pic by Samsung Gallery |
Bulan kemarin aku membuat perubahan dalam tulisanku. Secara
teknis bukan perubahan besar sih. Hanya sekedar mengubah kata ganti subyek,
dari biasanya menggunakan “saya” menjadi “aku”. Secara teknis memang bukan hal
besar, tapi buatku ternyata lebih dari sekedar pergantian kata. Ada proses yang
aku lewati hingga sampai pada keputusan itu. Jadi, ceritanya ini tuh merumitkan
sesuatu yang seharusnya sederhana. Semacam, orang lain sudah sampai ke bulan, aku masih saja ribet di halaman😅
Sebelumnya, review dulu, kenapa sih dulu memutuskan untuk
menggunakan “saya”, bukan “aku”, apalagi “gue” untuk tulisan-tulisan di blog
ini. Dulu, aku memilih “saya” dengan asumsi, pembaca blog kebanyakan adalah
orang-orang yang tidak aku kenal juga tidak kenal aku. Aku dan pembaca adalah
orang-orang yang saling asing satu sama lain dan “dipertemukan” lewat tulisan.
Bicara pada orang yang tidak kita kenal, pasti lebih lazim ber-saya-saya dulu.
Beda cerita kalau nanti kemudian akrab, sangat mungkin kemudian berubah jadi ber-aku-aku,
bahkan ber-gue-gue. Yang pasti, sejauh ini aku nggak biasa pakai “gue”, lha
wong nggak pernah tinggal lama di Jakarte ^-^
Eh ya, ada satu moment yang masih saja kuingat soal kata
ganti orang. Kejadiannya sudah cukup lama berlalu, tapi aku tak bisa mengingat
kapan kira-kira. Saat itu, aku, BJ, Al, dan El berkendara menyusuri jalanan
Kota Medan. Aku lupa, saat itu, kami dalam keperluan apa. Yang kuingat, mataku
tertumbuk pada sebuah tulisan di pinggir jalan. Bukan huruf-huruf besar dan
mencolok. Melainkan hanya nama sebuah bangunan kecil di antara deretan
nama-nama bangunan lainnya. Delapan huruf tersambung tanpa jeda, yaitu :
Dialogue
Hanya kata, tanpa secuil pun gambar sebagai penjelas. Tempat
apakah gerangan di dalamnya? Studio foto? Butik? Kantor advertising? Aku tak
tahu. Pengetahuanku tentang Kota Medan sangatlah tipis. Jangankan tempat yang
kecil-mungil, tempat-tempat yang besar semisal landmark kota pun aku tak banyak
tahu. Dari nama dan bentuknya, aku menduga itu bukanlah toko atau tempat makan.
Mungkin saja aku salah menduga. Tak mengapa. Toh,
perhatianku bukan pada tempat-apakah-itu. Tapi entah mengapa, saat itu aku jadi
memikirkan kata “dialogue”. Secara harfiah berarti percakapan. Apakah tempat itu ada kaitannya dengan aktifitas "bercakap-cakap?" Ah, entahlah. Tak lama, aku justru seperti dalam moment “eureka” ketika mengejanya menjadi tiga suku kata :
dia-lo-gue.
Haha, iya seremah itu moment eureka-ku.
Dia lo gue. Seketika aku berpikir tentang sebuah hubungan
segitiga. Aku jadi ingat lagu lama, lagu milik Iwan Fals. Masih dalam mobil,
aku sampai googling. Kudapati lagu yang berjudul “Antara Aku, Kau, dan Bekas
Pacarku.” Kurang nyambung dengan dia-lo-gue. Tapi pencarian itu mengantarku
pada lagu Ahmad Dhani : “Aku Cinta Kau dan Dia.” Gue, lo, dia. Nggak pas amat
sih dengan dia lo gue. Tapi lumayan lah, hanya terbalik susunannya saja.
