Ilustrasi. Penyebutan benih mangga sebenarnya kurang lazim. Benih lebih banyak digunakan
untuk tanaman berukuran kecil (misal padi, jagung, dan sayuran)
Mumpung sebelumnya menulis tentang tanaman, jadi sekalian nyambung posting dengan topik yang sama. Tulisan ini akan benar-benar membahas tentang perbedaan biji, benih, dan bibit.
Aku ingin menulis ini karena ternyata, tiga hal ini sering salah penggunaan dalam perbincangan sehari-hari. Namun, sebelum ke inti pembahasan, tulisanku akan muter-muter lebih dulu. Jadi, buat yang mau to the point, skip puterannya, langsung ke sub judul di bawah (yang pakai huruf kapital).
Putaran cerita aku awali dari suatu hari, ketika seorang suami yang bekerja di perusahaan benih melempar pertanyaan ke istrinya. Katanya, kamu tahu tidak beda benih sama bibit? Bibir si istri langsung monyong. Pertanyaan menghina nih. Masa, lulusan sekolah pertanian ditanya beda benih sama bibit.
Oh ya, si suami adalah BJ, dan si istri adalah LSD.
LOL.😂😂😂😂😂😂😁😁😁😁😀😀
Soal “lulusan pertanian” memang sering jadi candaan dan bahan bully di antara BJ dan aku. Lha gimana nggak dibully kalau sebagai lulusan pertanian, aku banyak tidak tahu tentang hal-hal mendasar. Misalnya saja, aku tidak tahu membedakan jenis-jenis pupuk kimia. Jadi, sebenarnya, pertanyaan “tahu nggak beda benih sama bibit” itu relevan sih. Jangan-jangan memang tidak tahu hahaha.
Cumaaaa, karena kebetulan aku tahu, jadi deh merasa terhina wkwkwkwkw.
Nggak apalah, ini bully tanda cinta....Perasaan terhinanya juga pura-pura...Eaaaaaa.
Flash back sedikit, aku adalah lulusan SMK Pertanian jurusan Teknologi Hasil Pertanian (dulu sih nggak disebut SMK tapi STM😀). Aku pernah cerita di sini. Lulus kuliah, alih-alih cepat cari kerja, aku ngebet banget untuk langsung kuliah. Orangtuaku sempat merasa berat, apalagi kalau bukan soal biaya. Namun, akhirnya mereka mengizinkan dengan satu syarat, yakni kuliahnya di perguruan tinggi negeri. Singkat cerita, aku lolos PTN di pilihan ketiga, yakni jurusan penyuluhan dan komunikasi pertanian (PKP).
Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan agraris, menjadi penyuluh pertanian itu semacam arah yang tepat. Waktu itu, aku happy banget. Serius. Sebab, pilihan ketiga bukan berarti sekadar cari jurusan yang potensial aman untuk lolos. Lha wong, dengan background SMK, aku merasa tidak ada satu pun jurusan yang aman. Bisa lolos PTN saja sudah bahagia bangeeeet. Aku menjadi maba dengan semangat 45.
Di masa aku kuliah, kami para mahasiswa PKP sangat sedikit mendapatkan ilmu on-farm. Secara singkat, on-farm bisa didefinisikan sebagai “semua kegiatan di lahan pertanian”, yakni semua proses yang berhubungan dengan upaya produksi, seperti pengolahan lahan, pemilihan bibit, perawatan tanaman, pengendalian hama penyakit, teknik panen dan sejenisnya.
Materi-materi on-farm ini kami dapatkan di semester awal (kalau tidak salah semester dua, tiga, dan empat). Jelas saja, pengetahuan on-fam yang kami dapatkan di ruang kuliah sangat-lah tipis. Nama mata kuliahnya saja diawali dengan kata dasar (misal Dasar Agronomi, Dasar Ilmu Tanah). Frekuensi praktikum di lahan juga bisa dihitung dengan jari.
Kami mahasiswa PKP justru lebih banyak mendapatkan materi off-farm. Berkebalikan dengan on-farm, off-farm kurang lebih bisa diartikan sebagai kegiatan pertanian di luar lahan, seperti pengolahan, distribusi, dan komersialisasi hasil-hasil pertanian.
Dalam perkara kami sebagai mahasiswa PKP, kami lebih banyak belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan komunikasi dan penyuluhan pertanian. Kami antara lain belajar tentang sosiologi pedesaan, metode komunikasi, dan sebangsanya.
