Mestinya ucapan selamat hari raya saya post minggu lalu. Saat orang saling mengucapkan dan saling bermaaf-maafan. Saat lalu lintas punya nama arus mudik dan kemudian cepat berganti arus balik. Saat kue-kue di toples-toples masih penuh. Saat baju-baju masih berbau baru. Saat mercon masih meledak-ledak.
Tapi hari itu, saya justru tersendat untuk menulis. Padahal,
sebenanya saya punya kerjaan menulis yang targetnya akan saya selesaikan selama
lebaran. Tapi meleset. Bahkan, sekedar menulis ucapan untuk teman-teman pun,
saya sangat minimalis. Maka itu, maafkan
jika baru hari ini, di blog ini saya mengucapkan :
Ucapan yang sangat terlambaaaaat yaaa. Tapi memang pada dasarnya saya sering memilih agak telat
(atau sebaliknya malah start duluan) dalam mengucapkan hari raya. Soalnya, saat
hari H, pasti ucapan selamat itu berduyun-duyun bak pengungsi dari negara
konflik.
Apalagi sekarang, di saat grup chat adalah hal biasa. Ucapan selamat bertebaran di grup-grup
percakapan. Sehingga, buat saya, ucapan selamat semakin kehilangan sentuhan
personal. Ini terjadi untuk semua ucapan sih, tak hanya di moment hari raya.
Kasusnya sama di selamat pernikahan, ulang tahun, kelahiran anak, de el el.
Di grup-grup chat, ucapan-ucapan selamat berderet. Baik
ucapan yang diketik sendiri maupun sekedar kopi paste. Huwaaa...saking
panjanganya ucapan selamat, saya jadi selewat saja bacanya. Kadang malah nggak
baca sama sekali, langsung saja scroll hingga akhir percakapan.
Gara-gara grup chat, mungkin banyak orang merasa tidak perlu
untuk memberi ucapan secara personal. Ucapan personal hanya dikirim pada orang-orang
dengan relasi khusus atau tidak berada dalam satu grup chat. Eh tapi ini juga
zaman pesan massal sih ya....bahkan di jalur pribadi pun saya menerima ucapan
selamat hari raya Idul Fitri dari beberapa teman. Teman yang pastinya tahu
bahwa saya tidak turut merayakan Idul Fitri dalam aspek religiusitas. Pasti itu
kerjaan sistem pesan massal kan....
Buat saya, ucapan selamat yang “nyasar” itu bukan masalah.
Meski tak merayakan dari segi agama, saya biasa turut merayakan Idul Fitri dari
aspek sosial. Di kampung asal saya, muslim adalah mayoritas. Tapi kami juga
beragam meski tak sekomplet enam agama yang resmi diakui pemerintah.
Setidaknya, selain ada masjid, ada juga vihara dan gereja. Jadi saya terbiasa
melihat perbedaan agama sejak kecil mula.
Di kampung, kami yang Kristen maupun Budha terbiasa ikut hore-hore
saat Lebaran. Bukan hal aneh kalau di meja depan ada deretan toples kue-kue.
Adalah kewajaran kalau di meja belakang ada nasi dengan sayur dan lauk-pauk
yang lebih dibandingkan hari biasa. Sudah kebiasaan kalau kami turut
berkunjung-kunjung dan sebaliknya juga menerima kunjungan. Saat kecil, kami
bahkan juga wajib berbaju baru (alhasil, dulu setahun ada dua kali moment beli
baju baru, yakni saat Natal dan Lebaran...horeeee).
Lebaran di kampung dengan segala perniknya adalah ingatan
yang berharga. Saya percaya, situasi itu turut membentuk cara pandang saya
tentang hidup dalam keberagaman. Mungkin dulu saya menerimanya sebagai
kewajaran. Tapi kini, di masa ujaran kebencian dengan mengatasnamakan agama
sedemikian mudah masuk ke rumah-rumah, saya sungguh berharap agar keguyuban
semacam itu tak tinggal sebagai kenangan. Terlebih setelah dikaruniai dua bocah lanang. Saya ingin
anak-anak saya juga bisa melihat keragaman sebagai keindahan dan bukan justru
sebagai alasan kebencian.
Eh tapi, sejak tinggal di Sumatera Utara, saya (dan suami
dan anak-anak) baru dua kali pulang saat Lebaran. Bukan karena nggak pengin.
Pengin banget malah. Sebab Lebaran adalah moment untuk ketemu-ketemu dengan
keluarga besar yang tak hanya satu keyakinan. Sebagian keluarga besar saya
memang benar-benar merayakan Idul Fitri. Bagi kami yang pergi jauh, Lebaran
adalah moment yang tepat untuk ketemu saudara tanpa menimbulkan keheranan. Coba
di luar lebaran kami datang berkunjung ke semua saudara-saudara, pasti dikira ada keperluan penting lainnya. Kalau saat lebaran kan
wajar saja hanya datang dan ngobrol sebentar sambil icap-icip isi stoples.
Tapi yah, pengin tinggal pengin yang jarang direalisasikan.
Karena kami harus memilih, pulang saat Natal atau Lebaran? Maunya sih pulang di
dua-duanya. Tapi yaaaah, budget tidak mendukung. Buat kami, harga tiket PP Medan – Jogja untuk empat orang itu sesuatu banget lah. Belum
lagi lain-lain di luar tiket ya kan...
Kalau sudah bahas soal budget, jadi selalu ingat “keluhan”
seorang saudara. Dia bilang, kami ini enak nggak perlu pening menghadapi aneka
undangan dalam rangka hidup bersosial. Siapapun sudah mahfum kalau datang ke
undangan nikah, undangan khitan, undangan aqiqah etc itu butuh budget. Apalagi,
kalau lagi musim undangan, budget untuk salam-salam ini bisa menyamai (bahkan melampaui) anggaran rutin bulanan.
Ya sih, sebagai warga pendatang dengan minim kehidupan
sosial, kami tak terlalu sering dapat undangan. Undangan paling-paling datang
dari tetangga yang sangat dekat atau relasi suami. Coba, frekuensi
undangan seperti punya saudara yang tadi saya sebut, bisa-bisa jadi nggak mudik
hahaha.
Sejauh ini, bocah-bocah kami selalu merasa hepi kalau diajak pulang kampung. Harus disyukuri karena hanya saat pulkam-lah kami bisa mempertemukan mereka dengan keluarga besar. Dan bagi si sulung Ale, kepulangan saat lebaran 2017 rupanya sangat membahagiakan (gimana nggak hepi kalau kesana-kemari dapat angpau!). Alhasil lebaran
tahun ini, dia merengek minta pulang kampung. Aiiih, keinginan yang nggak bisa
kami penuhi. Beli tiket mendadak menjelang lebaran jelas bencana finansial. Setiap dia mengeluh karena nggak bisa pulkam,
kami hanya bisa menyabar-nyabarkan. Insyaallah, akhir tahun kita pulang.
Mohon maaf lahir dan batin
BalasHapusWah indahnya keberagaman hehe
BalasHapusMemang kebanyakan chat WA ramai di hari raya hehe
BalasHapusGrup WA mendadak rame di hari raya hehehe
BalasHapusIndahnya perbedaan hehe
BalasHapusSenangnya mengingat susana kampung yang guyup rukun hehe
BalasHapus