Ah
kenapa sih mesti lagunya AD? Haha, aku memang termasuk orang yang terbawa arus
ikut sebal dengan Ahmad Dhani sejak perceraiannya dengan Maia. Bagaimana
tidak terbawa arus kalau toh aku tidak sungguh-sungguh langsung mengenal Ahmad
Dhani. Aku hanya melihat dia di layar kaca, membaca tentang dia di portal
berita, dan aku ikutan sebal. Kalau aku dekat mengenalnya, bisa jadi responku
berbeda.
Hasyaaah...ceritaku jadi kemana-mana.
Tapi sungguh, itu moment awal yang membuatku terusik ingin
mengubah kata ganti “saya” menjadi “aku”. Dalam percakapan sehari-hari, lebih
mudah untuk menukar kata ganti. Mungkin tergantung situasi dan lawan bicara.
Dalam satu waktu dan tempat pun, kita bisa saja menggunakan “saya, aku, atau
gue” secara bergantian. Eh ya, aku pernah punya teman yang rasanya selalu
menggunakan nama panggilannya sebagai kata ganti saat bercakap-cakap langsung.
Bagi dia itu biasa, bagi aku itu terasa agak gimanaaa (karena aku nggak biasa).
^-^
Meski artinya sama, tapi penggunaan kata ganti menyangkut “rasa”
sih ya. Aku inget banget, bagaimana dulu, di kampung, penggunaan kata ganti
bisa jadi muasal kejulidan pada seseorang. Kok bisa? Ya memang bisa hahaha. Jadi kampungku yang terletak di seputaran
median Jawa Tengah lazim memakai kata ganti “nyong” dalam percakapan
sehari-hari. Nyong saja ya, bukan inyong (pakai awalan i-) laiknya daerah
Jateng bagian barat. Meski pakai nyong, bahasa di kampungku tidaklah seperti
dialek Tegal-an atau Banyumas-an. Dialek dan kosakata kami lebih cenderung
seperti Jogja-nan.
Nah, karena biasa pakai “nyong”, rasanya warbyasah kalau ada
seseorang berani pakai “aku” yang identik dengan gaya bahasa kota. Biasanya,
yang berani pakai aku memang orang-orang yang sudah “bau kota”, entah itu untuk
bekerja atau sekolah. Rasanya sih jadi ada standar ganda. Orang-orang maklum
kalau yang menggunakan “aku” itu adalah orang yang terpandang dan
berpendidikan. Sebaliknya, langsung kasih label “kemayu/gemagus/sok” ketika
yang menggunakannya adalah orang biasa. Wohooo,
bahkan penggunaan kata ganti pun mengenal strata :D.
Seingatku, saat masih aktif menulis menggunakan fitur note di
facebook, aku cukup sering menggunakan kata ganti “aku.” Namun, dengan asumsi
yang aku tulis di atas, di blog ini aku berusaha konsisten menggunakan “saya.”
Usaha konsisten yang kadang justru membuat aku nggak nyaman menulis.
Haha, ntahlah ini cuma aku atau orang lain juga
merasakannya. Menggunakan kata ganti “saya” membuatku seperti terperangkap pada
tata kesopanan. Menulis jadi tidak bisa mengalir. Ibaratnya kalau perempuan lagi
pakai rok, pasti geraknya nggak seleluasa saat pakai celana panjang.
Tapi, mau ber-aku-aku kok juga masih merasa segan. Padahal
siapa juga yang bakalan protes ya kan? Aku juga jadi heran sendiri, sejauh ini
aku nyaman-nyaman saja baca tulisan orang yang ber-aku-aku. Tapi giliran mau
pakai di tulisan sendiri, kok nggak berani. Aku seperti harus melompati batas
yang selama ini aku pasang. Antara kepengin tapi juga ragu meninggalkan
kebiasaan. Meski kebiasaan itu bukan berarti zona nyaman, tetap saja ada rasa galau
untuk melakukannya.
Nah kan, receh banget kegalauanku itu. Jelas jauh banget kastanya sama kegalauan
Maudy Ayunda saat mau pilih kuliah di Harvard atau Stanford. Dan Puji Tuhan, aku
ikut senang ketika si Mbak cantik nan pintar itu akhirnya bisa melewati kegalauan
tingkat tingginya. Pada saat yang hampir bersamaan, aku juga bisa melewati
kegalauan yang remeh temeh.
