Berhubung ini post pertama di hari-hari Lebaran, jadi lebih dulu blog DW mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H bagi teman-teman yang merayakan. Terlambat beberapa hari dari Hari H sih. Soalnya libur lebaran jadi ikut libur post blog 😀😀
Apakah teman-teman mudik di hari raya ini?
Aku nggak intens mengikuti berita seputar per-mudik-an. Baca selintas-selintas dan beberapa waktu lalu ketemu istilah “mudik aglomerasi”. Duuuh, apa’an lagi nih? Apakah aglomerasi temannya aglonema? Atau aglomerasi itu tetangganya konglomerasi. Beuuuh, ribet amat perkembangbiakan istilah-istilah ini yah...Bukan cuma istilahnya yang ribet, sepertinya pelaksanaan mudik pun ruwet.
Pandemi Covid vs kerinduan pulang berbuah dilema😓
Barangkali ada pembaca DW yang juga belum tahu arti aglomerasi? Buat antisipasi, aku pampangkan tangkap layar kamus online sebagai foto ilustrasi. Bisa diartikan sebagai mudik lokal gitu nggak ya? Lokal yang kurang lebih seluas wilayah karesidenan? Deuuuuh...pandemi ini memang bikin ribet banyak hal.
Tapi gimana lagi? Kita sama-sama tahu kalau pandemi Covid-19 mengubah tatanan dunia. Hal-hal yang dulu biasa kita lakukan, kini masih tinggal cerita. Sebaliknya, hal-hal yang dulu langka, kini justru jadi keseharian. Seperti urusan mudik ini. Sebelum pandemi, hari-hari akhir puasa selalu berwarna euforia menyambut hari raya. Perjalanan darat, laut, maupun udara penuh dengan orang-orang yang berarak pulang.
Sementara tahun ini dan tahun lalu? Situasi yang kita sama-sama tahu.
Sedih sih baca berita tentang orang-orang yang sudah telanjur jalan tapi dipaksa putar balik. Namun, untuk memilih respon pun aku terjebak dilema. Satu sisi, aku turut empati dengan kegagalan mudik mereka. Sisi lain aku mikir, kan sudah tahu kebijakan ini, kok ya nekat.
Atau mungkin pakai jurus coba-coba? Berhasil lolos syukur, nggak lolos ya syukur. Entah juga ya...karena alasan tiap orang buat nekat mudik mungkin juga beda-beda.
Barangkali ada yang sudah sedemikian rindu untuk berlebaran di kampung. Paham sih perasaan seperti ini. Dengan alasan Covid-9, tahun 2020 kami tidak pulang kampung untuk Natal seperti biasanya. Kami memutuskan menunda pulang dengan harapan bisa pulkam saat Lebaran. Itu akan menjadi pulang pertama sejak tinggal di Sulawesi Selatan. Toh, meski tidak ikut merayakan Idul Fitri dari sisi religi, tapi kami biasa ikut Lebaran dari sisi tradisi.
Baca : Natal 1945 –Natal 2020
Mudik Duluan
Namun, rencana mudik itu buyar setelah kami mendengar rencana pelarangan perjalanan mudik pada 6-17 Mei 2021. Hmmhh... apa iya mesti menunggu sampai Natal 2021? Masih lamaaa huhuhu. Jadilah BJ dan aku memutuskan untuk mudik awal, yakni menjelang puasa. Itu benar-benar respon cepat dari pengumuman rencana pelarangan mudik.
Semula kami sudah mikir alternatif buat coba mudik Lebaran naik kapal. Selama ini, aku belum pernah naik kapal dalam durasi panjang. Beberapa kali naik kapal feri hanya untuk jarak satu jam-an. Nah, kalau bisa kesampaian pulkam naik kapal, bakal jadi pengalaman baru tuh.
Lumayan sering lewat pelabuhan Makassar bikin kami jadi ng-ide pulang naik kapal. Dulu waktu tinggal di Medan, rasanya impossible untuk pulkam ke Jawa lewat jalur darat atau laut. Biasanya BJ libur cuma dua mingguan, kalau lewat darat atau laut, habislah waktu buat jalan.
Beda cerita dengan perjalanan non-udara Makassar – Jawa. Dari browsing kami dapat info durasi tempuh serta fasilitas kapal yang oke juga untuk dijajal. Oh ya, naik kapal sekalian bawa mobil, jadi turun kapal lanjut perjalanan Surabaya – Klaten - Temanggung via tol Trans Jawa.
Hhhmmh... kayaknya seru yaaaa... Mudah-mudahan kesampaian. Tolong aminkan ^-^
Tapi..... pandemi masih belum usai, kawan. Jadi simpan dulu semua itu dalam kotak impian.
