Tak lagi punya "The Kite Runner"
Buku terbawah diedit sekadar untuk menunjukkan jumlah empat buku ^-^
Tulisan pertama setelah hiatus sekian lama.
Afganistan.
Apa yang seketika tergambar di kepala begitu nama itu tertangkap telinga?
Perang-bom-ranjau-burqa-pembakaran sekolah-Taliban? Jawaban spontan yang wajar mengingat “reputasi” Afganistan yang terangkat di media. Hari-hari ini, demikian mudah menemukan berita tentang salah satu negeri berakhiran –stan ini. Kembali berkuasanya Taliban membuat Afganistan mendominasi berita internasional.
Terlepas dari politik, budaya, dan lain-lain yang membentuk pusaran suasana Afganistan, saya miris melihat beberapa video yang menggambarkan dampak dari perpindahan kekuasaan ini. Salah satunya adalah video suasana chaos di bandara Kabul. Orang-orang berjubel, merangsek masuk ke bandara, bahkan mengejar pesawat yang sudah bergerak.
Mengejar sepeda motor, mobil, atau kereta api masih masuk akal. Tapi mengejar pesawat?
Berbagai media menyerukan kekhawatiran pada nasib perempuan dan anak-anak di Afganistan. Satu sisi, Taliban berjanji bahwa di pemerintahannya saat ini mereka akan lebih ramah pada perempuan. Di sisi lain, Taliban punya catatan buruk dalam memperlakukan perempuan selama pendudukan di masa lalu. Akibatnya, sebagian pengamat skeptis, sebagian lagi berharap janji tersebut menjadi kenyataan.
Respon dunia juga tak sama. Ada yang turut cemas dengan kembalinya kekuasaan Taliban. Sebaliknya, ada pula yang ikut bersorak girang akan kemenangan Taliban. Saya sendiri tidak merasa perlu untuk “berpihak” pada siapapun penguasa Afganistan. Keberpihakan saya adalah pada orang-orang Afganistan yang menjadi korban pertikaian. Negeri itu memang selalu beraroma perang. Tanpa kehadiran negara-negara luar pun, antar-suku di Afganistan “suka” berperang satu sama lain.
Ngapain sih ikut mikirin Afganistan? Negeri sendiri saja masih kedodoran.
Pertanyaan wajar. Lagipula, siapa saya, sehingga menulis tentang Afganistan? Rasanya, dari sekian tulisan random sejauh ini, menyinggung Afganistan adalah juara paling random. Namun, saya punya alasan untuk menuliskannya, yakni :
Perasaan Kedekatan
Dalam merespon kejadian-kejadian, selalu ada unsur perasaan kedekatan (proximity). Suatu kejadian bisa terasa jauh atau dekat tidak melulu karena letak geografis. Fakta penting, bahwa perasaan sering tak berbanding lurus dengan kondisi obyektif. Kedekatan pada suatu kejadian bisa karena kaitan genetis dan primordial.
Ini seperti kalau saya membaca cerita tentang kehidupan orang Jawa di Suriname. Sedikit banyak terasa ada kedekatan meski saya sama sekali tidak mengenal mereka. Bahkan, meski sama-sama memiliki gen dari suku yang sama, kehidupan saya dengan keturunan diaspora Jawa di Suriname sudah jauh berbeda.
Secara geografis, Indonesia relatif jauh dari Afganistan. Dari sisi genetis, saya merasa tidak ada keterhubungan sama sekali dengan Afganistan. Tapi ya....siapa tahu kalau DNA saya ditelusuri ternyata ada sekian persen identik dengan ras orang Afganistan? Sayangnya, sekalipun tertarik, tidak ada urgensi bagi saya untuk tes DNA guna melacak komposisi leluhur.😅
Oh ya, saya belum pernah ke Afganistan (baik secara nyata maupun dalam mimpi). Saya juga tidak punya satu pun kontak dengan orang Afganistan. Baik orang Afgan yang masih tinggal di sana ataupun pengungsi Afganistan di manapun berada.
***
Satu-satunya sumber “perasaan dekat” pada saya adalah dari bacaan dan produk visual yang saya lihat tentang Afganistan. Perkenalan dengan satu novel berlatar Afganistan bertahun silam, memberi saya impresi khusus. Saya kadang mencari artikel online tentang Afganistan. Di lain waktu, secara acak, saya menonton beberapa video tentang Afganistan.
Di tulisan ini, saya mau berbagi sinopsis empat buku tentang Afganistan yang pernah saya baca. Mungkin ada teman-teman yang juga sudah membaca ya.... Sebab, selain best seller, semuanya bukan buku baru.
