satu senja di Pantai Akarena - Makassar |
Maret 2021. Tang-ting-tung, ternyata sudah hampir sepuluh bulan saya dan anak-anak di Makassar. Berbeda dengan BJ yang sudah setahun lebih sedikit. Tahun lalu, BJ memang berangkat lebih dulu. Sedangkan saya, Ale, dan Elo menyusul kemudian karena menunggu kenaikan kelas.
Pindah-pindah kota karena konsekuensi tugas suami, sudah bukan hal aneh lagi. Duluuu, saya pernah membaca cerita sebuah keluarga. Jika saya tidak salah ingat, dalam lima tahun mereka pindah meliputi lima kota di tiga negara. Anak-anak mereka lahir di negara yang berbeda-beda. Saya lupa bagaimana cerita tentang kewarganegaraan anak-anak mereka.
Kepindahan kami memang hanya sebatas wilayah domestik, yang tak butuh paspor dan visa dalam perjalanan. Namun, dalam hal jarak, bukankah dalam dan luar negeri sering menimbulkan ilusi? Seperti Medan - Singapura yang hanya perlu terbang kurang dari dua jam. Sementara, Medan - Makassar malah butuh waktu terbang sekitar dari empat jam (belum termasuk transit).
Pindah, mau jauh atau dekat tetaplah pindah. Satu proses yang butuh energi ekstra untuk berkemas dan penyesuaian kembali.
Wait....
Sebenarnya secara presisi kami tidak tinggal di Makassar. Memang hanya sepelemparan batu sampai di wilayah kota (dengan catatan yang melempar adalah Gatotkaca). Hanya saja, secara administratif sudah termasuk Kabupaten Gowa.
Bukan bermaksud ngaku-aku “orang kota” kalau lebih sering
menyebut Makassar sebagai tempat tinggal. Tapi, menyebut Makassar lebih
memudahkan, terutama kalau cerita sama teman/keluarga jauh.
Bayangkan sebuah percakapan :
T : Tinggal di mana sekarang?
J : Di Gowa
T : Gowa??? Mmmmm.... Itu di Sulawesi ya?
J : Sebelah Makassar looh..
T : Ooo.. I see..
No offense ya buat orang Gowa yang baca ini. Bukan karena
Gowa tidak terkenal. Di sekolah dasar, sudah ada informasi nama Kerajaan
Gowa-Tallo dalam pelajaran. Tapi yaaaa.... Makassar kan ibu kota provinsi.
Pasti lebih melekat dalam ingatan orang kebanyakan.
Ini serupa dengan dulu saat tinggal di Karo dan Siantar.
Keluarga dan teman jauh biasanya akan lebih paham kalau saya menyebut Medan.
Padahal Karo dan Siantar masih beberapa jam perjalanan dari Medan.
Sampai-sampai, banyak orang lebih suka mengaku dari kota
besar dibandingkan asal aslinya (terutama dalam pembicaraan awal). Saya pikir,
itu belum tentu karena mau sok ngaku orang kota (positif thinking). Seperti
orang Sibolga ngaku Medan, atau Wonogiri ngaku Solo.
Kalau lagi males berpanjang kata, menyebut keaslian nama
daerah itu bikin ribet. Seperti :
T : Jawa-nya mana Mbak?
J : Temanggung
T : Tulungagung?
J : (Rrrrr...) Temanggung! (agak ngegas). Tulungagung di
Jawa Timur. Kalau Temanggung di Jawa Tengah. (turunkan intonasi buat edukasi)
T : Oo...jauh dari Jogja?
J : Normal sekitar tiga jam lah.
J : Ooo.... jauh juga ya mbak
J : Iye ... (asli ndeso memang)
Review masa tinggal, mungkin lebih lazim nanti pas setahun
yaaa. Namun, entah deh, tadi sambil mencuci piring, saya kok terpikir masalah
waktu. Klise sih, manusia tidak punya kuasa untuk mengetahui waktu yang akan
terjadi. Okelah manusia bisa meramal, baik dengan metode abal-abal atau teknik
yang masuk akal. Tapi namanya ramalan kan bukan kepastian. Bisa terjadi, bisa
tidak.
