Part #4.
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Toraja|1. Salah satunya adalah dari orang-orang Bugis yang menyebut to riaja, artinya orang yang berdiam di negeri atas. Dalam peta, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara memang tergambar dengan warna coklat dan coklat muda. Warna yang menandakan jika Toraja terletak di ketinggian.
Saat berkunjung ke Toraja, medio Februari 2021 lalu, BJ-saya-Ale-Elo, berkesempatan menapak dua tempat yang di Toraja pun dianggap tinggi. Yakni, Buntu Burake pada hari pertama, dan Lolai di hari kedua. Berikut ceritanya :
Buntu Burake
Dalam bahasa lokal, buntu berarti gunung/bukit. Buntu Burake menjadi destinasi wisata populer setelah keberadaan patung Yesus Kristus Memberkati (Jesus Christ Blessing). Patung logam sepanjang 45 meter, didirikan di puncak Buntu Burake yang berketinggian 1.700 mdpl. Dengan ukuran dan ketinggiannya, patung ini bisa terlihat dari Kota Makale yang berjarak sekitar empat kilometer.
Makale yang berkesan, bisa baca di sini : Sambutan Personal di Batas Kota
Mau tak mau, ingatan saya melayang ke patung Yesus di Rio de Jeneiro, Brasil. Patung yang sering terlihat dalam film bersetting negeri Samba. Ah, kenapa ingatan saya malah jauh-jauh ke Brasil sih. Sementara Indonesia pun punya beberapa obyek serupa|2.
Patung Yesus di Buntu Burake menjadi tujuan pertama kami setiba di Toraja. Obyek wisata ini terletak di Desa Buntu Burake yang secara adminitratif masih termasuk dalam wilayah Kota Makale. Jalur jalan menuju tidak kesana tidaklah lebar. Jalur tersebut berliku dan menanjak, tetapi aspalnya sudah mulus.
Perjalanan kami tak bisa melaju ke dekat patung. Ada portal yang dipasang melintang di jalan. Dari spanduk yang terpasang, terbaca sedang ada persoalan antara pemerintah (sebagai pengelola obyek wisata) dengan masyarakat setempat. Saya sempat mengira jika obyek wisata ditutup untuk wisatawan. Ternyata tidak demikian.
Pengunjung masih bisa masuk, tetapi kendaraan (mobil maupun sepeda motor) harus diparkir di tempat itu. Untuk menuju patung, pengunjung bisa berjalan kaki (sekitar dua kilometer dengan kontur menanjak) atau naik ojek. Buat saya jalan kaki 2 km bukan masalah. Namun, bersama anak-anak dalam waktu yang terbatas, jalan kaki jelas bukan pilihan yang tepat. Jadi kami memilih naik ojek. Tarifnya bersahabat, yakni Rp 10.000 per motor sudah termasuk biaya masuk.
Saat naik ojek, saya sedikit bertanya tentang penutupan jalan. Menurut pengemudi ojek, saat pembangunan patung, ada tanah adat yang terpakai dengan beberapa kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat setempat. Waktu berjalan, ada janji yang tidak juga terpenuhi. Hmmmh, hanya itu saja informasi yang bisa saya ketahui. Entah bagaimana duduk perkara yang pasti.
Hanya sekitar lima menit, ojek sudah sampai di kaki bukit tempat patung berdiri. Kami mampir sebentar ke kios cendera-mata, membeli minuman sekaligus nunut ke kamar kecil. Di dinding kamar mandi tertera permohonan maaf karena tarif toilet yang memang lebih mahal jika dibandingkan dengan rata-rata. Alasannya, di tempat itu, tidak mudah untuk mendapatkan air bersih.
Dari kios-kios cendera mata, kami masih harus mendaki lagi untuk sampai ke atas. Bukan mendaki jalan terjal sih, sudah dibangun jalur yang bagus. Namun, tetap saja, tarik nafas dalam-dalam untuk persiapan.😀
jembatan kaca di sisi kanan
Selain patung Yesus Memberkati, obyek wisata ini terkenal dengan jembatan kacanya. Semula, saya berpikir ini benar-benar jembatan yang menghubung satu titik dengan titik lain di seberang. Ternyata tidak demikian. Yang saya dapati adalah “pelataran” kaca yang dibangun di atas tebing. Satu sisi menempel ke halaman patung, sedangkan sisi lain ditopang tiang-tiang. Sebelumnya, saya membayangkan adrenalin yang akan terpacu jika mencoba berdiri di situ. Namun, kami tidak beruntung. Sejak pandemi, jembatan kaca tertutup untuk pengunjung.