Jadi, kalau hanya mengandalkan materi kuliah, kami akan sangat amat tidak tahu tentang “ilmu pertanian” on-farm. Padahal, kalau di benak umumnya orang, lulusan fakultas pertanian mestinya tahu dong seluk-beluk budidaya tanaman. Faktanya, tidak demikian.
Itu situasi jurusan PKP di masa aku dulu.
Entah kalau di saat sekarang. Dunia pendidikan kan berkembang. Kadang aku masih ngobrol sama teman seangkatan yang sekarang jadi dosen di almamaterku (hallo,..Pak Dosen Widi😀). Tapi kami nggak pernah ngobrolin gimana perkembangan dunia perkuliahan.
Ya lah, sekarang aku merasa nggak lagi related dengan dunia itu. Aku juga belum merasa butuh hehehe. Entah nanti kalau anak-anakku sudah mau lulus SMA. Mungkin aku juga kembali mencari info-info seputar perkuliahan. Nah sekarang, mereka masih kecik.
Lulus kuliah, sebagian teman-temanku memang menjadi penyuluh pertanian, baik sebagai ASN maupun swasta. Aku pernah sekilas mengobrol dengan sebagian dari mereka. Jelas saja, mereka mesti belajar kembali sampai akhirnya bisa menyuluh ke petani.
Memang ini bukan hanya untuk lulusan PKP sih. BJ, yang notabene lulusan jurusan on-farm, yakni ilmu tanah, juga mesti belajar kembali saat mulai bekerja dan selama bekerja. BJ ini, apapun nama posisinya di perusahaan, profesi dasarnya adalah “penyuluh swasta.”
Aku tidak punya opini banyak tentang pendidikan. Namun, dari pengalaman plus pengamatan sekilas (yang bisa saja salah), banyak lulusan perguruan tinggi kita yang memang tidak langsung siap kerja, melainkan siap latih. Masa pelatihan dan probation (magang) dalam dunia kerja bukan hal yang aneh.
Tentang aku, arah hidup berkata lain. Di masa kuliah aku justru menemukan minat yang berbeda, yakni menulis. Aku cukup sering menulis fiksi yang aku kirimkan ke koran-koran (lumayan banget honornya buat uang saku). Untuk organisasi kampus, aku ikut lembaga pers mahasiswa. Lulus kuliah, pengalaman organisasi ini yang justru lebih mengarahkan jalur kerjaku dibandingkan jurusan kuliah. Makin jauh-lah aku dengan pengetahuan dan pengalaman pertanian.
Long story short, aku memilih peran domestik dalam rumah tangga. Salah satu topik yang kadang muncul di perbincangan dunia ibuk-ibuk adalah latar belakang pendidikan. Nah, terungkap dong itu si lulusan pertanian yang nggak ngerti apa-apa soal pertanian ini :D. Seringnya sih memang jadi buat lucu-lucuan, sama sekali nggak bikin kerisauan.
Toh, aku yakin banget, aku nggak sendirian soal ini. Aku memang nggak punya data statistik tentang ini (yang entah ada atau tidak). Namun, aku sering aja dengar cerita orang, yang dulu kuliah apa, terus sekarang jadi apa (atau malah tidak jadi apa-apa😂 –dalam urusan karir formal).
Sampai suatu hari lalu, aku baca status facebook temen blogger Ardiba Sefrienda tentang labelling. Ardiba sih lebih menyoroti tentang labelling (negatif) orang lain ke diri kita yang semestinya sih nggak usah dipikir nemen (dalem). Namun, status itu justru membuatku ber-refleksi tentang diriku yang sering kali kasih labelling negatif sama diriku sendiri.
Salah satunya tentang “lulusan pertanian” ituuuu. Ya meski buat lucu-lucuan, tapi entah kenapa kok jadi terasa jahad! Pada saat itu aku berpikir, wah aku tuh dulu beberapa kali dapat beasiswa lho. Biaya semesteranku juga masih murah meriah. Meski demikian, orangtuaku mesti kerja keras untuk uang saku bulanan. Lha mosok, hasilnya “cuma” buat lucu-lucuan.
Okee...pikiran di atas memang dilihat dari perspektif labelling itu ya. Kalau dipikir secara luas, ya nggak gitu juga kali. Kan bisa ngelamar kerja saat itu juga pakai ijazah S-1. Dibandingkan strata yang lebih tinggi, S1 memang seperti bukan apa-apa. Namun.... banyak lho orang yang hanya bisa bermimpi untuk sampai level ini!
