Foto dari grup WA. Tengkiu temans PKP'99 |
Hari Minggu kemarin, di grup Whatsapp teman-teman kuliah se-program studi dan seangkatan ada posting foto-foto “reuni kecil”. Bukan sengaja mau reuni, tetapi mereka bertemu di kondangan pernikahan seorang teman. Kalau tidak salah, ini adalah teman sekelas yang terakhir melepas masa sendiri. Ahha, sebuah misteri jodoh akhirnya terpecahkan. (Eh AHHA, ini juga barusan bikin acara kondangan yaaa....kondangan nasional booo :P)
Sekali lagi, congraaatsss Iwoel..
Seperti biasa, saya tak bisa turut datang kondangan
sekaligus reuni kecil-kecilan. Jaauuuuhnya itu lhooo.... Jarak memang membuat
saya selalu absen dalam acara pesta keluarga maupun teman. Saya melewatkan
pernikahan banyak sepupu-sepupu dekat. Apalagi kalau “hanya” keluarga jauh...
Tiket terbang pulang-pergi Medan – Jogja (sebelum pindah) untuk sekeluarga, bukan
bujet yang sedikit bagi kami. Paling memungkinkan adalah “titip amplop” melalui
saudara/teman.
Di rantau, saya juga tidak sering kondangan. Saat tinggal di
Sumut, istilahnya bukan kondangan sih, tapi pesta. Lazim juga disebut
mapes/makan (di) pesta. Wajar lah kalau kami tidak sering mapes. Sebagai
pendatang, lingkaran sosial kami kan tidak luas-luas amat. Undangan pesta,
paling dari jalur gereja, jalur tetangga, dan jalur relasi kerja BJ. Pernah sih
sekali dapat undangan dari nenek teman sekolah Ale. Namun saya absen karena
tidak ada teman untuk pergi. Meski sudah berkali-kali menghadiri pesta adat
Batak, tapi jujur saya nggak pede kalau datang sendirian. Duuh, maaf ya Oma
Moses...
Indonesia kaya budaya, salah satunya tercermin dalam adat
perkawinan. Meski tidak terlalu sering kondangan, hampir sebelas tahun tinggal
di Sumut membuat saya mengenal beberapa tradisi pernikahan.
Baca : Diajak ke Mappettuada
Jauh sebelum program transmigrasi di era Orde Baru, sudah
banyak orang Jawa yang pindah (atau dipindahkan) ke Sumatera. Mereka beranak-pinak
di sana, memiliki keturunan demi keturunan yang sama-sekali belum pernah menginjak tanah Jawa.
Namun, mereka masih mempertahankan berbagai tradisi Jawa, termasuk adat
perkawinan.
Jadi, meski kondangan di Sumatera, tapi suasananya seperti
kondangan di kampung asal. Prosesi pernikahan, dandanan pengantin, alunan
musik, dekorasi, hidangan, dan lain-lain... kurang lebih sama. Kalau ada
satu-dua hal yang kurang nJawani..ya wajarlah. Sejauh pengalaman datang
kondangan di pernikahan ala Jawa di Sumatra, acara mereka malah lebih nJawani
daripada pernikahan saya yang sangat sedikit mengaplikasikan tata cara adat
tradisional.
***
Untuk pernikahan Batak, ternyata adatnya juga tidak satu macam lho. Karena Batak sendiri terdiri dari beberapa sub-suku yang bahasa dan adatnya berbeda. Pengalaman pertama datang pesta pernikahan ala Batak jelas bikin saya gegar budaya.
Tahun-tahun terakhir tinggal di Jawa, kalaupun
ada undangan kondangan, biasanya sudah model standing party. Datang, lalu makan
prasmanan dengan aneka hidangan, lanjut salaman dan foto-foto dengan pengantin
sembari pamit pulang.