Yuhuuu, akhirnya berani ber-aku-aku.
Sempat mikir apakah selanjutnya aku akan konsisten
ber-aku-aku? Bagaimana kalau kangen ber-saya-saya? Dan keputusannya adalah
laiknya dalam percakapan langsung, sesuaikan situasi saja. Lupakan konsistensi.
Yang penting bagaimana nyamannya. Mumpung menulis buat blog sendiri, bebas tanpa
editor hehehe.
Bagaimana denganmu? Apakah dalam nge-blog pernah ketemu
ketemu kegalauan nggak penting semacam ini?
Sama dengan saya mba dulu saya suka pakai kata ganti dengan gw, lebih nyaman, lebih ngalir, tapi begitu gabung komunitas untuk acara blogger saya ganti gw dengan "saya"
BalasHapusKalau blog organik balik lagi ke "gw" tapi kan yg ngerti pergantian itu saya, akhirnya ada yg nyentil jd blogger harus konsisten kata gantinya dirinya, iiih ini kan blog saya ya suka suka dong, tapi akhirnya saya ngalah pakai kata ganti "saya"😀
Ya itu mak Hanny, saya maunya konsisten tapi malah jadi merasa terjebak hahaha
HapusAku pun! Tapi selama ini nyaman dengan aku dan saya sih.. atau kalau sedang jengkel jadi si neng
BalasHapusHihihi, kalau pakai si neng jadi berasa jauh lebih muda kembali ya teh :)
HapusDulu aku pakai kata dakuw kayak bukuku hehe sekarang jadi aku..lebih pas aja rasanya..
BalasHapusMemang pas "rasa pas" itu unik ya mbak..beda di masing2 orang :)
HapusAku sih dari awal ngeblog bener-bener kayak bahasa aku ngobrol sehari-hari aja mak. Gak di baku-bakuin gitu hehe entahlah apakah boleh ato engga. Tapi nulis dengan gaya bahasa sendiri lebih nyaman daripada terlalu formal hehe
BalasHapusjustru karena di blog sendiri kan mbak, mestinya santai aja karena kan ga pake editor hehehe
HapusKadang kegalauan sereceh itu ya. Hanya karna "saya" atau "aku"
BalasHapusiyuuup mbak nisa...bener retjeeeh hehehe
HapusAkhirnya dia berani pakai "aku":D
BalasHapusKalau saya sendiri sih nggak suka kalau bahasanya itu gue, kayak gimana gitu
BalasHapusWah jadi teringat sama aku dulu nih. Pernah dulu galau seperti ini
BalasHapuspernah juga ya mbak? dan dakuuu baru sekarang hahaha
HapusMemang ketiga kata ini mempunyai arti sama, tapi penempatannya juga harus tepat
BalasHapussaat ngomong langsung, lebih mudah menukar2nya ya mbak :)
HapusIyups aku pernah mengalami kegalauan pas mau tulis postingan bingung pakai kata ganti aku, saya. Tapi seringnya hijrah dari saya ke aku mbak,
BalasHapusKalau buat blog alter, ya suka-suka hehehee
nah itu mbak, blog aktifku cuma ini, jadi suka-sukanya di sini ^-^
Hapusaku juga selama nge-blog bertahun-tahun bolak balik ganti pakai aku, saya, gue, daku...
BalasHapussekarang lebih sering pakai saya..
tapi kalau komen selalu pakai aku :D
jadi nggak konsisten pakai satu kata ganti itu nggak apa-apa kan ya mbak yessi hihihi
HapusBiasanya tergantung tema tulisannya sih ya. Kalo kesannya curhat memang lebih terasa memakai kata ganti Aku. Tapi ya balik ke selera pribadi masing-masing saja lah ya. Sepanjang nyaman dipakai ya silahken..
BalasHapusashiap mak fani . selera memang susah dipaksa ya..
