pic : www.familyfriendpoems.com |
Hallo...I’m back.
Setelah berabad-abad (ya sih, ini lebay) mengabaikan blog ini, sekarang saya
kembali. Meski ini masih termasuk blog yang sepi, tapi ada saja satu dua calon
pembeli pembaca yang mampir. Mungkin nyasar, lalu sempatkan sedikit waktu untuk
lihat-lihat sebentar sebelum lanjut blogwalking. Jadi, saya tetap merasa punya
tanggung jawab untuk update post.
Ah, sebener-benernya
sih rindu bisa rutin update post. Tapi belum bisa push diri untuk itu. Ini pun dari kemarin-kemarin saya sudah mencoba
menulis. Tapi selalu nggak selesai.
Sekalinya selesai, saya enggak mampu untuk publikasikan tulisan itu. Akibatnya,
sampai sekarang tulisan 100 persen tersebut masih saja ngendon sebagai draft.
Hihihi, isi tulisannya 100 persen curhat mellow-mellow gitu sih. Jadi, masih
antara ya dan tidak untuk mengeluarkannya dari laci draft.
Tapi saya pengin
banget suatu saat bisa share-kan hal itu sih (dalam tulisan lain). Siapa tahu
bisa “menolong” seorang-dua orang yang mengalami problem serupa. Kata menolong
saya kasih tanda kutip karena terasa terlalu hero. Yah, setidaknya bisa membuat
orang bilang “heiiii... I feel u, saya sedang dalam keadaan yang serupa.” Lalu,
orang tersebut tidak merasa sendirian. Yaha, segitupun sudah cukup buat saya.
Sekarang, saya cerita
soal Incess dulu aja deh. Incess yang sama sekali nggak ada hubungannya sama
Princess Syahrini. Pilih nama ini karena kepengin aja. Nggak ada alasan khusus
(apalagi yang terkait dengan Princess Syahrini), kecuali bahwa doski yang saya
ceritain ini adalah seorang gadis. Lebih spesifik lagi, gadis kecil sepantaran
anak kedua saya, Elo yang sebentar lagi akan berulang tahun keempat. Jadi,
lebih tepatnya sih Little Incess yaaa...
Meski saya pakai nama
Incess, dia sama sekali jauh dari kesan feminin. Malah cenderung tomboi sih. Sudah
beberapa bulan ini kami bertetangga. Incess ini demen banget main ke rumah.
Pagi-pagi saat Ale masih siap-siap buat
sekolah pun, Incess seringkali sudah intip-intip dari pagar. Tapi dia bakalan
segan masuk karena masih ada si Oom (suami saya) yang jam-jam segitu juga masih
di rumah. Nah, nanti begitu Si Oom bersiap pergi (ditandai dengan suara mesin
mobil yang menyala), Incess langsung standby di depan rumahnya. Begitu mobil
keluar carport, Incess akan langsung menghambur ke rumah saya. Sepagi itu, (biasanya)
dia belum mandi. Demikian juga saya dan Elo. Rumah juga masih berantakan. Pokoknya kerjaan rumah
masih jauh dari status beres.
Anak-anak main ke
rumah, itu biasa sih ya... Harusnya saya malah senang karena Elo jadi punya
teman main. Masalahnya, ada kondisi-kondisi yang bikin kami il-feel sama
Incess. Misal Incess gemar pegang ini-itu sembari terus bertanya yang itu-itu
saja. Seharusnya, ini tanda positif dari seorang anak yang serba pengin tahu.
Tapi, menghadapi kecerewetan anak sendiri saja butuh sabar. Apalagi kecerewetan
anak orang ya...butuh kesabaran berlipat.
Relasi Incess dengan
Elo juga tak mulus. Misal Incess pinjam barang Elo dan Elo nggak boleh, tapi
Incess maksa. Atau Elo bilang A sementara Incess bilang minus A (kebalikannya),
lalu keduanya bertengkar. Keributan-keributan ala anak kecil sih... tapi itu
nyaris selalu terjadi tiap mereka main bareng. Nggak enaknya, kadang jadi main
fisik. Pukul-pukulan atau dorong-dorongan ala anak empat tahun nggak bakalan
keras sih. Tapi ujungnya Elo pasti nangis sementara Incess enggak. Dia sih
lebih tahan banting.
Begitulah...drama
berulang nyaris setiap dia main ke rumah.
Akhirnya, saya mengambil
kesimpulan (yang mungkin prematur sih), bahwa dua anak ini nggak cocok main
bareng. Dua-duanya keras, dua-duanya nggak mau kalah, dua-duanya nggak segan
main fisik. Huhuhuhu. Lima sampai sepuluh menit, bermain bareng masih aman.
Tapi ujungnya, Incess bikin gara-gara atau sebaliknya Elo bikin masalah. Alhasil,
kalau mereka main bersama, saya harus memastikan diri standby menemani supaya
bisa jadi wasit saat kondisi mulai tak kondusif.