Nah, berkali-kali kondangan ala Batak, saya kembali mengalami
pesta model resepsi. Eh sebenarnya saya nggak terlalu mudeng dengan model-model
pesta sih, jadi correct me if I’m wrong (cmiiw). Pokoknya ini model pesta yang
memang ada alokasi waktu untuk makan bersama, biasanya pas jam makan siang. Maka,
datang ke pesta model ini sebisa mungkin dipas-kan dengan jam makan. Kalau
terlalu cepat, alamat kelamaan menunggu waktu makan. Sebaliknya, kalau sangat terlambat, bisa jadi sudah nggak dapat makan
:D
Cara penyajian yang sering saya dapati adalah “piring
terbang” alias makanan disajikan dalam piring-piring yang sudah berisi nasi
lengkap dengan lauk dan sayur. Untuk ukuran saya, sajian itu termasuk porsi
besar. Jika mengajak anak, dia pun akan diberi jatah satu piring dengan porsi
yang sama. Padahal, untuk piring sendiri saja, saya tak mampu menghabiskan. Tapi
biasanya ada yang mau membawa sisa makanan untuk dibawa pulang. Jika makanan itu masih utuh (bukan sisa), untuk "oleh-oleh" buat orang yang di rumah. Jika sisa, untuk
diberikan hewan peliharaan.
Jujur saya sempat mikir, isssh nasi kondangan kok dibawa pulang.
Apalagi, karena sudah jadi tradisi, memang ada tamu yang sengaja menyiapkan kantong plastik
sedari rumah. Perspektif negatif saya ini bagian dari gegar budaya ya.. rasanya
manusiawi ketika memandang miring/lucu pada sesuatu yang berbeda dari kebiasaan
kita. Bahkan, di kalangan suku Batak sendiri, perkara bawa-bawa kantong ke
pesta ini sering jadi lelucon, semacam oto-kritik gitu lah.
Namun, dalam pandangan saya kemudian, kebiasaan itu malah bisa
dilihat sisi positifnya lho. Saya membaca di Kompas.com, Indonesia termasuk
negara papan atas dalam hal penghasil sampah makanan (food waste). Saya juga pernah baca di
detik.com, salah satu sumber utama sampah makanan adalah dari acara pesta. Imho,
membawa pulang sisa makanan itu malah salah satu kearifan lokal dalam
mengurangi kemubaziran sampah makanan.
***
Hal lain yang termasuk gegar budaya bagi saya adalah
parsubang, yakni sajian makanan halal (biasanya dalam berupa nasi kotak). Suku
Batak identik dengan agama Kristen dan dalam pesta adat perkawinannya pasti ada
daging babi. Selain disajikan sebagai makanan, juga ada prosesi adat yang
menggunakan daging babi. Jadi, untuk tamu yang tidak makan daging babi, ada
parsubang yang biasanya dipesan dari rumah makan nasional/Islam untuk
memastikan kehalalannya.
Ini hal baru buat saya. Sebab, sebagai Kristen Jawa, pesta pernikahan kami tanpa daging babi dan tanpa pemisahan sajian. Saya jadi penasaran, di daerah-daerah mayoritas non-Islam
seperti Bali, Nusa Tenggara, Papua, apakah juga ada semacam parsubang juga
dalam pesta pernikahannya? Temen-temen yang tahu, boleh berbagi di komentar
ya...
***
Pasti gampang ditebak, saya yang mana?😀 |
Minggu saat terjadi ledakan bom di Makassar, saya sedang kondangan. For the first time, saya kondangan dalam
pernikahan suku Bugis. Namun, acara yang saya hadiri baru tahap akad, bukan
resepsi. Jadi memang tidak banyak terasa
elemen adat tradisionalnya. Setidaknya, nuansa tradisional terasa dari
pengantin yang berbusana tradisional. Untuk pertama kalinya juga saya melihat
pengantin dalam balutan baju bodo dan perhiasan (ke)emas(an) yang sangat
banyak.