Jangankan beberapa tahun ke depan, lha wong bagaimana
semenit ke depan, manusia juga nggak tahu. Siapa menyangka jika detik ini sedang enak-enak makan di restoran, lalu detik berikutnya terjadi ledakan hebat yang
mematikan? Atau menit ini masih asik bercanda lalu menit selanjutnya mendapatkan
telepon berisi kabar duka?
Uhuu, mikir begini jadi agak-agak takut ya. Namun, saya mengambil sisi baiknya kok. Yakni, dengan tidak tahu waktu ke depan, seharusnya jadi pengingat supaya tidak sembarangan menjalani waktu sekarang.
Well, entah akan berapa lama kami tinggal di Makassar.
Setiap ditanya, akan berapa lama di .......(suatu tempat). Jawabannya selalu
“nggak tahu.” Ya kan, suami sekadar menjalankan tugas perusahaan, sementara saya dan
anak-anak sekadar follower😀.
Eh kok terkesan pasrah tingkat tinggi gitu ya.... Ya
kalaupun membuat keputusan sendiri yang akhirnya membuat kami pindah,
setidaknya itu belum terjadi hari ini. Setidaknya, saat ini saya ingin review
perjalanan sepuluh bulan di sini. Terutama dari sisi sosialisasi.
Pandemi dan Adaptasi
Sedikit intermezzo. Kemarin saya menemani Ale belajar untuk persiapan Ujian Tengah Semester.
T : Ale, apa lawan kata dari mahluk sosial?
J : Mahluk jomblo
😀😀😀😀😀😀
Beberapa kali pindah kota, jadi terasa jika keterikatan kami dengan tempat lebih disebabkan karena hubungan sosial. Semaju apapun sebuah kota, tak banyak hal yang bisa dikenang ketika minim interaksi sosial.
Mungkin karena saya dan BJ pada dasarnya orang kampung yaaa.... Gabungan budaya asal dan karakter pribadi membuat kami tak bisa hidup individualistis. Kami terbiasa dengan hubungan paguyuban (gemeinschaft) dan merasa kurang hidup dengan pola yang cenderung patembayan (gesellschaft). Haha, maaap-maaap, saya sedang mere-call memori kuliah sosiologi pedesaan.
Saat pindah ke tempat baru, biasanya ada empat “sumber” hubungan sosial, yakni lingkungan tempat tinggal, relasi dari pekerjaan BJ, sekolah anak-anak, dan gereja. Namun, pandemi mengubah banyak tatanan. Termasuk dalam pembentukan lingkaran sosial kami di tempat baru.
Bisa dibilang, sepuluh bulan di sini, masih sedikit orang
baru yang kami kenali.
Dalam pekerjaan, BJ lebih banyak bekerja di rumah. Tidak
lagi banyak kunjungan lapangan seperti
dulu-dulu. Selain karena pandemi, job desc BJ memang sudah berubah. Padahal,
waktu di Siantar, saat weekend atau libur, saya dan bocils sering diajak BJ
kunjungan lapang. Kami punya orangtua angkat di Simalungun dari jalur ini.
Di lingkungan tempat tinggal, relasi juga terbatas. Puji
Tuhan, pemilik tempat tinggal yang adalah tetangga terdekat memperlakukan kami
sebagai keluarga. Namun, selain mereka, kami tak mengenal banyak orang.
Kompleks tempat tinggal kami terhitung besar. Namun, pola interaksi sedikit
banyak sudah seperti di kota, dalam arti wajar saja tak kenal dengan tetangga
sebelah. Terlebih saat pandemi seperti ini, saat keluar masker nyaris tak
terlupakan. Jadi, sedikit mengenal wajah.
