pic : www.mainantradisionalindonesia.com |
Hallo teman DW, hendak
menulis tentang ini membuatku samar-samar teringat dolanan anak-anak : JAMURAN.
Rrrrr, dulu aku sering main jamuran nggak ya? Kok aku tidak punya ingatan jelas
tentang permainan ini. Padahal, masa kecilku masih akrab dengan berbagai
permainan tradisional. Jelas beda lah dengan masa kecil zaman now yang banyakan
akrab dengan gadget. Permainan tradisional itu cuma ada dalam pentas seni atau
event-event tertentu #sigh.
Jadi,
tadi aku mencari “JAMURAN” via google. Dari sebuah blog aku bisa refresh tata cara permainan jamuran. Ini adalah permainan yang
dilakukan secara kolektif alias bersama-sama. Bagus untuk memupuk kemampuan
bersosial. Permainan diawali dengan pingsut. Anak-anak yang menang pingsut
akan membentuk lingkaran sementara satu anak yang kalah pingsut harus berada di
dalam lingkaran.
Anak-anak
yang membentuk lingkaran akan bernyanyi lagu jamuran. Sementara, anak yang
berada dalam lingkaran harus menebak nama jamur seperti yang ditanyakan dalam
lagu. Ada beberapa variasi lirik, tapi aku ambil versi yang tertulis di
www.budayajawa.id :
Jamuran ya gege thok
Jamur
apa ya gege thokJamuran ya gege thok
Jamur gajih mbejijih sak ara-ara
Siro badhe jamur apa?
Eh,
tapi aku bukan mau menulis tentang dolanan bocah ya. Ini mah prolog aja hehehe.
Aku mau menulis tentang kuliner jamur. Meski setiap hari makan dan
sesekali wisata kuliner, sebenarnya aku merasa nggak yakin menulis soal kuliner. Tapi, inilah
tema yang dipilih mak Ardiba Sefrienda dalam #KEBCollabWriting. Hihihi,
event-nya sudah jauh berlalu. Tapi dakyu baru sekarang menggenapinya. Huft!!!
Ini pun
bukan review makanan berbahan jamur, cerita tempat makan serba jamur, tips
memilih jamur, atau jenis-jenis jamur. Ini sekedar cerita tentang pertalianku
dengan jamur.
Pengin
menulis ini karena tempo hari, saat mudik ke kampung, aku menemukan jamur liar
di ladang kopi. Jamur liar yang enak dan tak berbahaya kalau dimakan. Samar-samar
kuingat nama lokalnya, yakni jamur wulan. Mungkin, bagi sebagian teman DW,
menemukan jamur liar masih merupakan hal biasa. Tapi buatku, itu jadi momen
luar biasa. Momen nostalgia. Maklum, dengan situasi sekarang, sudah nyaris menemukan jamur liar dalam keseharianku.
Makanya, rasanya
surprise saat melihat si jamur tumbuh di dekat pangkal pohon kopi. Ukurannya
cukup besar, dan yang terpenting masih segar. Aku tak cuma menemukan satu, tapi dua jamur. Mereka
sama-sama tumbuh di pangkal pohon kopi yang letaknya berdekatan. Ooo senangnya!
Aku
masih ingat surprise yang dulu kurasakan tiap melihat jamur liar. Kejutan
menyenangkan yang langsung berganti kecewa saat tahu kalau si jamur sudah lanas. Itu istilah untuk jamur yang
sudah lewat kesegarannya. Di batang dan payung jamur sudah ada belatung. Jelas
sudah tidak layak dikonsumsi.
Hari
itu, bersama suami dan anak bungsuku, kami pulang dari ladang dengan menenteng
dua jamur. Sampai di rumah, emak berbaik hati mencuci jamur itu hingga bersih.
Lalu, jamur dipotong-potong menjadi ukuran kecil. Cukup bumbu bawang merah,
bawang putih, dan garam yang dihaluskan (kalau aku sendiri, lebih suka pakai
bawang putih saja). Selanjutnya, jamur ditumis dengan sedikit minyak hingga
benar-benar masak, yakni sampai hilang bau mentahnya.
nggak pinter motretnya, jadi nggak menggugah selera yaak ๐๐ |
Dulu
saat masih kanak-kanak, aku sangat senang kalau menemukan jamur liar. Mereka
tumbuh di ladang yang jauh, di kebun belakang yang dekat, di tepi parit, di
bawah rerimbun bambu.... sudah pasti tempat-tempat yang lembab. Jamur tertentu
sering tumbuh di bekas sarang laron (sepertinya jamur wulan itu deh).