Tapi pagi-pagi adalah
saat saya beres-beres kerjaan domestik sebelum siang nanti jemput Ale dari
sekolah. Atau kalau kerjaan domestik cepat kelar seperti pagi ini, saya bisa kerjain
hal lain sementara Elo main di dekat saya. Dan itu nggak bakalan bisa dilakukan
dengan damai kalau Incess pagi-pagi sudah main ke rumah.
Kemarin-kemarin, saya
memutuskan untuk mengunci pintu supaya Incess tak masuk rumah. Namun, dengan
kondisi gerbang tak terkunci, Incess masuk ke teras lalu memanggil-manggil Elo
dari jendela (dan Elo-nya keukeuh nggak mau buka pintu). Incess nggak akan
pergi selama kami masih dalam jangkauan penglihatannya. Padahal rumah kami kan
“besaaaar bangeeet” (dalam arti kebalikannya). Incess baru akan pergi kalau
kami mengabaikannya dengan cara masuk kamar dan menutup pintu sehingga hilang
dari pandangannya.
Hfffft kejam!
Tapi ternyata saya bisa lebih
kejam. Yakni, saat pagi hari setelah suami pergi kerja, saya langsung kunci
pagar. Incess yang sudah bersiap main, merengek minta masuk. Tapi saya berkeras nggak kasih. Tadi pagi, malah lebih kejam. Incess berhasil masuk ke teras sehingga saya angkat tubuh mungilnya
keluar, lalu saya kunci pagar. Coba Incess sudah paham film AADC 2. Kalimat yang
tepat untuk dia serapahkan pada saya adalah : Ibuk, apa yang Ibu lakukan ke
saya adalah ja....hat!
Tapi Incess belum
tahu bagaimana kata-kata Cinta pada Rangga.
Yang pasti, mengunci
pagar akan membuat pagi kami aman. Tapi jujurrrrrr, dalam hati saya merasa tak
aman, tak nyaman. Ada perasaan gagal menerima dan mengasihi seseorang. Perasaan
kasihan yang hanya sebatas kasihan tanpa aksi nyata.
Karena saya sih
merasa Incess itu cuma butuh perhatian. Tumbuh dalam keluarga besar, Incess
mungkin harus bersaing berebut kasih sayang. Habis subuh, kedua orangtuanya sudah pergi bekerja. Selain itu, ada kondisi keluarga
yang tak perlu saya ceritakan di sini. Pagi-pagi Incess sudah main ke tempat
saya karena di rumah hanya ada pengasuh yang lebih fokus ke adek bayi dan
pekerjaan rumah tangga. Pengasuh yang sudah berusia senja juga mengecap Incess
dengan label “nakal” dan “sudah diatur.” Karena itu, si nenek pengasuh
membenarkan tindakan saya untuk mengunci pagar. “Jangan dibiasakan masuk, nanti
bikin kacau di rumahmu” kata Nenek.
Bersyukurnya (fiuhhh, kebiasaan kita ya, adaaa sajaaa hal yang bisa/harus disyukuri), meski terbatas,
ada komunikasi tentang ituasi ini antara saya dan ibunya Incess. Ibunya bahkan
bilang, “marahi saja kalau dia nakal.” Entah beneran atau lip service, setidaknya,
saya bisa berharap bahwa tindakan saya tidak akan berakibat moms war antara
kami berdua. Tahu kan perang emak-emak gara-gara persoalan anak, tingkat
keparahannya terentang dari sekedar diam-diaman hingga adu fisik yang frontal.
Sebenarnya, saya tak
sepenuhnya menganggap Incess “nakal” dan “susah diatur” (meski fakta yang
tampak adalah demikian). Tindakan dan sikap Incess pasti ada sebabnya. Lagipun, si Elo juga serupa kerasnya. Dengan
analisa dangkal saya, Incess suka kontra Elo karena setiap Elo nangis, dia akan
mendapat “perhatian” saya.
Saat sedang berlimpah sabar, saya mau kreatif mencari
cara untuk jadi wasit yang lebih elegan. Sayangnya, stok kesabaran
saya lebih sering tipis daripada oversupply.
Betapa diri ini mudah
tersentuh saat membaca kisah-kisah penerimaan terhadap “yang tertolak.” Seperti,
guru kelas yang berhasil mengatasi anak-anak bandal, perawat yang sabar
menangani pasien super julid, atau seseorang (apapun status dan profesinya)
yang tabah menghadapi perilaku ajaib keluarga/teman/saudara.
Tapi saat diri ini diperhadapkan pada tantangan yang mungkin hanya sekian persennya : duuuh Gusti Yesus...
saya merasa tumpul. Jangankan mengasihi musuh, membuka pagar untuk Incess saja
saya tak bisa.
Posting Komentar untuk "Apa yang Saya Lakukan Adalah Ja..hat!"
Terima kasih atas kunjungannya. Mohon tidak meninggalkan link hidup dalam komentar ya :)