Dari sekolah anak-anak, biasanya saya akan mendapat teman
sesama orangtua. Seperti waktu di Medan, pertemanan anak berlanjut ke
pertemanan orangtua. Namun, seperti kita tahu, sampai saat ini anak-anak masih
belajar di rumah.
Lalu, gereja. Jujur, sampai sejauh ini kami belum ke gereja
lokal. Terlebih, bisa memutuskan untuk bergabung dengan sebuah gereja,
seringkali bukan proses yang instan. Kalaupun turut dalam ibadah online, situasinya
berbeda karena minim interaksi sosial.
Kadang terpikir, selain pengaruh pandemi apakah juga karena kami
kurang luwes membawa diri? Saya sudah tergabung
dengan grup WA ibu-ibu kompleks. Namun, sebagai “pendatang baru” saya sering
nggak bisa ikutan haha-hihi, terlebih jika membahas hal-hal yang mereka sudah
ketahui – tapi saya belum.
Nggak masalah juga sih, setidaknya ikut grup WA ibu-ibu
sering memudahkan belanja ini-itu. Lha grup WA sudah seperti marketplace,
banyak macam barang dijual dengan harga miring. Kalaupun sedikit lebih mahal,
setidaknya sudah diantar sampai rumah. Saya pribadi enggak terganggu, malah
senang karena terbantu urusan beli ini itu.
Yang lucu adalah kalau saya chat jalur pribadi untuk pesan
barang. Dialek Makassar yang khas membuat saya sering tak cukup hanya sekali
membaca pesan. Tak jarang, saya mesti mengulang pertanyaan demi memastikan
kesatuan pemahaman.
Terhubung dengan “Tetangga”
Oh ya, seminggu terakhir saya terhubung dengan tetangga
kampung. Sebelumnya saya chat dengan sepupu yang barusan pindah ke Jambi. Dia
bilang, banyak orang dari kampung asal kami yang tinggal di seputaran
tempat tinggalnya. Sementara di sini,
saya bahkan masih jarang ketemu orang Jawa. Bukan bermaksud primordialis, tapi
kalau ketemu orang sedaerah itu kan beda aja rasanya...setidaknya bisa ngomong
dengan bahasa asal.
Eh tetiba, ada masalah dengan mobil kerja BJ. Berhubung hari libur, BJ menghubungi teknisi via jalur pribadi. Sebelumnya BJ pernah ketemu teknisi itu di bengkel. Dari ngobrol-ngobrol, BJ tahu kalau teknisi itu berasal dari Temanggung.
Pagi itu, si teknisi datang
ke rumah. Jadi lah ngobrol-ngobrol di luar urusan mobil. Berbeda dengan BJ dan
saya yang sudah cukup berumur, si teknisi masih muda banget. Belum terlalu lama
lulus SMK yang letaknya di kecamatan asal saya. Kerja di Makassar adalah job
pertamanya.
Lalu, beberapa hari lalu, ada pesan WA dari nomor yang belum
tersimpan. Ia mengaku sebagai Mas T dan mendapat nomor saya dari Mbak Ani,
kakak saya di kampung. Rrrrr, jujur saya ingat-ingat lupa dengan Mas T . Ingat
kalau dia memang tetangga beda desa, tapi saya lupa wajahnya (kalau baca ini,
maap ya mas😀😀).
Mas T bilang, dia tinggal di Palu (masih jauh dari Makassar tapi setidaknya sesama Sulawesi). Tapi adiknya tinggal di Makassar. Jadilah saya kontakan dengan K, adik Mas T. Saya juga agak-agak lupa dengan wajah K di masa dulu. Lumayan tertolong sih dengan profile picture WA-nya. Tapi kayaknya sudah jauh beda J. K janji kapan-kapan mau main ke tempat kami.