***
Belakangan, di blog ini aku post beberapa tulisan tentang tentang aktifitas bertanam rumahan. Sejujurnya, aku menulis itu dengan perasaan kurang percaya diri. Bagaimanapun, tetap ada perasan tidak kredibel sebagai “lulusan pertanian”. Nah ini lhoo....self-negative labelling.
Suatu kali aku membagikannya di grup alumni jurusan PKP lintas angkatan. Di situ aku membagikan tautan tulisanku dengan prakata “buat pantes-pantes sebagai lulusan PKP”. Kemudian ada satu respon dari adik tingkatku yang kurang lebih begini : “ini kan menyuluh juga, Mbak, menyuluh lewat tulisan.” (Hai Indra, kalau kamu baca ini...thanks komen-nya yaaa).
Entah kenapa, aku terhura dengan respon itu. Ditambah lagi komentar-komentar positif di artikel bertanam-ku. Semacam, “aku baru tahu lho tentang ini.” Entah mereka akan melakukan hal serupa atau tidak, setidaknya aku merasa membagikan sesuatu yang tadinya tidak mereka tahu dan jadi tahu. Dan seperti kataadik tingkatku, sebenarnya menulis dan menyebarkan itu juga bagian dari penyuluhan (enlightment).
Setelah serangkaian hal itu, aku merasa lebih positif dalam hal sebagai “lulusan pertanian.” Positif dalam artian, tidak akan menjadikannya sekadar lucu-lucuan. Bagaimanapun, aku bahkan juga orangtuaku sudah berjuang untuk mencapai fase itu.
Lalu, kalau sekarang aku banyak tidak tahu, ya wajar saja. Wajar yang bukan untuk dijadikan alasan “tidak kredibel” dan sebangsanya. Namun, wajar karena memang ada proses-proses yang melatarbelakangi kondisi ini. Entah nanti aku akan lebih banyak post tentang topik-topik bertanam atau tidak, yang pasti aku merasa ada hal positif dari proses ini. Ini tentang meredefinisi atau mengubah cara pandang terhadap diri.
And so, sudah sampai penghujung putaran. Sekarang waktunya ke topik utama, yaitu :
BEDA BIJI, BENIH, dan BIBIT.
(Coba tadi nggak muter dulu, tulisan ini bakalan bakalan pendek banget wkwkwkw).
Biji adalah salah satu bagian tanaman yang berfungsi untuk penyebaran/perbanyakan tanaman. Dalam bahasa biologi, kita mengenal biji sebagai alat perkembangbiakan tanaman secara generatif.
Saat mendapat lingkungan yang tepat, semua biji sehat akan bisa tumbuh menjadi tanaman baru. Namun, tidak semua biji akan dijadikan benih. Istilah benih (atau winih – bahasa Jawa) umumnya mengacu pada biji yang telah diseleksi/diperlakukan khusus supaya dengan harapan tumbuh sebagai tanaman yang bagus.
Sedangkan bibit adalah bahan tanam (tanaman berukuran kecil) yang siap dibudidayakan lebih lanjut. Bibit bisa berasal dari proses generatif (benih yang disemai) maupun dari proses vegetatif, semisal cangkok dan stek.
Well, ini memang penjelasan yang sangat singkat tentang perbedaan tiga hal tersebut. Meski hanya merupakan satu tahapan dalam budidaya pertanian, benih merupakan satu ilmu tersendiri. Maka itu, beberapa fakultas pertanian memiliki jurusan teknologi benih/industri benih. Aku? Jujur saya tidak tahu banyak tentang itu. (LSD)
---------------------------------------------------
Sumber foto :
*biji mangga : www.magpiebooks.com
*benih mangga : indonesia.alibaba.com
*bibit mangga : kartani.com
Previous post : Microgreen, Bertanam Sayuran Tanpa Lahan
saat baca review kamu yang ini mba, rada muter juga mikirnya jadi akan membahas apa aja ya.. well apapun yang akan kamu bahas di blog ini insyaaallah bermanfaat mba.. semangat terus Z:)
BalasHapushehehe yoi mak. ini memang tulisan super gado2..banyak macem isiannya ^_^
HapusWah baru kali ini nih aku relate dengan tulisan tentang Pertanian!
BalasHapusSerius, aku juga lulusan pertanian dan ... aku malah lebih suka menulis dan menggambar.
Untuk pemikiran awal, aku memang sempat mempertanyakan keberadaan label "PERTANIAN" dimana aku malah kerjaaanya di laboratorium mikrobiologi, tidak pernah tahu bibit - benih dan biji secara nyata.... Di 4 semester awal, anak pertanian tidak bertani, malah belajar agama, matematika, fisika, kimia dll. Menurutku padahal kan ga usah, lawong itu semua udah dipelajari saat A1 dan A2 di SMA!