HapusSaya udah konsisten pakai 'saya', baik verbal maupun non verbal. Hehe. Memang tiap orang itu unik yaa. Saya malah lebih nyaman begini
BalasHapusYa betuul mak artha..uniiik. itu judulnya :)
HapusKalo nulis di blog, selalu pakai saya. Kalo komen kadang pake aku, kadang pake saya. Percakapan hari hari di rumah pakenya aku. Kalo di jawa yg lazim ya pake aku dalam bahasa percakapan.
BalasHapusMbak Arry, aku di Jawa tapi pedesaaan pelosok, jadi pakai nyong dalam percakapan sehari-hari :)
HapusKalau saya masih campur aduk, Mbak. Masih suka pakai 'saya' tapi kadang juga pakai 'aku'. Masih mengepaskan yang nyaman itu di mana kalau saya. Hehehe.
BalasHapusTentang bahasa daerah, setiap hari saya ngobrol dengan kata 'Nyong'.
Ya, kalau di daerah memang begitu, Mbak. Jarang yang menggunakan atau menyebut diri itu 'aku', masih agak aneh. Hehee.
haha..sama yo mbak daerahnya. yang pake aku di tempatku itu biasannya yg sudah "bau kota" :)
Hapusmasih tetap menggunakan kata saya.
BalasHapusNah pergolakan batin terjadi saat dapat CP, dan pakai kata aku. Dalam batin, keliatan banget kalau ini bukan style tulisan saya
CP itu apa ya mbak Nanik? mengira-ira tapi ndak ketemu hehehe
HapusSaya suka aku juga kadang menggunakan.
BalasHapusSuka-suka pas nyamannya pas enak make mana.
Seringnya sih saya Mba hahahah
itu dia ya mbak. beda artikel bisa beda kenyamanan dalam penggunaan kata ganti :)
HapusSelama ngenlog, seringnya menggunakan kata ganti diri sendiri dengan "saya", tapi kadang juga pakai "aku".
BalasHapustapi nggak pakai galau kan ya mbak rie :)
HapusSudah memituskan dari gue jadi ke saya karena kalau gue kesannya pembaca pada seumuranku semua gitu mba ��
BalasHapusAku ggpernah tinggal di Jakarta tapi pas kuliah ma teman2 malah gue2an. Berasa lebih akrab..hahaha
BalasHapus. Kalau di blog, aku kadang saya, aku maulun gue
Aku juga lebih sering pakai aku mba.. pakai saya kalau khilaf hehehe. Aku pun merasa kalau aku itu rasanya lebih dekat
BalasHapusUntuk tulisan sy nyaman n biasa pake saya dan belum kepikiran ganti jd aku, gua atau nama . Kalau bicara trgantung lawan bicara kadang aku kamu urang abdi maneh hahahha 3 kata terakhir bahasa sunda
BalasHapusurang teu tiasa nyarios sunda...haha ini kalimat andalan saya dulu waktu tinggal di daerah sunda, teh :)
HapusKadang aku juga begitu mba, suka nulisnya aku dan saya. Tapi sekarang lagi suka pake saya.
BalasHapusSaya kalau dengar ada yang ngomong "gue" tiba tiba minder aja gitu, haha
BalasHapusSerasa saya terdampar di mana saya begitu asing kalau dengar "gue"
Kalau di medan menyebut diri dengan aku itu biasa bnget yya mba. Aku dan ko. Saya dulu menggunakan kata aku juga dalam tulisan, tapi kemudian menggganti saya
BalasHapusSama mba. Aku dulu juga galau mau pakai aku di blog. Tapi kok nulis pakai saya rasanya kaku banget. Akhirnya pakai aku sampai sekarang.
BalasHapusHahaha...iya ya, emang tergantung selera sih ya, mau pake saya atau aku. Aku kalo dialog pake aku, tapi emang kalo bahasa tulisan masih pake saya.
BalasHapusKalo aku dari awal ngeblog udah pake 'aku' mbak, justru bingung mo menyapa pembaca pake 'kamu', 'anda', atau apa. So far sih masih 'kamu'
BalasHapus