Saya dan BJ sempat diajak foto bersama dengan pengantin oleh bapak-ibu angkat yang mengajak kami datang kondangan. Waktu itu, saya sempat ingin menitip HP ke fotografer. Meski tidak kenal dengan pengantin, kan bisa untuk dokumentasi pribadi. Namun, saya ragu untuk titip HP dan akhirnya nggak punya foto kenangan deh... (nyesel :D).
***
Duluuu, saya saya beberapa kali berbincang dengan adik
angkat tentang kondangan. Dia bilang, “Bunda sih enak, jarang kondangan, nggak
banyak uang sumbangan.”
Saya menjawab, “Kami memang jarang kondangan. Namun, tiap
tahun pulang kampung yang juga butuh banyak uang. Biaya kondangan dalam setahun
itu mungkin sebanyak biaya kami pulang.”
Ah ya, kondangan dan sumbangan nyaris selalu serupa dua sisi mata uang.
Memang ada pernikahan yang tidak menerima sumbangan, tapi rasanya jarang. Saya
tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang asal mula tradisi sumbangan dalam
perkawinan. Dalam cara hidup komunal, tradisi sumbangan mungkin berawal dari
semangat gotong-royong, saling membantu sesama anggota kelompok. Maka itu, tradisi sumbangan tidak selalu
berupa uang. Bahkan, sumbangan berupa uang mungkin adalah hasil perkembangan.
Semula, bantuan berupa barang-barang (yang berkembang menjadi kado), bahkan
juga bahan-bahan masakan.
Berhubung banyak penyelenggaraan pernikahan yang didasarkan
pada pemilihan hari baik, akhirnya ada “musim kondangan.” Satu sisi, ada
perasaan diingat dan dihargai (tak diundang bisa jadi menyebabkan
ketersinggungan). Di sisi lain, musim undangan bisa membuat orang pusing soal
anggaran. Salah satunya diungkapkan adik angkat saya itu...
Dalam musim kondangan, total sumbangan bisa melebihi bujet
bulanan lho. Mungkin berat, tapi bagi sebagian orang, akan lebih berat ketika
terkena sanksi sosial akibat tidak menjalani tradisi kondangan yang sudah umum dilakukan.
Begitulah kondangan. Akibat pandemi, acara pesta jadi dibatasi. Toh, tetap ada pesta di sana-sini. Tentunya dengan imbauan untuk menerapkan protokol kesehatan (kalau pesta ditunda sampai habis pandemi, entah sampai kapan ya? :D). Sebelum puasa, biasanya banyak orang menggelar hajat. Ngomong-ngomong, sudah kondangan berapa kali di minggu ini?
------------------------------------------------------------
Postingan sebelumnya :
jadi inget momen pertama kali kondangan di tahun 2020 saat masih pandemi, di rumah mantan bos suamiku, rasanya tuh seneng aja bisa dandan cakep, tentu 3M diutamakan
BalasHapusMeski dandan cakep pun kemudian tetap ditutup masker ya mbak aie hehehe. Setidaknya lah :)
Hapusaku terakhir kondangan Februari lalu dan asli yaa mba dengan setting baru jadi kami pun tetap merasa aman
BalasHapusmalah jd pada kreatif ya mbak..
Hapusada kondangan drive thru segala :)
Di tempatku sudah umum kondangan nasinya dikotakin dibawa pulang.. Apalagi sekarang masa pandemi..hampir semua gak ada makan di tempat..
BalasHapusDi madura memang begitu kah mbak?
HapusSoal makanan jadi ga kaget lagi karena pandemi ya...
Sebulan terakhir ini udah 2x ke undangan yang intimate, iya beneran kalo mau mengadakan pernikahan nunggu pandemi beres mo sampe kapan yaaa, yang jelas tetep mematuhi prokes agar aman dan nyaman bagi diri dan sesamaa.
BalasHapusbagi pengantin, mungkin salah satu kesannya adalah : merid zaman pandemi ya mbak..
