Umat Kristiani baru saja
merayakan Paskah, yakni kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Meski tak ada
referensi teologisnya, perayaan Paskah telanjur identik dengan telur. Di
Alkitab, nggak ada lho perintah untuk merayakan Paskah dengan telur. Mungkin, keberadaan
telur pada Paskah mungkin seperti ketupat di hari raya lebaran (CMIIW).
Dilansir dari wikipedia.id,
tradisi telur Paskah berasal dari budaya kaum Indo-Eropa. Bagi mereka, telur
adalah simbol musim semi yang juga adalah permulaan tahun baru. Pada masa itu,
orang Persia biasa menghadiahkan telur
pada saat perayaan musim semi. Tradisi ini diadopsi pada abad-abad pertama
Kekristenan, karena perayaan Paskah jatuh pada setiap awal musim semi.
Tradisi telur Paskah bisa
diterima oleh gereja karena bisa digunakan sebagai simbol kehidupan. Telur bisa melambangkan kubur Yesus yang
tertutup rapat lalu terbuka karena kebangkitan-Nya.
Sepanjang pengalaman
kekristenan saya di Indonesia (lebih sempit lagi di Jawa dan Sumatra), telur
hanya lazim dalam perayaan Paskah anak-anak Sekolah Minggu atau remaja/pemuda.
Dalam kebaktian/misa Paskah warga dewasa, tidak selalu ada telur Paskah. Pun
keluarga-keluarga Kristiani tidak biasa saling menghadiahkan telur satu sama
lain. Entah ya kalau di Indonesia bagian lain atau di negara-negara asal
tradisi tersebut.
Gambar-gambar telur Paskah yang
bertebaran di dunia maya terlihat cantik dan indah. Sebagian malah terlihat terlalu
rumit untuk dikerjakan orang-orang biasa. Tampaknya, yang menghias telur cantik
itu adalah profesional atau setidaknya memang orang yang berbakat seni.
Berbeda halanya kalau anak
sekolah minggu yang menghias telur. Jangan terlalu berharap mendapat telur
secantik di internet. Apalagi kalau yang menghias adalah anak-anak sekolah
minggu tingkat dasar (setara PAUD/TK). Jika telurnya jadi cantik,
kemungkinannya ada dua : anaknya sangat berbakat atau dibantu orangtuanya.
Nggak apa-apalah...yang penting
anak-anak bersukacita. Meski memang, kadang sukacita mereka “ternodai” rasa
kecewa kalau gagal mendapatkan telur yang disembunyikan. Rasa kecewa yang
biasanya diobati dengan bagi-bagi telur (tanpa harus mencari).
Dua tahun ini, Ale Elo tak ikut
Paskah sekolah minggu. Memang, sejak pindah ke Medan, mereka berdua belum mau
ikut sekolah minggu huhuhuhu. Ini memang masih jadi dilema buat saya. Karena,
ditemani saat sekolah minggu pun mereka (terutama Ale) tak mau. Memang, menurut
saya suasana sekolah minggunya juga kurang nyaman (alasan Ale sih panas karena
nggak ada AC, sementara di ruang ibadah dewasa ada AC-nya). Tapi diajak pindah
gereja pun Ale tak mau.
Di sisi lain, saya punya alasan
untuk tidak memaksanya ikut sekolah minggu. Saya tak mau kegiatan agama justru menimbulkan
trauma. Sebagai ganti pemaksaan, saya terus memotivasi dan mendoakan. Dia sih
janji, kelas tiga nanti mau ikut sekolah minggu. Amiiin
Meski nggak ikut sekolah
minggu, Ale nggak mau kehilangan moment Paskah. Dia mau menghias dan mencari
telur di rumah. Hari Minggu sore, kami berencana untuk melakukannya. Namun,
karena suatu hal jadi tertunda.
Barulah pada Selasa, rencana
itu terealisasi. Aslinya, saya memasak empat telur, dua buat Ale dua buat Elo.
Tapi ternyata, satu telur pecah saat dikukus (bukan direbus). Satu telur lagi
dimakan Elo yang tak sabar menunggu hingga selesai acara menghias. Jadilah
tinggal dua butir telur saja.
Meski hanya bertiga (dengan
saya), Ale Elo bersemangat menghias telurnya. Pakai bahan yang ada di rumah
saja, seperti selotip warna-warni dan kertas origami. Gunting-gunting,
tempel-tempel.
Hasilnya?? Haha, malah lupa
nggak difoto.
Telur yang cuma dua butir justru
memunculkan ide dadakan. Nggak seru dong kalau hanya sembunyikan-ditemukan lalu
sudah. Biar durasinya lama, kami main petak umpet telur. Jadi, dua telur itu disembunyikan
dan dicari berulang kali. Caranya, satu orang menyembunyikan dan nanti dua
lainnya mencari telur tersebut. Mainnya bergiliran, jadi semua dapat jatah
menyembunyikan maupun mencari.
Rumah sempit dan nyaris tanpa
halaman bukan halangan. Kami mainnya in door saja kok. Saat satu ruangan
dipilih untuk lokasi penyembunyian, yang lain menunggu di ruang lainnya. Dengan
catatan, nggak boleh sembunyikan di tempat yang tinggi (nggak fair dan bahaya
buat Elo) dan nggak boleh disembunyikan di lemari pakaian (kalau berantakan,
saya jadi ketambahan kerjaan buat merapikan).
Begitulah...telur disembunyikan
di kolong, di tas, di balik buku, di kotak kacamata....Simpel tapi seru
sehingga anak-anak minta main berulang-ulang. Sorenya, sepulang kerja ayahnya
ditodong untuk main juga. Dan keseruan kembali terulang sebelum akhirnya telur
dikupas dan masuk perut.
Demikianlah cerita Paskah dari
rumah kami tahun ini. Semoga bisa mengulang lagi di Paskah tahun depan.
Posting Komentar untuk "Petak Umpet Telur Paskah"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)