pic by pixabay |
Masih dua bulan lagi menuju Juli. Bulan (yang jika tak ada
aral adalah) waktu kepindahan kami ke Makasar (tarik nafassss). Memang belum
ada tanggal pasti, tapi jika semuanya lancar, kemungkinan pertengahan Juli kami
berangkat. Mei-Juni-Juli. Masih lama atau tinggal sebentar?
Mengenai durasi waktu, jawaban
favorit saya adalah : relatif. Waktu seperti mengandung dualisme. Secara angka,
waktu terukur secara matematis. Tapi persepsi tentang cepat-lambatnya bisa
berbeda, tergantung situasi. Juga tergantung cara/siapa melihat sang waktu.
Satu ukuran waktu, bisa dirasa cepat, bisa juga dirasa lambat.
Baca : Menjelang Pindah (Lagi)
Dalam hal (rencana) pindahan ini, saya dan BJ sempat
memiliki pandangan berbeda. BJ yang sudah lebih dulu berada di Makasar merasa
waktunya sudah dekat. Sehingga dia meminta saya untuk mulai berkemas.
Setidaknya, bisa mencicil mengemas barang-barang yang tidak dipakai
sehari-hari. Sebaliknya, saya merasa terlalu cepat untuk mulai packing. Ngapain
cepat-cepat amat? Belanda masih jauh (ngomong gini dalam konteks
sekarang : Belanda memang masih dan akan tetap jauh, letaknya aja di Eropa
sanaaa😃).
Ada dua perbedaan respon yang bertolak belakang :
BJ : TINGGAL dua bulanan lagi lho!!
Saya : MASIH dua bulanan lagi lho!!
Jadi ingat tentang air di pertengahan gelas. Tinggal separuh atau masih separuh? Well, relatif juga kan? J
pic by pixabay |
Tapi BJ mengingatkan tentang prosedur pindah barang yang
akan memakan waktu. Ini akan lebih kompleks dibandingkan sekedar pindah kota
seperti sebelumnya. Bagaimanapun, ekspedisi dibiayai oleh kantor, dengan
demikian ada prosedur administratif yang perlu dilakukan. Pihak ekspedisi harus
datang ke rumah untuk memperkirakan volume barang. Selanjutnya ekspedisi
membuat surat penawaran biaya, baru nanti kantor ACC atau tidak. Bisa dibilang,
prosesnya melibatkan dua instansi (kantor BJ dan ekspedisi), tentunya tidak
sesimpel kesepakatan man to man ya kan?
Jadi alasan BJ masuk akal. Bersyukur, kami mencapai
kata sepakat sebelum perbedaan pandangan ini berkembang menjadi konflik rumah
tangga hahaha. Saya bilang untuk start packing usai Ale ujian mid semester
(yang dilakukan online).
Dan hari itu sudah tiba sekitar dua minggu lalu.
Jadi inilah situasi rumah menjelang kepindahan yang masih dua
bulanan lagi (hehe, saya keukeuh menggunakan kata masih). Pertama, memfungsikan
satu kamar untuk tempat barang-barang yang sudah selesai dipacking. Bersyukur
kami nggak punya ranjang. Cukup mendirikan kasur (maksudnya bukan membangun
tapi menempatkan dalam posisi berdiri, FYI hihihi), lalu memepetkan ke tembok.
Dengan demikian, ada ruang untuk menempatkan kotak-kotak.
Kedua, sortasi!!!
Bertahun lalu, saat menjadi anak sekolah kejuruan, saya
akrab dengan kata sortasi. Sekolah di jurusan teknologi hasil pertanian, cukup
banyak pengalaman sortasi beraneka bahan pangan dalam praktikum. Bagi yang merasa asing dengan istilah sortasi, mungkin akan
familier dengan kata sortir alias memilah.
Saya merasa perlu membubuhkan tanda seru (yang tak cuma satu) karena buat saya, ternyata ini fase yang cukup emosional. Ini se-rius, bahkan dua rius! Sortasi adalah tahap yang cukup bikin baper.