Ada beraneka
jamur yang dulu aku temukan. Tapi ternyata, aku tak punya memori yang kuat akan
nama-namanya. Aku mesti bertanya pada sepupuku dan dari dia kudapat nama-nama
lokal jamur yang dulu kami kenal (thanks budhe Wennie). Selain jamur wulan, ada
jamur cepadi, jamur siung kidang, dan lain-lain. Jangan ditanya deskripsi
fisiknya yaa...aku juga sudah lupa.
Sepupuku
bercerita tentang suatu jenis jamur yang konon akan cepat bermunculan kalau
kita tepuk tangan (keplok). Heh..jamur apa yah? Aku sih ingatnya, dulu pernah
nemu jamur yang tumbuhnya susul menyusul cukup cepat. Jadi, semisal aku nemu
jamur itu, lalu memetiknya dan pulang. Tak lama aku kembali ke tempat itu,
sudah ada lagi jamur yang sama tumbuh di situ. Hmmmh...jangan-jangan itu jamur yang
bisa dikeploki. Kenapa nggak aku tunggguin saja di situ sambil keplok-keplok.
Eh ya, sekalian nyanyi dengan suara fals-ku. Pasti jamurnya langsung tumbuh
cepat-cepat...bising sama suara semberku hahaha.
Orangtuaku
dan orang-orang dewasa lain di sekitarku memberi tahu, jamur liar mana yang bisa dimakan dan mana
yang tidak bisa dimakan. Jamur yang tumbuh di kayu, atau jamur yang
mengeluarkan serbuk kecil (seperti bedak talk) saat digoncangkan bukanlah jamur
yang bisa dimakan. Jamur yang tumbuh di kotoran sapi, apalagi. Big No No. Apakah
itu magic mushroom yang bisa bikin melayang?
Mereka
juga mengajariku, cara sederhana mengolah jamur liar menjadi hidangan lezat.
Lezat itu relatif sih ya... Di lidahku, tumis jamur yang sangat simpel itu rasa
dan teksturnya mirip-mirip daging ayam.
Masa
itu, daging ayam masih menjadi lauk istimewa. Secara sengaja hanya akan
disajikan di saat-saat tertentu. Memasak ayam secara “tidak sengaja” adalah
kalau ayam peliharaan terlindas kendaraan atau si ayam menunjukkan tanda-tanda
awal terkena sakit. Sebelum sakit parah, dipotong saja. Puji Tuhan kami aman
saja meski makan ayam yang sudah menunjukkan tanda-tanda sakit. Dulu kan belum
ada (atau belum terdefinisi?) penyakit flu burung.
***
Buah
duku dari Semarang. Lain dulu, lain sekarang.
Dulu,
makan jamur itu juga jarang-jarang. Cuma kalau nemu jamur liar saja. Sekarang
sih, asal bukan jenis langka, jamur adalah bahan masakan yang relatif mudah aku
dapatkan. Tapi jelas bukan jamur liar, melainkan jamur hasil budidaya. Di
warung sayur dekat rumah saja, nyaris tiap hari tersedia jamur tiram segar. Sesekali
ada jamur merang segar. Ada juga jamur kancing awetan. Kalau mau jenis jamur
yang lain, bisa deh pergi ke supermarket. Di sana ada jamur lain, seperti enoki, kuping, dan shitake. Hehe, aku sih paling beli jamur tiram
aja.
Dari acara
kompetisi masak Masterchef Amerika yang dulu sering kutonton, aku mengenal jamur truffle. Ini jamur liar yang sangat langka.
Ada jamur truffle hitam yang harganya mencapai Rp 30 juta per kilogram. Ada
lagi jamur truffle putih yang lebih
mahal lagi, yakni sampai Rp 120 juta per kilogram. Jamur ini biasa digunakan
untuk penguat rasa dan aroma dalam hidangan-hidangan kelas dunia. Jadi, jangan bayangkan sekilo dimasak semua gitu ya. Dalam satu hidangan, paling-paling berapa gram untuk campuran atau taburan. Tapi beberapa gram itu pun sudah sangat mahaal.
jamur truffle hitam. pic https://ffaasstt.swide.com |
jamur truffe putih. pic : https://pusateris.com/ |
Hhhmmm...seperti
apa rasanya makanan dengan taburan jamur liar truffle yaaah? Sama-sama makan
jamur liar, pengalamanku baru level jamur wulan๐๐
Wah jamur apa itu Truffle? Aku baru denger hehe. Biasanya makan jamur tiram sih.
BalasHapusHaha..sama mbak nisa. Saya juga biasanya jamur tiram :)
HapusJamur wulan itu kalau di daerah saya bilangnya jamur barat, wkwk. Enak rasanya ketimbang jamur tiram.
BalasHapusBeda tempat beda nama ya mbak angela. Dulu juga suka nemu ya?
HapusAbis Nemu jamur siung kidang banyak di satu lokasi.sudah 4hari ini kesana tiap pagi dapet terus..senangnya..nostalgia masa kecil
BalasHapus