Hallooo, dalam artikel sebelumnya, saya menulis tentang mengelola sampah rumah tangga ala DW. Belum sepenuhnya ideal memang. Namun, dengan konsistensi sejauh ini, saya sudah cukup seneng sih. Sebab, saat hendak memublikasikan tulisan itu, sebenarnya saya agak ragu. Khawatir hanya semangat jangka pendek saja. Mudah-mudahan ya, bisa tetap konsisten.
Saya menulis pembuatan lubang biopori dan membuat kompos sederhana sebagai upaya untuk mengelola sampah basah. Ternyata, duet ini sangat efektif dalam mengurangi volume sampah organik dari rumah. Oh ya, saya bikin MOL (cairan MikroOrganisme Liar) juga sih. Volume sampah untuk membuat MOL memang tidak seberapa. Namun, cairan MOL sangat membantu dalam proses pembuatan kompos. Jadi harusnya bukan duet tapi trio ya ..
Baca : Membuat MOL dari Limbah Dapur
Tempo hari saya sudah menulis tentang pembuatan MOL. Sekarang, giliran cerita tentang lubang biopori. Membuat kompos-nya, nanti tulis tersendiri biar nggak kepanjangan (banyak yang males baca panjang-panjang, ya kan? hehehe).
Sebenarnya, saya sudah cukup lama tahu tentang lubang resapan biopori (LRB). Lha wong sudah banyak dibikin di mana-mana. Saya-nya saja yang lambat membuat karena karena karena..... ada aja sih kalau alasan.
Jadi mengingat-ingat materi kuliah pemberdayaan masyarakat (hahaha, tahuun kapan itu kuliah :D). Dalam penerapan perubahan, manusia terbagi dalam lima kelompok, yakni penemu (inovators), pengadopsi awal (early adopters), mayoritas awal (early majority), mayoritas lambat (late majority), dan terlambat (laggard).
Entah nih, dalam hal LRB, saya termasuk golongan late majority atau laggard 😁😁
Menurut tautan ini, alat LRB sudah ditemukan sejak 1976 lho (wiuuh, tahun itu saya bahkan belum lahir). Namun, karena terlalu sederhana, awalnya inovasi ini tidak mendapat respon yang bagus.
Padahal, pencetus LRB, Prof Kamir Raziudin Brata memang membuat alat yang sesederhana mungkin supaya bisa diterapkan oleh semua orang. Bersyukur, upaya akademisi Institut Pertanian Bogor ini tidak sia-sia. Saat ini, makin banyak orang membuat LRB. Atas dedikasinya, Prof Kamir mendapatkan penghargaan Kalpataru pada tahun 2015.
Mungkin ada yang baru tahu tentang LRB dari artikel ini?
Oke, saya paparkan sedikit (soalnya pengetahuan saya juga masih terbatas). Untuk penjelasan yang lebih detail dan mendalam, bisa telusuri di internet. Secara kasat mata, LRB adalah lubang silinder dengan diameter 10-30 centimeter (cm) dan kedalaman 30-100 cm. Jarak ideal antar LRB dalam satu kawasan adalah 50-100 cm.
Bener kan, sederhana banget. “Cuma” lubang-lubang kecil gitu...
Meski sederhana, LRB adalah inovasi dengan fungsi krusial bagi pelestarian lingkungan. Dalam keseharian, LRB bisa menjadi “tempat pembuangan” sampah organik. Keberadaan sampah organik akan mengundang kehadiran fauna tanah (cacing, semut, dll). Sebab itu, LRB juga punya sebutan sebagai “istana cacing.” Mahluk-mahluk kecil ini sangat membantu dalam proses pembusukan sampah menjadi kompos Keberadaan kompos tentu saja membuat tanah menjadi subur.
gambar : www.biopori.com
Dalam prosesnya, pasukan fauna mikro itu akan membentuk rongga-rongga kecil (pori-pori) di dalam tanah. Rongga-rongga ini akan sangat berguna saat musim hujan. Keberadaannya akan mempermudah penyerapan air hujan sehingga membantu mengurangi potensi banjir. Nah, semakin banyak air meresap, berarti semakin besar ketersediaan air tanah. Itu berarti, manfaat LRB adalah berkesinambungan dari musim hujan hingga musim kemarau.