Mudik kemarin masih lewat udara seperti pulkam biasanya. Ini penerbangan keduaku di masa pandemi. Saat terbang pertama, yakni saat pindah dari Medan ke Makassar, aku hanya bertiga bareng anak-anak. Saat itu, syarat terbang cukup hanya pakai test rapid yang kami lakukan di RS Siloam Medan.
Baca : Pindah keSulawesi Selatan
Terbang kedua ini kami lengkap berempat. Syarat terbang sudah berubah, yakni minimal test swab antigen yang kami lakukan di pinggir jalan (iya seriuss). Hhhhm, akhirnya jadi dicolok-colok juga deh lubang hidung inih. Sungguh tidak nyaman rasanya. Apalagi ketika belakangan baca kasus re-use alat swab antigen di Bandara Kuala Namu Medan. Duuuuuh... Beneran pengin pandemi segera usai supaya nggak perlu lagi test-test semacem ini untuk keperluan terbang dan lain-lain.
Bandara Internasional Hasanuddin 9 April 2021
Tanggal 9 April kami pulang via Bandara Hasanuddin. Entah memang lagi ramai atau karena banyak juga orang dengan niatan sama (mempercepat mudik). Saat itu, bandara terlihat ramai sekali. Antrean check-in pun lumayan panjang.
Kontras dengan suasana saat turun di Bandara Internasional Kulon Progo (ah ya...untuk pertama kali kami mendarat di bandara baru ini). Entah karena sebagian pesawat penumpang masih mendarat di Adi Sucipto (cmiiw) atau karena sebab lainnya, saat kami mendarat bandara terasa lengang.Mungkin karena saking luasnya bandara yaaa??? Bisa jadi hihihihi.... Jujur, aku takjub deh dengan kemegahan mega proyek New Yogyakarta International Airport.
NYIA 9 April 2021
Setahun lebih beberapa bulan tidak pulang, membuat perjalanan terasa lebih bersemangat. Dulu, saat mendarat di Adi Sucipto kami biasa ke Klaten (kampung BJ) lebih dulu, seminggu kemudian sambung ke Temanggung (kampungku). Pulang kali ini, untuk pertama kalinya kami dijemput langsung ke Temanggung, baru beberapa hari kemudian kami berempat pergi ke Klaten.
Perjalanan ke Klaten tidak lewat Jogja seperti biasanya. Tetapi kami menjajal jalur trans-Jawa meski cuma seruas Bawen – Boyolali saat berangkat dan ruas Kartasura – Bawen saat kembali. Segitu niatnya menjajal jalan itu, berasa orang luar Jawa main di Jawa hahaha. Padahal, meski pindah kesana-sana, KTP kami tetap Jawa Tengah loh ^-^
Baca : Pindah keMedan
Rasa Berbeda
Bersyukur kami bisa pulang. Meski memang, pulang saat pandemi itu terasa bedaaaa... Entah di mereka (orang-orang yang kami temui), tapi aku sih jelas merasakan itu.
Ada khawatir yang menyelinap, kalau-kalau kami datang membawa Covid. Walaupun dikata sudah swab antigen, mana tahu kena di perjalanan. Apalagi, baca berita, ada saja kan kasus penumpang yang memalsukan surat test swab atau menyelinap supaya bisa terbang :D. Mana kami naik pesawat singa merah yang rasanya sih nggak ada pengaturan jarak antar penumpang. (Belakangan tanya temen yang naik pesawat burung biru dan katanya ada pengaturan jarak, bakan tiap penumpang dikasih masker dan hand sanitizer. Yeyeyeye ada harga ada rupa dong yess :D)
Alhasil, setiap pertama bertemu orang, pasti ada momen bingung. Mau salaman antar telapak atau hanya hanya bersilang tangan? Mau erat pelukan atau tetap jaga jarak? Sementara aku tinggal di kampung, yang dari pojok ke pojok kampung pun orang saling kenal. Duuuh, virus super kuecil itu bisa bikin serba salah.
Jadinya, kami juga tidak banyak main kemana-mana. Dulu kalau pulkam, setidaknya ada jalan ke tempat wisata manaaaa gitu. Tapi pulang kemarin, kami nggak kemana-mana, palingan ke rumah saudara yang dekat-dekat saja. Toh tujuan pulang kan memang untuk ketemu sama keluarga. Cuma ngumpul aja udah seneng :)
Kembali Cepat
Banyak saudara yang mengira kami (setidaknya aku dan anak-anak) akan lama di sana. Melewatkan Lebaran di kampung gitu.... Kalau BJ sih jelas, waktu cuti plus liburnya hanya dua minggu. Jadi, dia kembali duluan ke Makassar.
Aku pribadi nggak menentukan akan berapa lama di kampung. Lebih menyerahkan ke anak-anak, kapan akan menyusul si ayah. Ternyata kami hanya extend seminggu sejak dari ayahnya kembali.