Sepuluh bulan di Makassar belumlah waktu yang panjang (jika
dibandingkan dengan masa tinggal di kota-kota sebelumnya). Tetapi sepuluh bulan
juga bukan waktu yang sebentar. Bulan-bulan pertama di sini, terasa berat
terutama bagi BJ sehubungan adaptasi dengan pekerjaannya. Bahkan, sempat ada
situasi yang bikin deg-degan ketika BJ terkonfirmasi positif Covid-19.
Dengan segala yang sudah terjadi, bersyukur bisa terlampaui
sejauh ini. What’s next? We don’t know... Live it day by day and give thanks.
Celebrate our daily life. (*)
Previous : Diajak ke Mappettuada, Lamaran Adat Bugis
Seru ya ketemu sodara sedaerah di perantauan..
BalasHapusiyuuuuu....ada sensasi tersendiri hihihi
Hapusbener juga, rasanya lebih cepat akrab kan hihi
Hapusapalagi kalau dulunya sudah kenal meski hanya selintas :)
HapusMemang sih, kalo sering berpindah tempat itu butuh penyesuaian dengan orang-orang baru dan suasana baru. Tapi daripada tinggal terpisah dari keluarga mending ikut sama-sama berjuang di perantauan
BalasHapusiya mas. Jd follower sejati :)
HapusHaloo mbak...
BalasHapusAku jg merasakan hal yg seperti itu sih. Terkadang orang2 hanya tau ibukota provinsi nya aja. Kota atau Kabupaten lain yg ada tidak terlalu terkenal 😅
Misal, aku kan dari Palembang. Ditanya orang. "Waah, Palembang dimananya?"
Aku jawab, "Di Plaju (salah satu nama Kecamatan di Palembang)"
Respon dia, "Ooh Palembangnya bukan di Prabumulih yaa? Aku taunya Prabumulih."
"Prabumulih itu ada di Kabupaten yang berbeda, bukan di kota Palembang bapakkk -__-"
Sering banget hahaha
Hallo masbro..
Hapuslha saya pikir plaju itu malah nama kabupaten :)
Nama Prabumulih saya baca di novel Saman Ayu Utami. Mantan kota tambang yang meninggalkan banyak cerita. Berapa jam ya dari palembang?
Dengan tidak tahu waktu ke depan, seharusnya jadi pengingat supaya tidak sembarangan menjalani waktu sekarang.
BalasHapusWah, mbaaa ini QUOTE of The Day bangett nih!
Makasii makasiii
Btw, Temanggung iku mboten Ndeso lho Mbaaa wkwkwkwk (iyeehh, alm bapakku priyayi Temanggung soalnya wkwkwkw)
soale alm bapak Mak Nurul asale Temanggung kota. Kalau daku memang Temanggung kluthuk Mbaak ^_^
Hapushaha itu si teknisi langsung diajak ngobrol ngalor ngidul ya mbak :D
BalasHapusPindah tempat baru, butuh penyesuaian baru ya, apalagi saat pandemi sekarang ini. Tidak pandemi aja, kadang tetangga dekat rumah ya asal tau, jarang ngobrol, apalagi pandemi, keluar pake masker terus :D
haha iyaa mbak. Ga terlalu jauh pula rumah asal kami. Sebelahan kecamatan
Hapushehehe.. aku juga pengalam pindah - pindah negara mba... tapi di satu negara menetapnya lumayan lama. Australia 1.5 tahun, Swiss 4 tahun dan AS hampir 5 tahun, sisanya diselingi dengan tinggal di Jakarta. Yang penting semangat selalu dan bersyukur
BalasHapustapi yg saya baca dulu pasti bukan pengalaman mb indah. soalnya si istri emak2 rumahan kayak saya hehehe. Ketika pindah dengan status kerja (formal), beda lagi challenge-nya kan mbak.
HapusAkutuh paling sering bilang Medan ,drpd Sibolga kalo ngejelasin org mana hahahah. Malah sebenernya asal papa ku itu Sorkam, lebih jauuuuh LG dr Sibolga mba :D. Tp kalo Sibolga aja banyak org pada nanya bagian mana, apalagi kalo aku sebut Sorkam :D.