Luwangan
Saat kecil, saya biasa membuang sampah di luwangan. Sepertinya, luwangan berasal dari kata dasar luweng yang dalam bahasa Jawa berarti lubang. Luwangan biasanya terletak di sekitar rumah berupa lubang yang cukup besar (misal 1 x 1 x 1 meter, bahkan bisa lebih besar). Di desa saya, setiap rumah biasanya punya halaman atau kebun untuk membuat luwangan. Jika pun tidak punya luwangan, sampah biasa dibuang di kebun dekat rumah.
Luwangan biasa digunakan untuk menampung sampah apa-saja (organik maupun non-organik). Jika sudah penuh, luwangan akan ditimbun tanah, disambung dengan pembuatan luwangan baru. Bisa dibilang itu adalah metode sanitary landfill skala rumah tangga.
Meski sama-sama lubang, luwangan berbeda dengan LRB. Pertama, biasanya luwangan tidak dikhususkan untuk sampah organik. Kedua, ukuran yang besar membuat jumlah pori-pori tanah yang terbentuk tidak optimal. Selain itu, karena juga menampung sampah non-organik, luwangan jadi memiliki masa pakai. Sementara, LRB yang hanya menampung sampah organik bisa dipakai terus menerus.
Bor Biopori
LRB bisa dibuat dengan bor biopori yang “semua tukang las bisa membuatnya.” Kalaupun tidak ada bor biopori, bisa kok dibuat dengan alat apa-saja yang ada. Intinya adalah membuat lubang di tanah. Desain bor biopori adalah mempermudah pembuatan lubang dan panen kompos.
Belakangan, bor biopori dipatenkan oleh IPB. Saya sempat penasaran, kenapa harus dipatenkan? Ternyata, paten itu bukan dimaksudkan untuk memonopoli pembuatan bor biopori. Namun, paten itu bermanfaat bagi IPB sekadar untuk mengingatkan asal-muasal LRB. Kelak (paten) akan memudahkan penelusuran metodologi dalam kerangka teknologi untuk kelestarian lingkungan.*
LRB bisa dibuat di mana saja. Tidak terbatas pada lahan terbuka, LRB juga bisa dibuat di kawasan padat bangunan. Memang sih, dalam kondisi padat bangunan, perlu upaya lebih, misal dengan membongkar lantai yang sudah diperkeras.
Sejujurnya, dulu saya menjadikan sempitnya lahan sebagai alasan untuk tidak mencoba membuat LRB. Rumah kami di Medan memiliki halaman terbuka yang sempit (hanya sekitar 2x1 meter). Dulu baca sekilas saja sih, jadi nggak tahu kalau bisa bikin LRB di luasan segitu. Atau karena memang belum tergerak saja sih ya hahaha....
Padahal, kompleks perumahan tempat tinggal saya di Medan sering dituding warga sebelah sebagai penyebab banjir. Masuk akal sih, sebab kompleks itu sebelumnya adalah kebun (lahan terbuka) yang bisa menjadi area resapan air. Setelah berdiri perumahan (faktanya memang tanpa sistem drainase yang bagus), saat hujan deras warga sebelah bawah jadi sering kebanjiran. Seandainya LRB bisa masif diterapkan, mungkin bisa mengurangi volume limpasan air.
Di Makassar (tepatnya Gowa sih), kami tinggal di rumah yang punya halaman terbuka lebih luas. Nggak luas banget, tapi muat untuk berbagai tanaman, seperti pisang, mangga, alpukat, bahkan beringin (iya beringin! Auto ingat partai kuning ga sih?). Ya memang, ukurannya tidak sebesar beringin di alun-alun atau kuburan. Aneka tanaman ini bisa dibilang uyel-uyelan. Jangan tanya deh soal jarak antar tanaman hahaha. Meski demikian, masih ada sisa space untuk saya bertanam sayuran.
Lalu terpikir, sepertinya sekarang bisa deh bikin LRB. Kan bisa buat kompos untuk tanam sayuran. Iseng cari bor biopori di marketplace. Wiiih, ternyata buanyaaak sodara-sodara. Harga plus ongkos kirimnya (pakai diskon ongkir dong) juga masih dalam jangkauan.
Namun, ini kan kontrakan, bukan rumah pribadi. Jadi, saya izin dulu dong sama Bapak Haji empunya rumah. Soalnya, posisi rumah tempat tinggal kami dengan beliau hanya saling membelakangi. Nggak enak saja kalau nggak izin. Bersyukur, beliau sangat amat memperbolehkan.
