
Tapi gara-gara larangan itu, Elo menangis. Isssh, dua kali dalam sehari aku
harus mendiamkan dua anak yang menangis gara-gara dua kucing.
Posting Komentar untuk "Ketika Anak Ingin Memelihara Binatang"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)