Saya merasa perlu membubuhkan tanda seru (yang tak cuma satu) karena buat saya, ternyata ini fase yang cukup emosional. Ini se-rius, bahkan dua rius! Sortasi adalah tahap yang cukup bikin baper.
Atau mungkin saya-nya aja yang baperan :D.
Bagaimanapun, tak semua barang bisa kami angkut. Tahap sortasi adalah memilah barang, mana
yang perlu dibawa, dijual, dibagikan, atau dibuang. Meski saya sudah mengalami
beberapa kali pindahan, tetap saja ini bukan hal yang mudah. Situasi yang
membuat saya berpikir agak reflektif mengenai keterikatan.
Mungkin saya memiliki keterikatan pada barang-barang,
tepatnya beberapa barang.
Barang yang tak selalu mahal (lagian, memang barang-barang
saya kebanyakan enggak branded sih). Sebagai contoh, sebuah buku fiksi, yang
saya sudah membacanya berkali-kali, sampai saya hafal alur cerita bahkan
beberapa dialognya, tetap bisa bikin
saya berpikir tiga-empat kali sampai pada keputusan : dibawa atau tidak?
Betapa untuk barang-barang yang secara nominal rupiah tak
seberapa, saya tidak bisa berpikir secara praktis. Karena memang, segala
sesuatu tak bisa selalu diukur dengan nominal uang. Pada fase ini, saya
bersyukur untuk “paksaan” BJ supaya mulai packing lebih cepat.
And then...fase ini benar-benar menjadi reflektif ketika
ingatan saya memunculkan sebuah pesan. Laiknya pesan pop-up yang tiba-tiba
muncul, menutup sebagian badan layar lain yang tengah kita buka.
"Melepaskan bukan berarti membuang semua yang kita punyai. Melainkan tidak terikat pada segala sesuatu yang kita miliki."
Saya membaca pesan ini pada suatu
hari-yang-entah-kapan-tepatnya. Itu hari yang sudah lama berlalu. Pesan itu tercetak pada sebuah papan, tepat di sebelah gambar seorang biksu.
Di sejengkal trotoar Kota Medan, pesan spiritual ini “bersaing” dengan
papan-papan iklan pendorong hasrat material. Ukuran papannya tidaklah besar,
tidak mencolok dibandingkan papan lainnya. Tapi pesannya menyodok ke dalam
ingatan saya, berdiam di sana, dan muncul pada saat-saat tertentu.
Memang, sepertinya saya tidak mengingatnya secara presisi.
Tapi saya menjamin, ketidakpersisan itu tak mengubah maknanya. Kata-katanya
gamblang, tak bersayap, dan mudah dipahami. Meski bersanding dengan gambar
seorang biksu, pesannya pun sangat universal.
Filosofi yang bisa diterapkan semua orang tanpa batas label kepercayan.
Dalam proses packing saya, pesan ini sangat membantu untuk
tidak terlalu menye-menye dengan barang-barang >> bukan berarti saya
meninggalkan/membuang semuanya yaaa....ingat, melepaskan bukan berarti membuang
semua yang kita punyai ^-^
Lalu refleksi beranjak lebih mendalam, saya berpikir tentang
orang-orang. Data per 3 Mei 2020 (saat saya menulis ini), Covid-19 telah
menelan korban 845 jiwa di Indonesia dan
243.922 jiwa di seluruh dunia*. Jujur saja,
terkadang data korban “hanya” hanya terbaca sebagai angka statitiska. Terutama,
ketika sebuah peristiwa terjadi di tempat yang jauuuuh, yang sama sekali tak ada
ketersambungan barang sehelai benang. Kalaupun
ada rasa, mungkin hanya sekedar empati atas nama kemanusiaan.