Nggak pakai lama, saya langsung order bor biopori dari sebuah toko di Cilacap (Jawa Tengah). Nggak sampai seminggu, barang sudah sampai. Selaku konsumen yang nggak pernah belanja barang aneh-aneh via online, saya agak takjub deh. Dengan bentuk dan ukuran yang tak biasa, serta jarak Cilacap – Makasar, ternyata bisa juga beli online dengan ongkir yang wajar-wajar saja.
foto : Yutaka Store Cilacap (Shopee)
Bor biopori yang saya beli berwarna oranye dan sangat mudah dalam penggunaannya. Tinggal cari titik yang hendak dilubangi, lalu putar-putar dan ambil tanahnya. Dengan kondisi tanah normal, tidak butuh tenaga besar untuk melakukannya. Bahkan, anak saya, Ale pun bisa mengerjakannya.
Bentuk bor biopori yang saya beli memang berbeda dengan inovasi Prof Kamir. Namun, saya pilih ini karena paling murah dari harga barang maupun ongkir (perhitungan banget emang hahaha).
LRB Sederhana
Sejauh ini, ada enam LRB di halaman tempat tinggal kami. Jujur saya bilang ini LRB sederhana, bahkan ala kadarnya. Dalam pembuatannya, saya tidak menghitung jarak dan sebagainya. Saya juga tidak mengeraskan bibir lubang. Tutup lubang juga seadanya, yakni menggunakan toples kue yang dilubangi dengan solder.
Namun, dengan ala kadar ini pun sudah sangat membantu menampung sebagian sampah organik (sampah dapur dan sampah daun kering di halaman). Ini juga menegaskan bahwa LRB tidak selalu membutuhkan banyak biaya. Bahkan bisa menggunakan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle).
panen kompos
Pertama kali membuat LRB adalah pada Oktober 2020. Belum lama, dan baru dua kali panen kompos untuk campuran media tanam sayur. Itu pun panen yang dipaksakan karena dedaunan kering belum busuk sempurna :D.
Sekarang saya sedang mikir-mikir untuk menawarkan peminjaman bor biopori ke grup WA ibu-ibu kompleks. Mana tahu ada yang tertarik untuk juga bikin LRB di halaman rumah. Hihi sekadar menawarkan peminjaman (gratis) saja pakai mikir. Maklum, terhitung penduduk baru. Jadi, masih agak segan-segan gitu... (DW)
-----------------------------------------------------------------
Referensi :
*https://tokoh.id/biografi/2-direktori/pencetus-lubang-resapan-biopori/
https://www.biopori.com
Sekitar tujuh tahun lalu, lubang resapan biopori ini lumayan ngehits di perumahan kami di surabaya mba.
BalasHapusIbu2 pada heboh dah, bikin biopori. Ngobrol pagi juga temanya biopori muluuu :D Sekarang? Ya kembali heboh lagi, karena pandemic wkwkwkwkw
salah satu hikmah pandemi ini memang banyak orang jadi rajin bertanam dengan pernik2 lainnya, termasuk biopori :)
HapusKelak (paten) akan memudahkan penelusuran metodologi dalam kerangka teknologi untuk kelestarian lingkungan.
BalasHapusoww gitu yah ...
Maak, saya kudet naget, ga tau kalo untuk biopori butuh bor khusus. Pernah bingung waktu baca ttg biopori, ngebornya pakai apa ... rupanya sudah ada alatnya ya hihi.
saya juga sempat heran, kenapa dipatenkan. Ternyata begitu alasannya Mbak :)
HapusDuuuh mba, seandainya yaaa ada tanah di rumahku :(. Rumahku beneran ga ada tanah sedikiiitpun, semuanya udah aspal dan semen. Rumah tetangga kiri kanan aja mepet. Apartmen apalagi hahahaha.
BalasHapusTapi ide ini bisa aku praktekkan di rumah mama yg ga jauh dr rumahku. Kalo di sana ada kebun nya sih. Dan lebih luas. Selama ini kan sampah organik ya dibuang lgs soalnya. Padahal aku tau berguna utk resapan air..
kalau apartemen lain cerita ya mbak hehehe. Untuk di daerah yang sudah full permukaan keras memang butuh effort lebih sih jadinya. Harus bongkar. Mungkin akan lebih mudah kalau sedari rancang bangunnya sudah disediakan titik2 untuk biopori.
