jalan depan rumah |
Cemud #1
Hallo....lama sekali saya absen mengisi blog. Selama mudik Natal dan Tahun Baru, bisa dibilang saya minim sekali melakukan kegiatan seputar blogging, baik itu mengurus blog sendiri maupun sekedar blogwalking. Sekarang, sudah di Medan lagi dan kembali dengan rutinitas harian lagi. Banyak cerita yang bisa disampaikan seputar mudik. Mudah-mudahan beberapa waktu ke depan bisa lancar jaya posting dalam serial cemud alias cerita mudik :)
Hallo....lama sekali saya absen mengisi blog. Selama mudik Natal dan Tahun Baru, bisa dibilang saya minim sekali melakukan kegiatan seputar blogging, baik itu mengurus blog sendiri maupun sekedar blogwalking. Sekarang, sudah di Medan lagi dan kembali dengan rutinitas harian lagi. Banyak cerita yang bisa disampaikan seputar mudik. Mudah-mudahan beberapa waktu ke depan bisa lancar jaya posting dalam serial cemud alias cerita mudik :)
Mudik kali ini, kami sekeluarga (BJ, saya, Ale, dan Elo) mencoba rute baru. Sebelumnya kami selalu menjalani rute Medan – Jakarta (transit) – Jogja. Setelah AirAsia membuka rute langsung Medan – Jogja, kami tak pernah memilih penerbangan dengan transit. Tapi, kemarin kami memutuskan memilih rute Medan - Pekanbaru – Jogja bersama Lion Air dengan dua pertimbangan, yakni waktu terbang dan harga tiket.
Sempat khawatir terkena delay lama (karena si Singa Merah kan terkenal suka ngaret yaa :D). Puji Tuhan ternyata tidak. Selanjutnya, kami meluncur ke Klaten (tempat mertua) dan beberapa hari kemudian lanjut ke Temanggung (tempat emak). Total jenderal mudiknya sampai 16 hari. Cukup panjang yaaa...Ale sekolah di Yayasan Kristen, jadi libur natalnya panjang. Sementara BJ, jatah cutinya juga masih memungkinkan. Digabung dengan tanggal merah, cuti bersama, dan libur akhir pekan (Sabtu), BJ bisa libur sepanjang ini. Elo dan saya sih....nggak perlu jadwal libur atau cuti hihihi.
Namanya mudik, kegiatan harian benar-benar beda dengan rutinitas. Di tempat mertua, saya banyakan di rumah sih. Kalaupun pergi paling hanya seputar Kota Klaten dan sebentar saja. Jadi sempat menulis satu artikel, tapi itu pun tidak langsung saya publikasikan di blog. Bahkan, sampai sekarang, masih mengendap di draft. Di Temanggung, situasinya terbalik. Nyaris selalu ada acara atau jalan-jalan. Setiap malam, badan sudah lelah, ngantuk, juga kedingingan. Niat buka laptop kalah oleh kasur dan selimut yang terihat begitu menggoda.
Terlebih, kampung membuat saya jadi fakir sinyal. Jangankan buat buka blog lewat laptop, sekedar Whatsapp-an saja tak bisa realtime. Jadi semakin lengkap alasan diri untuk tidak ngeblog #eh.
Kalau melihat rancangan finansial, seharusnya akhir tahun ini kami tidak mudik. Sebab, Natal tahun lalu kami sudah pulang lalu (di luar rencana), lebaran kami juga pulang. Tidak akan jadi soal kalau selembar tiket pesawat hanya seharga satu box coklat KitKat.
Sayangnya tidak demikian. Sejak Elo lewat usia dua tahun, mudik berarti empat tiket Medan-Jogja PP (belum yang lain-lain). Dengan postur Elo yang mungil, mungkin bisa saja sih mengisi data “infant” demi satu tiket diskon. Tapi, saya sungguh yakin, duduk satu kursi ekonomi dengan Elo itu potensial tidak nyaman. Salah-salah, dia malah rewel berkepanjangan gara-gara ruang gerak yang terbatas.
Perusahaan tempat BJ bekerja tidak ada fasilitas tiket pulang kampung bagi karyawan dari luar pulau. Jadi, tiket pulang mesti ditanggung sendiri. Buat ukuran kami, empat tiket bukan anggaran yang sedikit. Makanya, kami hanya menjatah pulang setahun sekali.
Tapi tahun 2017 memang (di) luar (ke)biasa(an). Kami full team pulang Natal-Lebaran-Natal. Di luar itu, BJ dua kali pulang sendirian dengan cuti setelah meeting di Jakarta. Tiket Medan – Jakarta PP memang ditanggung kantor. Tapi Jogja – Jakarta PP kan mesti dibayar sendiri.
Salah seorang saudara kasih nasihat, intinya lebih baik kami nggak sering-sering pulang. Mending duitnya dialokasikan buat keperluan lain, yang bukan konsumtif tentunya. Ya sih, beliau ada benarnya juga. Menikah sembilan tahun, bisa dibilang kami belum sepenuhnya mapan. Mapan yang menggunakan ukuran material, tentunya. Contoh gampang, hingga saat ini kami belum punya rumah dan mobil sendiri. Bayangkan, kalau tiap pulang adalah seharga sepeda motor baru. Maka kalau absen pulang, budgetnya bisa untuk membuat hidup (terlihat) lebih mapan. Eaaaa....