Tapi ini berbeda. Ini tak sama dengan saat membaca kejadian
virus Ebola di Afrika, atau bahkan saat Covid-19 baru meledak di Wuhan, China. Sekarang,
pandemi ini juga terjadi negeri ini, bahkan di kota yang kita tinggali.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah tertular virus Covid-19. Mulai dari
kebijakan yang diinisiasi pemerintah, hingga upaya yang dilakukan secara
individual.
Tapi entah, dalam hal ini saya kadang malah berpikir
pragmatis. Yakni, virus covid-19 “hanyalah” satu cara untuk lepas dari
keterikatan dengan kefanaan dunia. Kalau memang waktunya meninggal, ya akan
meninggal entah itu karena covid-19 atau sebab lainnya.
Heii, pikiran macam apa itu?? (mungkin seseorang buru-buru
menyergah)
Sorry, saya memang tidak memasukkan kematian sebagai tabu
untuk dibicarakan. Memang terdengar sangat tidak menyenangkan ya.... Seakan ada
nada fatalistik, menyerah dengan sikap amat sangat pesimis. Tapi percayalah, saya tidak menuliskannya
dengan perasaan pesimis. Sebaliknya, pikiran pragmatis ini menolong saya untuk
mengatasi potensi psikosomatis. Bagaimanapun, situasi saat ini menyerang psikis
banyak orang. Terbukti, ada aroma ketakutan menguar di mana-mana. Padahal, kita
tahu, kondisi psikis sangat berpengaruh pada imunitas tubuh.
Bagi saya, pikiran pragmatis ini bukan berarti mengabaikan
segala tindakan pencegahan. Tapi lebih pada................ taati anjuran dan patuhi
peraturan, bertindaklah sebaik kau mampu, selebihnya berserah pada penciptamu.
Belajar untuk lebih berserah, belajar untuk lebih mengurangi
keterikatan. Pada apapun.
----------------------------------------------------------------------------------------
*(data
di detik.com dengan sumber Kementrian Kesehatan Republik Indonesia)
Mau pindah dari Medan ke Mks ya mba? Nampak penuh penghayatan sortasi barangnya dari cerita ini..hihi.. semoga lancar segala urusan ya.. Amin
BalasHapusamiin. makasih mbak dewi :)
HapusWuih, Mak Lisdha yang mau pindahan, saya membacanya deg-degan soalnya kondisi pandemi ini ... semoga aman-aman saja ketika bulan Juli itu tiba dan kita bergerak ke arah normal lagi.
BalasHapusamin mbak Niar..dan ntar bisa ketemu mbak niar di sana :)
HapusAku pun sedang dalam posisi menyortir barang-barang karena mau pindahan juga mbak. Tapi bedanya aku cuma dari Bekasi ke Tangerang Selatan jadi sebenarnya barang bisa dicicil bawanya.
BalasHapusnah iya mbak chie..bisa dicicil. kalau ini harus sekali berangkat :)
HapusPas banget nih, beberapa hari ini aku bebenah rumah, bedah lemari dan selanjutnya gudang atas. Bukan mau pindahan sih, tapi kepengen rumah bersih aja. Apalagi mau bongkar dan merapikan buku2 anak2ku kan mereka lulus2an semua. Hati2 di jalan ya mb Lisdha. Semoga selamat sampai tujuan aamiin...eh begitu juga dg barang2nya 😁😁
BalasHapushehe makasih mak nurul. Masih dua bulanan lagi jalannya :)
Hapus"Melepaskan bukan berarti membuang semua yang kita punyai. Melainkan tidak terikat pada segala sesuatu yang kita miliki."
BalasHapusQuote ini mantab jiwa bangeett!
Semoga semua lancar ya Maakkk
mantap jiwa memang mbak nurul...supaya kita lega menjalani hidup :)
HapusSemoga pindahannya lancar dan betah di tempat yg baru ya Mba... Memang kdg2 yg membuat berat adalah keterikatan kita ddgn sesuatu ya Mba, jd sulit move on
BalasHapusya mbak nia. apalagi kalau sudah tinggal cukup lama di situ, pasti ada hal2 yang bikin melo ketika meninggalkannya :)
HapusNhaa mumpung pindahan, sekalian aja di make over room kayak Youtube channel Kanamono Girls yang hemat - super duper irit tapi keren
BalasHapusmudah2an nanti di sana ya mbak..masih sebatas di pikiran aja ttg hidup minimalis itu hihihi. kuncinya memang jangan terikat
HapusMelepaskan bukan berarti melupakan kan? Kayak rasa cintaku yang pernah kulepaskan, aheeyy.