Anyway suka banget bacanya!
waah..kita "sedunia asal" to mak neng? hihihi. padahal ya mirobiologi sangat related dg dunia pertanian ya...
Hapusbtw aku banget sepakat banget soal mata kuliah dasar umum (MKDU) di semester awal itu. Kayak buat formalitad aja. Dan aku punya krnangan buruk dg MKDU, yakni ga lulus Fisika dan matematika 2 (integral) wkwkkwkw
Terima kasih kembali Mbak Lisdha. Mantab2 deh tulisannya, memang begitulah faktanya tentang perbedaan biji, benih dan bibit, seperti di tulisan Mbak Lisdha ini. Namun dalam "bahasa hukumnya" baik biji, benih, bibit, semua diartikan sebagai benih, khususnya ketika digunakan untuk kepentingan formal. Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, Benih Tanaman adalah Tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan Tanaman.
BalasHapusTrimakasih Indra. Wah jadi tambah info nih. Bahasa hukum memang sering berbeda dengan bahasa sehari-hari ya...atau "kekeliruan" yg lazim terjadi itu karena mengacu bahasa hukum?
HapusJadi intinya ini membahas tentang perbedaan biji, benih, dan bibit hihihi. Ya, meskipun agak muter dulu, tetapi pada akhirnya saya tau perbedaannya. Terutama untuk benih dan bibit. Karena seringkali saya menganggap benih dan bibit adalah 2 hal yang sama ^_^
BalasHapusberdasar komen di atas : sama secara hukum tp beda di dalam percakapan sehari2 :)
HapusMbaaak .. beneran lho, dirimu menyuluh juga lewat tulisan. Saya kagum baca tulisan pengalaman bercocok tanam di lingkungan rumah. Itu perlu lho buat banyak orang. Semoga makin sering menulis tentang bercocok tanam :)
BalasHapustapi jangan bayangkan kebun2 rumahab seperti di channel2 youtube ya mbak niar...hehehe..masih jauh sih
HapusWah, wah, waah...bener juga ya kl gak nurutin muter-muter dulu palingan baca tentang biji benih dan bibit sekedipan mata juga selesai hehehe... sukak bacanya dan tersenyum kl ketemu kata yg redundant kayak tentang tentang dan bakalan bakalan (dlm hati ngomong ini sengaja apa emang typing error ya hahaha (punten geulis). Eh, bunda gak lebay lho bilang "sukak" baca tulisan LSD ini. Kebetulan bunda penyuka tanaman dan hobi eksekusi tanaman. Ada kata "terhura" yg menggelitik hingga bunda senyum2 sendiri sambil tiduran nih. Bunda harus kudu musti jalan-jalan ke rmh online LSD buat ngulik bacaan yg seirama dengan hobi bunda. C u there soon, I hope. Nambah pengetahuan si blogger renta penyuka tanaman tentang arti dan beda antara "biji - benih dan bibit. Thank u a milLion tons my dear LSD
BalasHapuswaaaah...haturnuhuuun bunda oma sudah teliti baca kata per kata. Memang ya, fungsi editor itu sangat pentiiiiing. Nanti saya koreksi perulangan kata yg typo hehehe..gitu deh kalau semangat banget nulisnya. Makasiiih supportnya bunda oma :)
HapusSetelah aku baca tulisan ini jadi ingat kalau ada tanaman yang belum ku semai bibitnya, wakakakaa... Tapi beneran aku pun sebelum main tanaman nih ya mbak, masih agak bingung dengan istilah biji dan bibit loh. Pernah pesan online bibit tanaman, ku kira yang datang itu bakal macam biji-bijian. Ternyata yang datang itu sudah tumbuh pohon kecil, sampai ku buka lagi itu aplikasi ecomerce dan cek pemesananku, disitu aku baru ngeh antara biji dan bibit. Sumpah aku langsung ngakak dan jadi belajar lagi soal tanaman dan media tanamannya.
BalasHapuswaaaa.....jadi ada sharing kejadian nyata niiih.
Hapuspesan biji (maksudnya), yg datang bibit. Tapi dr kesalahan akhirnya jd tambah pengetahuan ya Mbak Chie...
Aku baru dengar ada SMK jurusan pertanian Mba, mungkin memang tidak banyak ya mba jurusan ini. Btw aku dukung loh kalo mau nulis soal tanaman, sebagai pecinta tanaman newbie aku butuh pengetahuan-pengetahuan sederhana seputar tanaman loh Mba.