BalasHapusSbnrnya itu LBH Krn aku males jelasin hahahaha. Eh tapi ga salah juga aku sebut Medan sih. Krn ortu memang tinggalnya di Medan skr ini :D.
Apa ya rasanya pindah2 gitu. Pgn, tp aku tahu rempongnya ga kuaaat hahahah. Suami udh ngerasain dari bayi 3 bulan udh diajak pindah2 negara. Dari Korut, Jepang, Jerman, Finland, Bulgaria. Krn mertuaku diplomat.
Mama mertua prnh cerita rempongnya kirim itu barang, hrs pake kargo laut, dan biaya jgn tanya hahahaha. Aku LBH ngeliat ke arah seru ngerasain suasana baru, tp pasti ga pengen juga rasain ribet dan repot packingnya hahahahaha
Kenapa ya aku tu kalau mengingat Sibolga sering tertukar dengan Balige... aneh hehehehe.
HapusYa memang mbak, njelasin detail itu kadang malah jadi ribet. Cuman kadang malu kalao kebetulan ketemu orang yg tahu daerah. Udah ngaku Jogja/Semarang, eh dianya tau Temanggung bahkan sampai yg mblusuk2nya wkwkwkkw
"sepelemparan batu sampai di wilayah kota (dengan catatan yang melempar adalah Gatotkaca).".... funny quote .... hehehe.... lol.
BalasHapusmenarik ceritanya ..... thank you for sharing
kadang 0 menit perjalanan diibaratkan sepelemparan batu, kan nggak mungkin ya pak...etapi namanya juga pengibaratan. lebai dibolehkan hehehe
HapusSaya dan suami orang kampung banget, maksudnya emang nggak kemana2 dari dlu mbak hahha.. Eh tapi 2019 ternyata pekerjaan membawa suamiku ke tanah rantau. Rasanya, hmmmm repot banget banyak yang mesti dipersiapkan . Hebat banget mbak terbiasa pindah2 gituuu.
BalasHapushihi..bukan hebat mbak tapi dipaksa keadaan. Sampai kalau mau beli barang perabot tu kadang mikir panjaaang..ntar kira2 gimana kalu pindahan hehehe
HapusIni seperti kakak ipar saya, Mbak. Selalu pindah-pindah tugas. Jadi anak-anaknya pun beberapa kali pindah sekolah. Menurut kakak ipar, Makassar termausk kota yang nyaman untuk tinggal
BalasHapusPuji Tuhan, so far secara garis besar saya juga nyaman-nyaman saja sih. Kalau kadang tidak nyaman, ya wajar lah ya...di mana pun tempat tinggal pasti selang-seling nyaman dan tidak nyaman.
Hapuswah Makassar, aku baru sekali ke sana itu pun hanya 3 hari kalo gak salah buat mengunjungi beberapa tempat wisata seperti tanjung bira, kampung rammang-rammang,dan satu lagi kok aku lupa ya namanya
BalasHapusTiga hari dan sempat ke tanjung bira?
HapusPerjalanan padat agenda ya mbak.
Saya belum terlaksana ke Tj Bira :)
Mbkk samaan kita, aku juga beberapa kali pindah antar pulau per tiga tahun. Dulu masih berdua aja, rasanya kalo pindah itu seneng banget. Dapat teman baru, dll. Tapi sekarang udah ada di kecil, rasanya beda banget, lebih ribet hehe
BalasHapustambah anggota keluarga means tambah banyak barang. Tak bisa lagi sebentar berkemas lalu bergegas ya kan mbak Is? :) :)
HapusIya Gowa dan Makassar itu daerahnya kayak Bogor dan Jakarta ya, tetanggaan...dulu waktu kecil sering pindah rumah karena ikut ayah pindah tugas, sekarang menetap di kampung suami.. Semoga betah ya di Makassar..