Hapusaku sih gak bikin bioporinya spt itu tapi karena halaman rumah belakang luas , jd cuma dicangkul agak dalam . kalau sdh penuh tutup. cari ruang kosong lagi cangkulu sdh penuh tutup, nah sekarang masalahnya aku sedang suka berkebun . nah mungkin biopori spt ini hrs aku coba
BalasHapuskalau gali-tutup jadi lebih seperti luwangan ya mbak. Di kampung saya juga masih begitu karena lahan masih tersedia :)
HapusAku sebetulnya penasaran untuk mencoba membuat biopori ini. KArena banyak juga manfaatnya. Tapi belum bikin juga. Bismillah deh semoga termotivasi:)
BalasHapushayuu mbak Alida. Kita nih sebenernya sering CLBK (cuma lihat beraksi belakangan) hehehe
HapusSebenarnya semua orang bisa menjaga bumi ini agar terus lestari ya Mbak. Seperti membupit lubang biopori untuk sampah organik, tak harus di lahan besar. Sudah gitu komposnya juga bisa dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman. Semoga pahala selalu berlimpah untuk penemu biopori praktikum ini. Amin
BalasHapusAmiiin mbak. Doa yang sama untuk Prof Khamir :)
HapusYaampun mbak, ini kalau suami saya baca pasti langsung komen, kamuu sekolah pertanian ngapain aja? hihi.. keren saluut mbak, saya masih agak males2an nih padahal dah punya ilmunya, itu baca2 MoL jadi inget pas praktikum duluu hihi
BalasHapushehehe...saya juga alumni faperta tapi dulu di soseknya. Malah sedikit sekali praktikum onfarm-nya mbak. Jadi bikin gini2 ini mesti belajar lagi malah :)
HapusSuami saya udah bikin sejak beberapa tahun lalu. Andai semua rumah juga ada lubang biopori pasti akan bermanfaat banget, ya
BalasHapusmemang manfaatkan akan lebih terasa kalau dilakukan secara komunal. Namun, memang harus dimulai dari diri sendiri dulu ya kan mbak
HapusBiopori ini kalau diterapkan disetiap rumah pasti bakalan terasa banget ya manfaatnya...semoga orang2 pada tau manfaat dari biopori ini
BalasHapusmungkin banyak yang belum tahu. Namun, banyak juga yang sudah tahu tapi belum melakukan karena berbagai alasan. Nggak tunjuk orang lain, lha saya saja sudah lama tahu tapi baru melakukan :)
HapusAh, jadi pengin bikin juga nih di rumah. Satu langkah kecil tapi manfaatnya banyak ya mba..
BalasHapushayuk mbak..apalagi hobi nanem kan sekarang mbak? Bisa nih buat tabungan kompos
HapusManfaat dari Biopori disetiap rumah akan terasa jika diterapkan ya mba.. lingkungan jadi lebih asri dan membantu bumi juga
BalasHapusistilah saya : sedekah bumi heheheh
HapusMasyAllah Mba jiwa peduli pada lingkungannya tinggi. Seneng bikin ini dan itu. Semoga semangatnya panjang. Tapi mending mba, daripada aku belum mulai-mulai klau ke sampai tahap bikin-bikin hiks
BalasHapusAmiiin. Makasih supportnya bun yeni. Konsistensi memang tantangan bagi saya :)
HapusMba, kalau tipikal tanah gambut n rawa bs gak bikin lubang biopori gini jg ya mba? Soalnya sy jg tim yg zerowaste sebisanya. Sampe sampah plastik pun dijadiin bahan bakar buat ngebakar kayu buat manggang ikan. Wkwk. Tp jujur sampah sisa potongan sayur dsb msh buang biasa aja.
BalasHapussaya pernah selintas baca, kalau nggak salah di tautan di atas (www.biopori.com) tentang LRB di lahan gambut.
HapusSebaliknya saya, malah masih banyak buang sampah non-organiknya. Memang sih sebagian saya reuse, misal dengan menggunakan plastik bekas kemasan untuk pot tanaman. Namun, masih tetap lebih banyak yang disetor ke tukang sampah :(
Kegiatannya keren sekali, Mbak. Bisa mengolah dan memanfaatkan sampah untuk dijadikan pupuk kompos. Dan saya baru tau ternyata ada alatnya sendiri untuk membuat lubag biopori ya, saya kira pakai cangkul biasa aja, hehehe
BalasHapuskalau pakai cangkul biasanya jadi luwangan sih mbak. Kan susah bikin lubang kecil pakai cangkul. Tapi mungkin bisa kok alat lain, nggak harus bor biopori juga
HapusAku tuh sering baca pembuatan lubang biopori ini mbak tapi belum tahu cara bikinnya ternyata ada alatnya ya jadi pengen beli deh...