BalasHapusHaha..aku juga belajarnya dr internet mbak dessy. Dan masih trial and error. Tapi ya ada lah yg bisa dimakan hehehe
HapusMenyuluh lewat tulisan itu mantap loh. Sayangnya tulisan mbak muter-muter dulu, tapi okelah saya akhirnya mengerti tentang perbedaan antara biji dengan benih dan bibit. Semangat terus menulis dan menyuluh ya.
BalasHapusTerima kasih Bu Marda. Muter jauh dulu karena tulisan intinya sangat singkat plus segmented :)
HapusDunia kak Lis ini menarik sekali.
BalasHapusMengenai pertanian, bibit, biji dan benih.
Tapi memang sejatinya kuliah membentuk pola pikir, sikap dan cara memutuskan yang tepat. Hehhee..itu alasan juga siih..ketika ditanya "Kuliahnya dulu apa, sekarang jadinya apa?"
atau tidak menjadi apa-apa... aku lumayan lama bergelut dengan self-labelling yg negatif ini. Bersyukur skrg sdh relatif berdamai :)
HapusNgomongin soal self-negative labelling, saya juga punya perasaan yang sama. Sebagai lulusan psikologi (S1, bukan psikolog) saya sempat merasa nggak kredibel terutama dalam terapannya sebagai ibu. Idealnya orang yang belajar psikologi kan akan lebih baik dalam mengasuh anak ya, karena pasti lebih paham teori perkembangan, teknik konseling dan komunikasi, dll. Tapi nyatanya di saya zonk. Hehehe.
BalasHapusBiar nggak OOT, sebagai orang awam saya tahunya benih itu ya biji yang akan disemai, sedangkan bibit itu tanaman kecil. Abis baca ini jadi makin ngerti.
Seru banget aku termasuk awam soal biji-bijian seperti ini karena aku nggak ngerti gimana caranya dan aku sangat salut sama yang bisa seperti ini
BalasHapusBrasa nostalgia aku baca ini. Bokap dulu penyuluh pertanian. Bacaan masa kecilku majalah trubus, jadi rada akrab sama beberapa istilah pertanian dan taneman. Tapi kalo gak baca ini tetep wae gak ngeh bedanya biji-benih-bibit. Wkwkwk
BalasHapusNah, kalo aku belakangan ini sejak urban farming menyerang lebih suka kalo ditanya atau mmeinta bibit, hahaha. lebih agak mudah ditanam dan dipelihara kalo aku sih
BalasHapusLah iya.. puterannya 10 kilo sendiri haha.. Harus percaya diri ya mbak.. Dari sini saya belajar, melabeli diri sendiri dengan yang positif positif nampaknya akan membuat diri bahagia hihi. Baik,.. makasih pengetahuannya tentang Biji, benih dan bibit. Nek saya ya semuanya sama, biji ya benih ya bibit hahaha..
BalasHapusaku dong mikirnya sama aja itu benih biji bibit wkwkwk
BalasHapusaku juga lulusan dari ipb yang notabene pertanian tapi jurusannya ga ada hubungannya ama tanaman kebetulan. cuma sekarang lagi suka berkebun dikit-dikit cuma nanemnya dah jadi tanaman muda gitu tinggal mindah ke pot
Dan diam-diam saya tetap menikmati setiap tulisan Mbak. Kadang rindu baca tulisan panjang-panjang seperti ini tentang kisah dan cerita apa saja saat BW di samping postingan job blogger-blogger lain. Tetap menjadi penyuluh lewat tulisan-tulisan seperti ini Mbak. Semangat. Btw Untuk berkebun, saya pilih bibit apa benih ya? Haha.
BalasHapusTernyata lulusan pertanian yaa malah asyik ngefiksi dan ngeblog, aku juga melenceng dari pertanian malah nulis buku coba ya dulu masuk sastra huhu.. jalan hidup..iya aku sukanya menanam dari bibit biar nggak terlalu lama tumbuhnya ya..
BalasHapusHahahaha kalo ga pake pembukaan, beneran pendek ya mba penjelasan utamanya :D.
BalasHapusTapi aku JD ngerti. Krn selama ini aku pikir sama aja bibit dan benih :p. Dulu pas msh kerja di bank, ada beberapa tuh anak buahku yg lulusan pertanian :D. Aku sempet heran juga, kenapa dr pertanian masuknya ke bank, ga ada nyambung blas Ama jurusan :D. Tapi jawabannya klise lah, yg penting dpt kerja dan penghasilan tetap :D.