Keberadaan patung Yesus memang membuat Buntu Burake banyak dikunjungi umat Kristiani. Namun, sejatinya Buntu Burake adalah tujuan wisata yang terbuka untuk dikunjungi lintas agama. Letak di ketinggian menjadikan Buntu Burake sebagai spot yang tepat untuk memandang ke segala arah. Pemandangan luas nun-jauh di bawah adalah keindahan yang bisa dinikmati oleh siapa saja.
Sebagai catatan, deru angin di sini cukup kencang. Beberapa kali tripod handphone BJ tumbang saat digunakan untuk memotret. Bersyukur ada pengunjung yang dengan sukarela menawarkan bantuan untuk mengambilkan gambar kami berempat.
To'tombi - Lolai
Demi mendengar julukan "negeri di awan", saya langsung membayangkan langit biru dengan lautan awan putih. Juga, matahari pagi yang merekah, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Oh ya, ditambah bonus, pemandangan luas nun jauh di bawah.
Duluuuu, saat usia masih sangat muda, saya rela berpayah-payah mendaki gunung demi pemandangan seperti itu. Bahkan, tak sekedar rela, tapi juga bangga. Jika mengingat masa-masa itu, rasanya harus banyak-banyak bersyukur karena selamat dalam serangkaian pendakian tanpa perlengkapan yang memadai. Setiap membaca berita pendaki amatir hilang, langsung terlintas dalam pikiran : saya bisa saja mengalami tragis yang serupa.
Kembali mendaki gunung, belum memungkinkan untuk saat ini. Entah nanti. Kalau hanya ingin menikmati sunrise dan hamparan awan-gemawan, memang nggak harus ke puncak sih.
Di kampung saya, Temanggung-Jawa Tengah, juga ada tempat wisata untuk berburu sunrise. Posong di lereng Gunung Sindoro sudah menjadi destinasi yang cukup dikenal. Sayang sekali, saat kesana beberapa tahun lalu, saya tidak berjodoh dengan pemandangan matahari terbit sempurna, layaknya telur ceplok berwarna keemasan (golden sunrise).
Baca : Menunggu Sunrise di Posong
Apakah saya akan berjumpa dengan golden sunrise di Lolai?
seandainya cerah😀 (photo by www.boombatis.com)
Kami pergi ke Toraja saat musim hujan masih meraja. Supaya tidak kecewa, saya membuang jauh ekspektasi pemandangan sunrise yang sempurna. Sekadar hari tak berhujan saat kami datang sepertinya sudah cukup. Kalau ternyata dikasih sunrise yang cantik, anggap saja sebagai keberuntungan.
Lolai adalah nama kampung yang berada di Kecamatan Kalampapitu, Kabupaten Toraja Utara. Lolai berada di ketinggian sekitar 1.300 mdpl dengan jarak kurang lebih 20 kilometer dari Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara.
Bagi pengunjung yang ingin melewatkan malam di Lolai, tersedia penginapan (kamar biasa dan tongkonan), juga camping ground untuk mendirikan tenda. Namun, kami tidak bermalam di Lolai. Dengan beberapa pertimbangan, kami menginap di Hotel Toraja Heritage, Rantepao (terima kasih rekomendasi dan bantuannya, Mas Ni’am👏).
Meski sudah membuang harapan pada sunrise yang sempurna, toh tak salah untuk tetap mengejarnya. Jadi, kami pergi dari hotel saat pagi masih sangat gelap. Sebelum akhirnya tiba di jalur utama, BJ memilih jalan alternatif yang .....cukup mendebarkan sih buat saya. Gelap-gelap di jalan kampung yang asing, sempit, sepi, menanjak, dan berliku. Fiuuuh...
Sekitar 15 menit di jalan alternatif, akhirnya kami tiba di jalur utama. Memang sedikit lebih lebar, tapi tetap menanjak dan berliku. Tidak semua jengkal jalan bisa untuk berpapasan dari arah yang berbeda. Bersyukurnya, BJ sudah terlatih dengan jalur demikian. Mvvaaah....