BalasHapuseaaa mbak nurul..aku nggak ikutan deh kalau soal ini hihihi
Hapussemangaat ya mba..aku pun punya siklus per 3 - 4 tahun sekali pindahan besar-besaran yang bikin capek karena tugas negara. Tapi bener...sorting barang tuh bener - bener penuh drama seringklai. Dan keterikatan kita pada barang tuh tidak membantu bangeet ya mba
BalasHapuspalagi mbak indah melintasi batas negara yaaa...pasti lebih kompleks :)
Hapusaku termasuk orang yang susah melakukan sortasi,, suka bilang sayang ah disimpen,, ntar dulu mau ditulis,,, ini tuh penuh kenangan dan lain2,, tapi pas suatu hari tiba2 ga ada angin ga ada hujan,, ah ini udah penuh banget deh harus dibuang-buangin eh dibuangin semua atau dikasih ke orang semua,,, se moodie itu,,, btw semoga makin baik di tempat yang baru ya mba,, semoga barang yang akhirnya yang dibawa adalah yang terbaik huhuhu
BalasHapusitu dia mbak..saya juga suka menyimpan barang2 nggak jelas semacam kemasan/wadah bekas, dengan pikiran ntar bisa buat DIY apa gitu. Kayaknya ada bibit jd hoarder hhihihi
HapusNah, aku setuju nih. setidaknya ada hikmah yang bisa kita ambil dari wabah ini ya. Oooh ini munkin cara terbaik untuk melepaskan kita dari, dalam bahasaku, kemelekatan. Semoga lancar pindahannya ya mbak.
BalasHapusthanks mbak wid.. yak betul terikat pasti melekat ya kan?
HapusMenyortir barang memang sulit sih kalo kubilang, makanya declutter itu ada ilmunya.
BalasHapusSemoga lancar2 saja ya mba pindahannya.
wih ada ilmunya ya mak olin?
HapusHahaha.. sama kita berarti. Pak suami tuh selalu persiapannya jauh2 hari. Dan menggunakan kata "tinggal" sedangkan saya cendrung santai. Salah satunya kalau kami mau pergi kondangan. Dari 4 jam sebelum berangkat saya sudah disuruh siap2 dan rapih2. Alasannya lebih baik menunggu drpd telat. Xixixi.. iya juga sih. Akhir ya jadi terbiasa 😁😁
BalasHapusdua pribadi saling melengkapi ya mak :)
HapusI feel you mba!
BalasHapusAku yang cuma pindah kelurahan dalam kota saja sudah terbayang rempooongnya.
Apalagi ini, lintas propinsi.
Aku setuju sama BJ.
Dimulai saja pelan-pelan ya Mak.
Biar tidak terlalu lelah nantinya.
Percayalah...
yup kak ros..akhirnya saya juga setuju dengan suami hihihi:)
HapusKalau aku kebalikan mak, aku yang selalu packing jauh hari, nah beda sama suami nantk aja masih lama katanya gitu :)
BalasHapusMasalah pemilahan barang yg masih dipakai atau harus dikeluarkan biasanya agak-agak rumit ya itu kalau barang anak & suami, kalau barangku sih langsung aja aku bisa menentukan.
Btw ada keterikatan dengan tempat tinggal skr yang mau ditinggalkan gak? hehehe
adaaaa bangeeet mbak lidya...ntar aku mau nulis khusus buat rumah ini hihihi
HapusSemoga pindahannya nanti lancar ya mbak. Kalau saya setuju dengan pak suami kalau tinggal 2 bulan. Jadi waktunya packing bisa dicicil. Soalnya packing itu lama. Sekalian packing sekalian bisa sortir ya mbak barang yang bisa dipakai dan tidak.