BalasHapuspesan ke semarang dari cilacap, pasti ongkirnya lebih murah mbak dew :)
Hapuspraktik kayak gini disukai my kidz, they will be enjoy do it full bahkan rela kotor-kotaran, hahahah
BalasHapusanak saya nggak enjoy malah hahahaha...Tapi saya ajak untuk mengenalkan :)
Hapussebenarnya sudah lama banget pengen bikin lubang biopori ini, hanya saja bingung mau di buat dimana, sejauh ini kasih pake felita dan takakura saja buat olah sampah mbak....
BalasHapusbtw artikelnya sangat bermanfaat mbak :)
saya malah belum pernah bikin takakura hehehe. Apapun metodenya, yang penting tujuannya sama kan mbak :).
HapusGampang ternyata ya mba bikin lubang resapan biopori. Di rumahku banyak tanaman nih dan halamannya luas, tapi belum pernah bikin biopori.
BalasHapusuntuk kelas ala kadar memang gampang dan murah mbak. Kecuali mau dikasih dinding pralon dll...jadinya bunyi juga biayanya :)
HapusKalau Mbak Lisdha merasa terlambat membuat lubang biopori apalagi sayaaaa. Udah sering dengar tapi belum bikin-bikin juga. Padahal manfaatnya banyak ya, Mbak.
BalasHapustiap orang pasti CLBK dalam satu-dua atau banyak hal kok mbak :)
HapusCuma Lihat Beraksi Belakangan
(Menunjuk diri sendiri ^-^)
Sekolah anakku pas TK juga diajari ini, kak..
BalasHapusMembuat lubang bipori menggunakan bor biopori.
Pengin banget punya pupuk organik hasil dari limbah rumah tangga sendiri.
Iya bener...LRB ini juga diajarkan di sekolah-sekolah (meski nggak semua). Namun, untuk penerapan di rumah memang seringkali menunggu "hidayah" hehehe.
HapusNggak nunjuk orang lain kok ini, lha saya sendiri kan tau dari lama tapi baru saja melakukan
Bagus nih mbak kyknya di lingkungan rumah ibuku diterapkan. Utk cegah banjir jg.
BalasHapusKalau di rumahku hmm, kebetulan perumahanku tu agak di atas dr yg lain. Bahkan rumahku di atas gentengnya perum sebelahku.
seandainya digalakkan di daerah2 banjir ya
Hapusoooh ada alatnya buat lubang biopori, ya. Aku bayanginnya itu seperti gagang sapu yang dimodifikasi.
BalasHapusAku sendiri ingin punya lubang biopori kalau tinggal di landed house. Buang sampah organik tinggal cemplang-cemplung, mudah dan biarlah membusuk dengan tanah.
bisa pake alat apa aja kok teh :)
HapusWah seru banget nih praktikumnya. Pasti anak-anak suka deh. Bermanfaat pula buat anak-anak. Duh jadi malu deh, si adik udah pernah bikin biopori, lha aku malah belom pernah bikin.
BalasHapusgapapa mbak nia. maybe next time ;)
HapusIni semacam kyk pembuatan biogass bukan sihh Kak? Apa salah yaa?
BalasHapusenggak..biogas mah perlu effort dan peralatan yg lebih kompleks
HapusDi kampung tempat tinggalku, tiap rumah ada lubang bioporinya, katanya sih salah satu syarat saat mendirikan bangunan itu. Dan di tempatku, mayoritas punya tanaman di rumahnya, jadi bermanfaat banget, di samping manfaat utamanya.
BalasHapuswah iya mbak, setuju idenya untuk menwarkan peminjaman bor biopori sekaligus sosialisasi juga supaya banyak yang ngeh dan bisa bikin juga ya Mba
BalasHapusMasyaallah keren mba. Coba kita tinggalnya deketan ya. Saya mau banget bikin lubang biopori. Harusnya kayak gini tuh diajarkan disekolah malah lebih membumi dan bermanfaat ya. Hehe
BalasHapus