Di Lolai, ada tiga obyek wisata yang biasa dikunjungi, yakni To’tombi, Tongkonan Lempe, dan Pongtorra. Dengan keterbatasan waktu, BJ memilih To’tombi sebagai tujuan. Masuk kawasan To’tombi, kami harus membayar tiket Rp 15.000 per orang.
Saat kami tiba, sudah banyak orang berada di sana. Namun, jika dibandingkan dengan foto-foto di dunia maya, pagi itu To’tombi tak terlalu sesak. Faktor musim penghujan? Atau Covid-19? Mungkin karena keduanya. Malah enak sih, jadi masih leluasa untuk mencari tempat duduk-duduk. Menikmati situasi sembari menunggu langit pagi merekah.
langit tak cerah😀
Sayang sekali, serupa dengan di Posong. Saya kembali tak berjodoh dengan sunrise yang indah. Langit hanya memberi warna biru terang tanpa semburat jingga keemasan. Bahkan, awan juga tak terlalu tebal. Yah, setidaknya sudah memperkirakan situasi demikian, jadi tak terlalu kecewa.
Setidaknya, kami bisa duduk-duduk menikmati dingin tanpa basah hujan. lalu terlintas sepenggal lagu lama |3 :
kau mainkan untukku
sebuah lagu tentang negeri di awan
di mana kedamaian menjadi istananya
dan kini akan kau bawa aku
menuju ke sana.
Tentu saja, kami tak bisa bermain ke awan-awan. Hari itu, kami harus melanjutkan perjalanan, menjelajah Toraja dengan waktu yang kami punya. Sampai jumpa di tulisan terakhir tentang Toraja💓💓
----------------------------------------------
credit :
1| https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/mengenal-lebih-dekat-tana-toraja/
2| https://blog.misteraladin.com/5-patung-yesus-kristus-terbesar-di-indonesia/
3| Negeri di Awan, Katon Bagaskara
Cerita sebelumnya :
Part 1 : Mampir Sebentar di PLTB Sidrap
Part 2 : Mencicip Nasu Cemba di Gunung Nona
Part 3 : Sambutan Personal di Tana Toraja
Cerita selanjutnya :
Part 5 : Toraja, Wisata Macam Apa
Aaakk, auto nyanyiii lagunya mas Katon aku Maaakk
BalasHapus"kau mainkan untukku
sebuah lagu tentang negeri di awan
di mana kedamaian menjadi istananya
dan kini akan kau bawa aku
menuju ke sana."
Baguus bgt panoramanya
aku juga mau suatu hari nanti ke sana, yeayy!
lagunya emang legend banget ya mbak :)
HapusIndah banget pemandangannya. Pantes aja disebut Negeri di Atas Awan. Eh..itu seperti judul lagunya Mas Katon Bagaskara ya hehee
BalasHapusyup mbak Mia. lagunya katon
HapusKampung halaman suami saya nih, mbak. Patung Yesus memberkati itu keliatan dari rumah mertua saya. Sayangnya saya malah belum pernah ke sana.
BalasHapusbiasa mbak. kalau orang deket malah jd nggak tertarik :)
Hapusseperti ke dieng misalnya, saya juga nggak segimanaaaa karna deket. padahal juga bagusss :)
Wah pengin sekali melihat Patung Yesus Memberkati di Buntu Burake kalo ke Toraja. Nah, kalo berdiri di jembatan kacanya, aku gak bakal mau, sereem, ngebayanginnya udah takut duluan hahaha :D
BalasHapussaya juga takut ketinggian tapi suka tertantang ahaha
HapusSemoga persoalan antara pemerintah dengan masyarakat di Buntu Burake segera bisa diselesaikan ya.
BalasHapus2 km kalau jalan menanjak, saya juga pilih naik ojek mbak, 10 ribu udah termasuk karcis masuk lokasi. Kalau sekarang, jalan nanjak 2 kilo udah ngos-ngosan. Padahal dulu diajak naik ke puncak sindoro tanpa persiapan khusus ya ayuk aja.
pada masanya memang demikian ya mbak. Nggak ada rencana apa-apa, eh ada yg ngajak naik gunung, langsung hayuk ajah :)
HapusTapi walau nggak dapat sunset yg gold tetap berkesan ya mba perjalanannya..ku belum pernah ke toraja mbaa
BalasHapusLagunya lejeeen yaaa ituuu
bener mbaak...lejeeeeen :)
Hapusomg Toraja ini keren banget ya
BalasHapusnggak hanya punya destinasi budaya yg menarik, tapi juga punya banyak destinasi alam yg sangat indah
jadi makin pengen bisa jalan jalan ke toraja
apalagi buat kita yg "orang jauh" ya mbak..lebih terasa uniknya :)
HapusAahhh aku auto nyanyik negeri di awan, hadudu menyayat hati, sambil mbayangin indahnya di samaaa.