Sebab, si bocil pertama mau segera kembali ke Makassar. Anak-anak senang sih liburan di kampung. Di kampung kan udaranya segerrrr, bisa tidur tanpa AC hehehe. Tapi, aku tahu, mereka (terutama si Ale) nggak bisa lama-lama jauh dari ayahnya. Oh ya, ada lagi alasan lainnya, yakni di tempat simbah wifi suka nge-lag kalau buat mabar :D.
Duuuuuh, bocil-bocil gamer ini yaaah....
Sebelum lebaran, yakni 22 April, aku beli tiket untuk kembali ke Makassar dan berencana test antigen di hari selanjutnya. Tepat sesaat setelah membayar tiket, barulah aku membaca berita tentang pengetatan waktu mudik yang dimulai 22 April itu juga. Jaaaaah, pas aku berangkat sudah masuk waktu pengetatan dong.
Mana berita juga nggak detail (atau waktu itu belum nemu berita detail). Gimana sih implementasi pengetatan itu? Sempat agak-agak bingung dong, bisa kembali terbang ke Makassar nggak nih? Buru-buru cari info tentang perjalanan udara ke laman IG bandara NYIA. Juga harap-harap cemas kalau-kalau ada info reschedule penerbangan.
Tapi ternyata tidak ada.
Keluarga besar yang kecil, itu pun kurang satu anggota :)
Tanggal 24 April, aku – Ale – Elo terbang dari NYIA dan mendarat di Bandara Hasanuddin dengan selamat. Puji Tuhan. Beberapa hari di Makassar, ada pesan WA dari kakakku. Kurang lebih katanya, “Untungnya sudah mudik kemarin-kemarin yaa. Yang mudik sekarang harus swab antigen di puskemas untuk (syarat) izin tinggal dari kecamatan.”
Aturan yang bagus sih....Tapi ya, sogok-sogok idung lagi :D.
Demikianlah cerita mudik tahun ini. Aselik, ini tuh kurang niat posting deh :D. Namun, aku memaksa diri untuk menulis ini buat kenang-kenangan. Kalau-kalau masih diberi umur panjang, juga kalau-kalau blogspot masih eksis😀, suatu hari nanti, saat pandemi sudah usai (amiiiin), aku bisa kembali membaca-baca cerita mudik yang ruwet ini.
______________________________________
Last post : Rupa-rupa Penipuan Belanja Online
iya banget loh mak, sekarang nih kalo mudik atau keluar wilayah jabodetabek kudu pakai surat keterangan dinas dan surat swab antigen
BalasHapusSelamat Idul Fitri yaa selamat mudik dan menikmati suasana kampung halaman...meski gak mudik..sama juga nih pengennya pandemi cepet kelar lah..biar gak perlu tes ini itu kalau mau bepergian...
BalasHapusAlhamdulillah yaa cerita mudik yang nano nano pake dicolok2 segala.
BalasHapusPastinya kenangan yang ga kan bisa dilupakan.
Di Bandung pun sama, ga bisa kmana mana, jadinya jag kandang aja, untungnya orang tua masih di Bandung, tapi ga bisa mudik ke Solo dan Sukabumi.
Maaf lahir dan batin yaa.
Aku tidak merayakan Lebaran tapi biasanya ikutan mudik kalo libur Lebaran karena sekolah anak-anak juga libur, jadi ada kesempatan anak-anak pergi ke rumah neneknya. Tapi Lebaran tahun ini dan tahun 2020 kemarin gak bisa mudik karena si covid ini. Berharap semoga pandemi ini cepat selesai biar bisa beraktifitas normal tanpa was-was lagi seperti dulu.
BalasHapusAku bacanya pelan-pelan, takut ketinggalan keseruan mudik bukan biasa ini.
BalasHapusBtw, lebaran kali ini, kami alpa ke Samarinda, karena ada kebijakan kudu tes swab.
Alamak, berat di ongkos deh.
Rp 175.000 x 3 orang.
Hitung sendiri ne :)
Senangnya bisa berkumpul dengan Keluarga besar ya Mbaa, masa-masa mudik itu memang selalu dinanti dan memberikan kesan tersendiri di setiap perjalanannya. Aku pun masih menanti masa-masa itu, semoga gak lama lagi bisa mudik, setelah 2 tahun enggak. Semangaaaat :*
BalasHapusbener, agak bingung pengetatannya. Adik aku juga mudik ke kampung halaman suaminya mba. Dan bisa balik pas hari minggu kmarin.
BalasHapusWah dirimu sebelum pengetatan ya, iyayaa dicolok2 itu >.< tapi semua sehat alhamdulillah. Senang baca ceritanya melepas kangen2an yaaa
Iyaah...bisa disiasati dengan mudik lebih dulu atau mudik terakhir-terakhir sih yaa..