BalasHapusyup betul mbak nung. ini kemarin sofa barusan laku dijual..ruang tamu yang mungil jd legaaaa
HapusPindahan dalam kondisi kayak gini tenti saja bukan pekara mudah ya Mba. Saya aja yang sering pindahan meski dalam konta saja repotnya ampun. Semoga semua berjalan sesuai rencana ya Mb. Semangat
BalasHapusyup mak..meski sudah beberapa kali pindah, tetap aja ada ribetnya :)
HapusAku juga pindah 2 bulan nih mba, samaan. Cuman belum berkemas-kemas. Semoga lancar ya mba pindahannya
BalasHapusmakasihh mbak lis :)
HapusTahap sortasi memang yang paling baper saat mau pindahan, Mbak. Aku sudah pernah mengalaminya, rasanya sedih sekali mau meninggalkan barang-barang yang penuh kenangan. Semoga pindahannya lancar ya, Mbak.
BalasHapuskarena kenangan tidak ternilai dengan uang yo mbak hehehe
HapusAduuh pindahan di musim pandemi ini ngak cuma rwmpong mbak tapi juga deg degan. Smg lancar proses pindahannya ya mbak!
BalasHapusbetul mba neti..tp suami sudah di sana,.kalau nggak nyusul ya berarti LDR berkepanjangan hehehe
HapusPindahan itu berat. Berat urusan packing belum lagi kenangan yang akan ditinggal. Sortasi jadi bagian yang nggak kalah berat kalau sudah melibatkan emosional di dalamnya hehehe. Semoga lancar & sehat2 ya Mba
BalasHapusitu dia mbak eska..bagi yang baperan kek saya jd berat hahaha
HapusMau pindah ya Mbak? Hati-hati ya, jangan atamina agar tidak terlalu lelah. Semoga sehat selalu.
BalasHapusthanks mbak ida :)
HapusWuaaaah pindah lagi? Duuh masa-masa genting begini apa masih wajib pindah apa ya?
BalasHapusitu dia mbak lina..kalau ntar penerbangan sudah kembali dibuka, tetap aja ke bandara dengan perasaan berbeda :D
HapusAku sudah mengalami pindahan beberapa kali mbak, pindahan itu capeknya dobel karena saat berkemas, ga cuma packing packing aja, tapi masa sorting ini yang bikin baper haha rasanya ga mau buang atau berpisah sama barang kenangan, walhassil tetap aja barang ga pernah berkurang, malah nambah terus hihi
BalasHapusBtw moga lancar ya dan sehat selalu.
thanks mbak wid..haha iya, saya juga uda beberapa kali pindahan. dan perasaan kek gini selalu hadir menjelang pindahan :D
HapusAku jadi inget dulu pas kecil masa mau pindahan rumah. Yang berat itu emang di packing dan nanti nata ulangnya..rasanya nggak kelar- kelar
BalasHapuskdg ada barang yang dr tempat lama ga dibuka2 sampai mau pindah lagi hihihi
HapusAku pas mau balik ke Indonesia selesai kuliah, itu aja milihin barang2 yg ga seberapa udh puyeng. Apalagi kalo 1 rumah :p. Kebayang sih mba ribetnya.
BalasHapusTapi kalo aku ditanya, 2 bulan utk pindahan itu cepet siih :D. Packing termasuk sesuatu yg aku ga suka. Bawaan pgn nundaaa mulu. Ato berharap semuanya bisa masuk koper dgn rapi hahahaha. Untungnya suamiku jago packing. Makanya tiap traveling, urusan packing itu aku serahin kedia. Aku cuma ngurusin budget dan itin :D.
.
bagi tugas tu mb Fanny hehehe..
HapusKalau urusan packing, aku prefer ga dirusuhin sih. Soalnya ntar beda pendapat soal barang2 hahaha