BalasHapusEkoot, belom pernah ke torajaaa.
sudah terduga teh hani, para pembaca blog ini kan seumuran aku juga. pasti auto nyanyi deh hahaha
HapusLangsung mupeng pengin ke Toraja deh Mbaa... Seru melihat kebudayaan di sana plus juga bonus pemandangan di atas awannya yang cantik banget
BalasHapusmusim hujan, saya nggak beruntung lihat awan di langit super cerah hahaha
HapusSaya termasuk takut melihat patung berukuran besar. Tetapi, melihat view yang cakep begitu kok jadi pengen juga ke sana hehehe. Semoga semua permasalahan antara pemerintah dan masyarakat setempat bisa diselesaikan dnegan baik
BalasHapuspatung besar emang serem kalau diamat2i ya mbak :)
HapusBarokallah mba udah sampe Toraja, aku belum hiks pengen juga sampai sini
BalasHapusbismillah semgoa ada rejeki aamiin.
Saya juga penyuka keindahan awan dan langit yang dilihat dari ketinggian, Mbak
BalasHapusTetapi, rasanya untuk naik ke atas kok sudah tak lagi bisa seperti masa muda dulu ya. jadi menikmatinya dari depan rumah dan melihat awan dan langit dari bawah.
Tumben nih ke Tana Toraja tapi ga mengulas yang biasanya yaitu upacara adat pelepasan ke bukit bukit
BalasHapusWuih Toraja, salah satunya daerah kita yang kayak akan adat dan budaya ya. Unik dan eksotik. Kepengen deh bisa traveling ke sana. Pastinya akan snagat berkesan Semoga bisa main ke sana suatu hari nanti.
BalasHapusTempatnya memang tinggi jadi pantas dibilang negeri di atas awan. Kalaupun Sunrise pasti kece banget nih Mbak.
BalasHapusTantangan menuju negeri di atas awan ini yaah..kak.
BalasHapusAda kepuasaan dan bersyukur sekali dengan keindahan alam Indonesia yang membentang.
Jadi mellow kalau lihat sunset~
LAngit itu kalau dipandang dari ketinggian, suasanyanya menakjubkan... mengambang tapi tak bertiang.... Berarti menunggu musim panas sebaiknya ke puncak untuk memburu semburat emas ya Mak...
BalasHapuswhoaaa asiknya ke Toraja!
BalasHapusbtw, berarti masih ada sengketa ya di area patung Yesus? aku tuh langsung ingat yang di Rio de Janeiro, iconic banget kan.
sayangnya jembatan kaca sedang ditutup, ya. khawatir menimbulkan kerumunan kali? padahal bisa dibuat batas maksimal berapa pengunjung.
Indah banget ya dari puncak sana bisa lihat pemandangan sekaligus terapi jiwa lihat alam yang damai dan indah
BalasHapusBiar ga cerah banget, Kuwi wis apik Dik 😀. Nek pulang manggung, naiklah ke monumen meteor, jalan kaki asik Sik, tapi puegel... 😀. Nggak beda jauh pemandangan e. Kabut kayak negeri di awan.
BalasHapusIsssh cocok memang lagu Katon negeri di awan dinyanyiin utk destinasi yg ini yaaa :)
BalasHapusAku baru tau di Toraja juga ada patung Yesus memberkati. Aku taunya selain di Brazil , yg nomor 2 tertingginya di Timor Leste. Dan aku udh niat mau datangin mbaa, yg di Timor Leste. Brazil kejauhan hahahah
Eh ternyata di Toraja ada jugaaa :D
Sayang banget jembatan transparannya ga bisa dilewatin. Aku mau bgt pastinya jalan di situ :D
memang luar biasa indahnya....
BalasHapusIndah sekali ya Toraja banyak pemandangan yang indah dan menarik hati ya, seru nih kalau ke sini sama keluarga
BalasHapuspemandangannya luar biasa mbak. kepingin banget bisa ke tana toraja suatu hari nanti dan menikmati negeri di atas awan
BalasHapus