HapusSebenarnya banyak banget undangan yang datang di tengah pandemi gini, Mbak. Tapi yang aku datangi cuma satu, nikahan sepupu. Selain itu aku cuma nitip amplop doang. Maklum, masih stright banget aku masalah social distancing. Khusus nikahan sepupu aja aku langgar, soalnya mewakili saudara di kotaku yang emang gak bisa datang langsung. 🤭
BalasHapusUntuk makanan kondangan dibawa pulang itu kayaknya kurang lazim memang kalau di Jawa ya, Mbak. Tapi sebenarnya konsepnya bagus juga untuk mengurangi sampah makanan. Dari gak habis dan dibuang, lebih baik dibawa pulang untuk dimakan sendiri atau untuk kasih makan hewan peliharaan.😄
Iya mbak. Sebenernya kalau di kampungku, zaman dulu kalau diajak mbah2 kondangan ya pada bawa pulang makanan. Tapi lazimnya kue2nya, bukan nasi-lauknya. Nggak jauh beda sih sebenernya hahaha. Tapi itu lah ya... atas nama kesombongan, sempat mikir : ish gitu amat bawa nasi pulang.
HapusSetelah tahu sedikit ttg food waste malah jadi memandang positif hihihihi
Selama pandemi ini bunda beberapa x terima undangan pernikahan tapi tetpaksa hanya menitipkan amplop saja pd perwakilan ibu2. Foto2 reunian sesama pensiunan Unicef sMpai saat i i tdk bisa kami lakukan. Kami hanya berhahahihi di grup saja.
BalasHapusterlebih untuk anggota senior ya Bunda, lebih prioritas untuk di rumah saja :)
HapusSaya selalu suka ke kondangan karena terkadang suka menemukan yang unik. Tetapi, di saat pandemi ini belum sekalipun datang ke kondangan. Dan kalau saya lihat secara virtual, ada keunikan juga ya menggelar kondangan saat pandemi
BalasHapuskarena rata-rata pengantin pengen hal yang berkesan, jadi bikin yang unik2 ya mbak. Dan pandemi ini sudah jadi kesan tersendiri bagi pengantin :)
Hapusselama pandemi aku sudah datang ke dua acara kondangan
BalasHapusdan memang ada aturan yg ketat, tetap harus 3M
jadi meski dandan cantik ya tetap harus pakai masker, hehe
sama mba dian. Saya juga dua kali selama pandemi ini. :)
HapusUdah lamaaaa daku ga datang kondangan, Mak :D
BalasHapusYg jelas, di kompleksku kalo ada yg merit, biasanya anter nasi kotakan.
Kalo kita mau kasih amplop, ya kunjung personal ke rumahnya.
jadi engga rame2
aku terakhir datang kondangan karena diajak bapak-ibu angkat, bukan krna dapat undangan hehehe
HapusKondangan untuk minggu ini saya nggak bisa hadir. Padahal pengen, tapi berhubung juga ada acara keluarga ya nggak bisa hadir deh. Aku pribadi ngarepin bisa hadir di kondangan dengan adat tradisi dari daerah lain. Kalo selama ini biasanya masih adat setempat (banjar-kalsel) dan adat jawa.
BalasHapussaya suka melihat tata cara pengantin adat, tp diri sendiri males ribet pas nikahan, jd minimalis banget adatnya :)
HapusBegini serunya, kalau di daerah orang tapi tetap satu daerah kalau ngumpul dan ketemu udah berasa pulang kampung ya Kak, karena suasana, bahasa dan obrolannya dapat jadi berasa di kampung sendiri hehe. Btw semoga samawa ya buat pengantennya
BalasHapusAmin Mbak Febri. meski kita sama2 gak kenal pengantinna, tetap doa yg baik buat mereka berdua
HapusIya tiap daerah punya adat sendiri ya termasuk pernikahan, aku juga jarang kondangan hihihi jadi kangen pengen kondangan dan ketemu orang untuk mengobrol..