Tapi apa sih mapan itu? Setiap orang mungkin akan punya jawaban berbeda. Parameter yang dipakai bisa bermacam warna. Dan setiap jawaban pasti punya alasan. Termasuk dalam hal pulang. Kami yang memilih untuk rutin pulang dan mereka yang memutuskan untuk tidak sering pulang, tentu punya alasan. Dan saya berusaha untuk tidak menilai alasan orang lain, meski itu berkebalikan dengan alasan saya. Seperti misalnya prinsip orang yang tak akan pulang sebelum mapan. Jelas itu berkebalikan dengan prinsip saya yang mending sering pulang daripada mengejar mapan tapi tak pernah atau juarang pulang. Saya percaya, tiap prinsip ada benarnya, tapi ada juga salahnya. Tergantung dari sisi mana melihat.
Bagi sebagian orang, pulang atau tidak pulang tak melulu karena urusan biaya. Ada yang sering pulang karena memang mudah kangen rumah dan tak kerasan di tempat tinggal sekarang. Sebaliknya, ada orang yang punya uang tapi memilih untuk lama tidak pulang karena merasa tak ada daya tarik untuk pulang. Entah itu hubungan yang dingin dengan keluarga atau sebab-sebab lainnya.
Kosakata pulang tentu sudah diperkenalkan sejak masa-masa awal hidup saya. Bermula dari pulang untuk jarak-jarak yang pendek, seperti pulang dari simbah di dekat rumah. Lalu berlanjut pulang dari jarak-jarak yang makin panjang, seperti pulang dari rumah saudara atau teman di desa sebelah. Saya pernah bermimpi bepergian dan bahkan tinggal di tempat-tempat yang teramat jauh, negeri-negeri asing yang membuat pulang berarti jarak dan waktu tempuh yang panjang. Tapi mimpi itu tidak saya perjuangkan atau memang sudah jatah saya hanya untuk sejarak ini. Sehingga untuk pulang saya tidak perlu paspor dan dokumen lalu-lintas antarnegara lainnya.
Dulu, pulang adalah tindakan yang biasa. Sebiasa melangkahkan kaki dari pintu saudara/tetangga/teman menuju pintu rumah. Entah itu pintu depan, pintu samping, atau pintu belakang. Namun, ternyata bagi saya pulang seperti buah-buahan. Semakin lama, warna dan rasanya berubah menjadi semakin manis dan matang. Mungkin karena jarak yang semakin jauh (walau tak sejauh impian saya dulu) dan frekuensi yang semakin jarang.
Tapi sepertinya perubahan itu adalah karena sekarang saya adalah seorang ibu. Se-orangtua meski menurut definisi undang-undang, umur saya masih termasuk golongan muda. Sejatinya saya bukan tipe orang yang mudah homesick. Dulu, pulang adalah pulang tanpa bumbu-bumbu romansa macam-macam. Bahkan, saat masih berlabel siswi dan mahasiswi, pulang adalah kebutuhan untuk mendapatkan suntikan dana dan macam-macam logistik mingguan/bulanan. Pulang adalah untuk “menyedot” persediaan dari orangtua.
Kehadiran Ale dan Elo mengubah persepsi saya soal pulang. Saya suka membayangkan, kelak jika mereka dewasa dan tinggal jauh. Anak-anak yang semasa kecil selalu bersama saya, selalu mengekor kemanapun saya pergi, tapi kemudian pergi jauh dan tak bisa saya ikuti (tepatnya saya tidak ingin ikut karena mereka toh harus membangun keluarga sendiri. Ini rancangan manusia yang mungkin berbeda dengan rancangan Tuhan). Hanya saya dan BJ di rumah. Dan saat mereka pulang dari tempat jauh, hati saya akan mengembang seperti parasut yang dihembus angin. Hati saya juga hangat seperti secangkir kopi yang belum lama dibikin.
Menggunakan ukuran pribadi untuk menyangka respon orang lain memang tidak selalu tepat. Tetapi, dalam hal pulang, saya percaya orangtusaya (yang saat ini tinggal emak dan ibu mertua) punya perasaan seperti yang saya bayangkan. Emak maupun ibu memang tidak tidak pernah meminta baik secara tersamar maupun lugas untuk kami pulang. Beliau berdua jelas paham jika biaya kepulangan kami tidaklah murah. Tapi saya dan suami mewajibkan diri untuk pulang karena kami yakin beliau berdua bahagia setiap kali kami tiba di rumah.
Kehadiran cucu-cucu yang jauh menghadirkan rona tersendiri di wajah-wajah tua itu. Mereka tampak sukacita meski kami tak membawa cerita-cerita sukses material yang hebat, yang bisa menjadi kembang pembicaraan tetangga. Toh, ukuran sukses itu relatif. Buat saya, bisa rutin mempertemukan anak-anak dengan simbah-simbahnya sudah suatu pencapaian tersendiri.
Kadang, saya hanya mengandaikan kalau waktu berjalan dengan normal, sehingga beliau yang sepuh akan lebih dulu dipanggil Tuhan. Saat itu, tak akan ada lagi simbah Upi (emak) maupun Simbah Uti (mertua) yang selama ini menjadi alasan terbesar untuk pulang. Memang masih ada saudara-saudara dan keluarga besar lainnya. Tapi situasinya pasti sudah berbeda.
Pulang memang menuntut energi yang besar tapi juga selalu memberi lebih besar dalam bentuk yang berbeda. Semoga, tahun-tahun ke depan kami masih bisa selalu pulang dengan sukacita.
sama kyk saya mba, mudik k kampung butuh biaya dan tenaga luar biasa, tp happynya lebih dahsyat alhamdulillah :)
BalasHapus