BalasHapusSebagai orang Jateng, saya malah nggak akrab dengan Semarang lho mbak dewie :)
HapusAkupun jg gitu mba kadang. Ditanya kalsel mana. Kalo dijawab banjarmasin langsung ngeh. Tp klo dijawab pelaihari auto bingung daerah mana. Haha
BalasHapushaha iyaa mbak Winda.saya juga cuma tahu pelaihari itu di Kalimantan. Tapi enggak hafal Kalimantan mana
HapusKog mirip kalilah cerita kita ini ya, Eda.
BalasHapusAku pun sering bilang orang Medan, kalau ada yang tanya pas aku di Kalimantan ini.
Pasti langsung putus, ga pakek ditanya-tanya lagi.
Lain cerita kalau aku bilang Siantar.
Alamak, pasti panjang cerita, hahaha.
Tapi kadang-kadang aku jawab juga Siantar.
Nah, kalau langsung nyambung, senaaaaang kali kurasalah.
Apalagi kalau kebetulan yang nanya itu lahir dan besar pulak di Siantar.
Langsung lah kami bernostalgila, eh nostalgia, maksudnya.
Kalau menurut aku sih lebih baik punya satu sahabat yang cocok dari pada 1000 kenalan yang tidak jelas, apalagi kalau sampai toxic friend. Hajab kita!
Tapi memang sungguh terberkati bila sampai punya sahabat sejati!
Nah, siapa tahu next, pindah ke Balikpapan.
Kabrain lah ya.
Ashiaaap edaaa :)
HapusLama di Sumut, aku jadi telanjur enak mar-eda. Jadi kadang dipikir asli orang sana (tapi kok dialeknya ada yg kurang hahahaha), atau setidaknya dipikir suami orang sana.
Siantar kota yang banyak cerita buatku eda. Karena anak kedua lahir di sana, jadi sering kami bilang, kampungnya dia Siantar, bukan Jawa :)
Sering berpindah tempat tinggal memang banyak suka dukanya ya mba. Senengnya bisa menambah pengalaman dan wawasan tentang daerah luar, dukanya harus selalu siap beradaptasi dengan lingkungan baru, orang baru dan suasana baru yang kadang tidak sesuai dengan ekspektasi. Namun apapun itu, tetap syukuri setiap hari yang penuh berkat :)
BalasHapusYupiii mba Juli. Live it day by day...celebrate our daily life :)
HapusSetiap kota yang ditinggali selalu memberikan cerita yang berbeda ya... Di Makassar ini ceritanya berbeda banget gara-gara sedang pandemi ya...
BalasHapusiyaaa bener mbak. Pandemi ini bikin cerita yang beda bangeeet
HapusSemangat y mba .. biarpun pindah2 malah bnyk positive bisa kenal bnyak daerah jadinya bisa sbg bahan tulisan, Dan yg terpenting jaga Kesehatan selalu.. walaupun sulit memang Kita adaptasi dgn yg baru butuh waktu
BalasHapusHihi, iyaa mbak...ini update blognya jadi kebanyakan jalan-jalan. Soalnya jalan ke tempat deket rumah saja kan terasa baru dan bisa jadi konten
HapusKok aku ketawa pas ditanya lawan mahluk sosial "mahluk jomblo" hahahahaa... bisa aja deh. ini. Semangat ya mbak, beberapa temanku juga ada yang pindah luar kota dan LN di saat pandemi seperti sekarang ini.
BalasHapuswiuuu...pindah ke LN dalam sikon pandemi, pasti lebih ribeeeet prosesnya ya mbak Chie
Hapushahaha.. lah, Mbaaa ga usah kota kecil Kota besar macam Depok aja orang masih pada nanya. Temen-temen di Lampung pada bilangnya ade tinggal di Jakarta, Padahal kan Depok masuknya Jawa Barat, perlu 2 jam kalau dari Jakarta kotanya. Dan karena menurut mereka depok dekat dengan Jakarta, kadang saat mereka berkunjung ke Jakarta Barat, saya diminta ketemuan. Dan itu sore. Haduuuh.. dipikir bisa ngesot kesana... uhuhu..