BalasHapustoss mbak..dalam setahun, saya bisa dihitung berapa kali kondangan hehehe
HapusWah aku baru tahu loh mba piring terbang adatnya begitu sama larsubar hehee beragam budaya yah jadinya tapi kalau kayak piring terbang gitu ga habis emang aayang makanya bawa wadah biar bisa dibawa plg haha
BalasHapusaturan bawa tupperware ya mbak Herva hehehe
Hapuseh larsubar tu apa ya?
Dulu, ada masanya ketika aku sering banget diundang kondangan. Tapi belakangan jarang deh, apa karena kenalanku banyak yg udah nikah? Hahaha. Entahlah.
BalasHapusmungkin nanti pas anak2 pada nikah baru banyak undangan lagi mbak wid :)
HapusIya jadi kayak ngurangin kemubadziran yang gak penting ya mbak. Pernah ikut yang acaranya cuma jam makan siang waktu di Kalimantan, byuh.. nggak tenang ke pesta rasanya haha
BalasHapusSaya dulu memandangnya sebagai hal yang lucu, sekarang sih malah melihatnya sebagai hal positif. Asal membawa pulang yang memang jadi bagian kita (bukan sengaja mengambil yang bukan hak) rasanya malah mengurangi food waste :)
HapusSetuju dengan pandangan sumbangan ini pedang bermata dua. Tapi selama ini kami ngasih 'buwuh' sepantas dan semampunya, aja. Itupun dibudget bulanan. Jangan sampai melebihi anggaran pengeluaran rumah tangga hehehe.
BalasHapusjadi inget sekali2nya dateng ke kondangan pas pandemi, itu pas nikahan sepupu suami. pengantin dan tamu ga ada yang pake masker. cuma saya dan suami yang pake masker hik hik
BalasHapusOh jadi pirig terbang ini kita gak ngambil sendiri makanannya ya mbak tapi sudah diambilkan nasi dan lauk pauknya.
BalasHapusAku pernah juga nih kondangan di daerah Jawa bukan prasmanana tapi sudah diambilkan begini, awalnya kaget tapi ternyata memang ada seperti ini
Zaman dulu pesta di Jawa tuh diambilin gtu, aku terus terang malah lbh suka diambilin, krn seringnya pas prasmanan sedih liat banyak makanan terbuang huhu
HapusKondangan di Jawa juga kaget aku karena ada piring terbang
BalasHapusKalau di Makassar/Bugis kebanyakan prasmanan
Dan biasanya sih kalau ga di gedung, lesehan di rumah manten
Iya kalau di Jawa, tetangga yang Kristen saat undang2 mantu dll jg memastikan sajiannya halal krn tetangganya mayoritas muslim ya hehe
BalasHapusWah bulan2 ini lg banyak menerima undangan mbak?
Aku di Jkt sini jarang nerima krn temenku di Sby kebanyakan, seringnya menerima dr jalur suami, temen2 kantornya hehe
Kalau tetangga msh jarang krn dulu kami awalnya tinggal di kontrakan, skrng sih di perum baru yg lbh banyak anak kecil, jd (svlm pandemi) lbh serig nerima undangan ultah anak wkwkk
Hehhe, aku sering dengar istilah piring terbang dari Ibu mertuaku.
BalasHapusBeliau memang ceplas-ceplos, jadi kami nyaman kalau ngobrol. Dan membaca tulisan kak Lis jadi ingat bahwa ini bagian dari rasa terimakasih yang punya gawe terhadap tamu.
Hihi...sepertinya orang Indonesia ini memang sangat peduli dengan perasaan orang lain sampai segitunya yaa..
Senang banget ya ya Kalau bertemu keluarga di kondangan. Kalau aku dulu ada tetangga non muslim kami saling menghargai aja.
BalasHapusKondangan itu selain ajang silahturahmi juga tempat reunian ya Mak... makin menyenangkan kalau bisa bertemu potongan2 memori masa lalu...
BalasHapus