BalasHapusTaoi resikonya memang kudu mengambil jatah cuti kantor dalam setahun.
Aku belum mudik euuii...hehhe...masih bertahan karena kemarin Ibuku yang ke Bandung.
Hehehe...tinggal belum pernah ketemu Mama Papa mertua.
Mohon maaf lahir batin yaa, kak.
Sehat dan bahagia selalu.
Senang ya mba udah bisa mudik duluan. Aku tuh tim ga pernah mudik, makanya ngebayangin segimana kangennya yang udah dari 2020 tak pernah bertemu keluarga di rantau. Berat pastinya yaaa.. Semoga mudik kemarin menambah semangat dan kegembiraan ya mba.
BalasHapusMohon maaf lahir dan batin ya mbak... Semoga mbak sekeluarga dalam keadaan sehat juga ya. Aku tidak mudik kemarin, kebetulan emang keluarga besar banyak di Jakarta begitu juga dengan mamahku. Tapi tahun ini masih di rumah saja, hanya ke rumah mama di hari pertama lebaran.
BalasHapusmohon maaf lahir batin ya mbak
BalasHapuspandemi emang bikin banyak perubahan ya mbak
mudiknya jadi makin menantang gitu ya, harus atur strategi
klo aku tahun ini tidak mudik mbk
silaturahminya virtual saja
Aku juga gak tau mesti gimana sama yang nekat mudik mbak. Di satu sisi gemes dah tahu dilarang tapi bandel. Tp bisa kebayang betapa rindunya mereka sama keluarga sampai direwangin gontok2an sama pulici sampai viral apalah apalah. Ah, sudahlah wes doa aja supaya selamat negeri ini.
BalasHapusTetep ya wifi masuk perhitungan hihihi. Mohon maaf lahir batin ya Mbaak. Senangnya bisa pulkam.
BalasHapusKapan2 perlu cobain naik kapal laut, seruu ... dulu2 saya beberapa kali tuh naik kapal laut. Pengennya berulang tapi hanimun saja, entah kapan baru bisa wkwkwk.
Alhamdulillah ya, Mba gak perlu sodok-sodok idung. hehe
BalasHapusAku gak mudik karena takut suruh putar balik. Tetapi malah dapat cerita dari teman yang mudik, gak ketat banget di tol. Yah, mungkin memang bukan rezekinya thun ini gak bisa mudik.
Wah, asiknya yg udah mudik duluan. Sehat selalu ya. Temen aku kemarin pengen mudik disuruh puter balik. Kasian jg padahal baru dikasih cuti n sdh 2 tahun gak pulang
BalasHapusAlhamdulillah sempat mudik ya, Mbak. Pasti senang banget bisa kumpul orangtua setelah setahun nggak ketemu. Semoga tahun depan pandemi sudah selesai dan semua bisa mudik dengan tenang, aman dan nyaman.
BalasHapusmohon maaf lahir batin ya mak
BalasHapuswaaaa sempet mudik mak
hati-hati ya semoga semua sekelaurga sehat walafiat lagi musim begini
Mudik si tengah pandemi emang oersyaratannya banyak ya maaak.. tapi gapapa buat kepentingan kita bersama yaaa.. alhamdulillah bisa mudik ya mak, jadi bisa kumpul bareng keluarga besar.. mohon maaf lahir batin juga maaaak.. hehe
BalasHapusBersyukur masih sempat mudik ya Mbak.Tgl 6 Juli aku juga anter anakku ke Jawa, trus tak tinggal di sana. Sampai hari ini. Mungkin bulan depan baru balik Jakarta. Ah,nano-nano memang. Antara pengin dan tahu risikonya.
BalasHapusmbak ... niatnya aku mau mudik cepat seperti dirimu sebelum ada aturan pengetatan itu tapi malah sakit sekeluarga. Haha ... jadilah lebaran di Jakarta.
BalasHapusSelama ini aku belum naik pesawat lagi saat pandemi. Itu gimana ceritanya antigen di pinggir jalan? ga ditutup dong?
Selamat mbak sudah mudik. Aku belum nih, entah kapan. Karena suami juga kerja kalau harus mudik di tanggal 6. Dan ada bayi dan lansia. Mgkn mundur mudiknya.ke jogja juga nih, bakal turun di bandara baru. Belum pernah lihat langsung soalnya
BalasHapusSy mudik mba tapi sebelum ramadan , begiru ada pengumuman lebaran ga boleh mudik, langsung merencanakan pulkam , karena udah lama juga ga ketemu ortu , efek pandemi
BalasHapusMudik terindah - terkesan - terunik - ter.. apalagi ya mbak, judulnya? Yang jelas pengalaman hidup kita bertambah yaa
BalasHapus