BalasHapusHaduuuh....sempat dua bulan tinggal di Jkt dan bbrp kali bolak-balik Jkt-Bandung bikin saya merasa : fixed aku nggak pengin tinggal di Jabodetabek.
HapusDasarnya orang kampung nihh mbaaak....ngeper duluan kalo lihat kota metropolitas hahahah
Aleeee tante baru tahu ada mahkluk Jomblo loh, kasihan sekali hidupnya ya, selalu sendiri di mana yang lain bisa bersosial, ehhehee
BalasHapusMbak, sayapun pernah mengalami fase pidnah pindah, hal yang membuat saya terkaget kaget adalah selalu ada penambahan barang, pfuh
hihihi...ini anak memang suka ngasal kalo menjawab. Dan menikmati jawaban2 sengklek macam itu. tapi malah jadi inget kalau pas ujian :)
HapusTeman suami ada yang pindah kerja ke Makassar dari Jakarta, malah kayaknya enak ya bisa menikmati hidup di negeri orang. Tapi aku mana bisa ninggalin mama di sini, hehe.. Pastinya beda tinggal di daerah sendiri sama daerah orang, banyak tantangannya. Sabar mba, sambil nikmatin indahnya pemandangan. Di pulau jawa udah banyak polusi soalnya hehe..
BalasHapusMungkin saya dan suami juga bisa leluasa karena ada saudara di rumah yang "jagain" ibu/ibu mertua. Satu sisi memang malah jadi ada perasaan kok kami ini selalu jauh (jarak tinggal) sama ortu.
Hapusduuhhh makhluk jomblo , ngakak aku mbak
BalasHapussudah keliling kemana aja mbak selama di makasar, pasi jadi pengalaman berkesan yang tak terlupakan ya mbak
paling jauh baru toraja sih mbak dian. Tiap jalan jadi konten blog hehehe
Hapusaku masih penyesuaian mak
BalasHapuspindah juga sama seperti yang aku tanyain waktu itu xixixi
smoga rejeki kita dimudahin ya mak di tempat baru tetap berkah dimanapun
waaah iya waktu itu sempat wa-nan ya mak.
Hapusamiiin...di manapub berada banyak bahagia.
Hihii...nge gas yaak...jadinya kalau ditanya tapi beda sama kenyataan.
BalasHapusSama banget kaya aku.
"Lahir dimana?"
"Di Pangkalan Brandan."
"Di mana? Belanda?"
Errrr~
Yawes lah yaa...hihii~
waaah..mak lendy dari brandan???
Hapuspas di sumut aku nggak sempat mbolan sampe brandan
semoga betah di tempat yang baru tentunya perlu adaptasi namun semoga dimudahkan urusannya
BalasHapusamiin mbak Naq. Trimakasih supportnya :)
HapusAduuuh saya jadi kangen kampung halaman
BalasHapusSudah nyaris 2 tahun tidak mudik ke sana
Sudah banyak berubah
Ada lagi tol baol baru di sana
kalau mudik kabar2 mbak..mana tau saya juga masih di sini jadi bisa ketemuan :)
HapusSaya sudah jajal tol barunya lhoooo :)
Wkwkwk sama kayak saya, kadang ada juga orang yg nggak ngerti Lamongan dimana sih? Akhirnya kalau ditanya biar cepet jawabnya asli mana? Surabaya 😄 tapi emang besar dan lahir di Surabaya kebetulan merantau di Lamongan
BalasHapusYang nggk ngerti Lamongan mungkin jarang jajan di warung tenda ya mbak :)
HapusPecel Lele atau seafood lamongan itu kan seperti cicak....ada di mana-mana :)
Kalau sering pindah tempat gitu, harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, ya, Mbak. Kalau lingkungannya bagus dan menyenangkan, pasti lebih cepat beradaptasi. Semoga betah di tempat baru, ya ��
BalasHapus