1. 💟 The Kite Runner
Ini adalah novel berlatar Afganistan yang pertama saya kenal. Saya membacanya belasan tahun silam. Bukunya pun sudah tak ada karena saya pinjamkan (atau berikan?) pada seorang kawan. The Kite Runner adalah karya penulis Afganistan yang hidup di Amerika, Khaled Hosseini.
Kisah novel ini berangkat dari persahabatan Amir dan Hassan. Persahabatan yang tidak setara jika dilihat dari status mereka. Amir anak dari majikan, sedangkan Hassan adalah anak dari pelayan. Selain itu, Amir adalah suku Pashtun yang dominan, sedangkan Hassan adalah suku Hazara yang minoritas.
Cerita Amir dan Hassan terentang dari sebelum invasi Uni Soviet hingga era Taliban. Amir yang piatu, tumbuh dalam situasi psikis yang kompleks. Ia selalu merasa bersaing dengan Hassan dalam mendapatkan cinta Baba (ayahnya). Kelak, saat dewasa, Amir akan mengetahui sebuah rahasia Baba. Sejatinya, Amir dan Hassan adalah saudara se-ayah dari ibu yang berbeda.
Dalam kompleksitas kejiwaan di masa ABG-nya, Amir mendapati dirinya mengkhianati Hassan. Saat itu, Hassan yang mengejar layang-layang untuk Amir dihadang sekelompok anak lelaki. Mereka merundung dan memerkosa Hassan. Amir mengetahui kejadian itu tetapi ia memilih tidak menolong Hassan.
Diam-diam, Amir merasa bersalah. Namun, alih-alih minta maaf, ia justru melakukan hal-hal jahat pada Hasan. Ia berharap Hassan akan melawan atau membalas, tindakan yang Amir anggap sebagai penebus kesalahannya. Namun, Hassan yang tulus tak pernah bertindak seperti harapan Amir.
Puncaknya, Amir memfitnah Hassan yang berujung pengusiran Hassan dan ayahnya. Hubungan dua sahabat ini tak pernah lagi sama. Hingga suatu hari, Amir dan Baba melarikan diri ke Amerika akibat ketidakpastian situasi Afganistan.
Amir dan Baba melewati berbagai hal di Amerika. Mereka adalah keluarga kaya di Afganistan. Namun, di Amerika mereka bukan siapa-siapa dan harus bekerja keras untuk menopang hidup. Setelah dewasa, Amir menikah dengan sesama pengungsi Afganistan keturunan jenderal. Tak lama setelah Amir menikah, Baba meninggal.
Amir melanjutkan hidup sebagai penulis yang cukup berhasil. Suatu hari, ia mendapat telepon dari seorang kerabat lama yang mengungsi ke Pakistan. Kedatangan Amir ke Pakistan membuka rasa bersalah pada Hassan yang ia timbun dalam-dalam. Hassan dan istrinya sudah meninggal dibunuh Taliban. Mereka meninggalkan seorang anak bernama Sohrab yang dijadikan bocah penghibur oleh Taliban. Perjuangan Amir untuk mendapatkan Sohrab dan membawanya ke Amerika tidaklah mudah. Namun ia bertekad untuk menjalaninya sebagai penebusan dosa terhadap Hassan.
Oh ya, novel ini diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama.
2. 💟 A Thousand Splendid Suns
Novel ini juga ditulis oleh Khaled Hosseini. Saya membeli cetakan ketiga (tahun 2008) dan masih menyimpan bukunya sampai sekarang. Dalam novel ini, Hosseini banyak menggambarkan kehidupan perempuan di Afganistan. Bermula dari kisah Mariam, seorang anak dari hubungan tidak sah antara Nana - seorang perempuan biasa yang sering dirasuki jin (epilepsi?), dengan Jalil – orang kaya dan terpandang di sebuah desa di Herat.
Secara emosi, Jalil menyayangi Mariam. Namun, keluarga sah dan status sosial membuat dia tak bisa menerima Mariam di rumahnya. Suatu hari, Mariam mengunjungi rumah Jalil. Tindakan yang membuat Nana merasa dikhianati, lalu memilih bunuh diri. Mariam pun tinggal di rumah Jalil.
Namun, secara halus, keluarga Jalil “membuang” Mariam. Mereka menikahkan Mariam yang masih belia dengan Rasheed, duda tua dari Kabul. Mariam, yang tak pernah tahu dunia luar, tiba-tiba harus pindah jauh ke Kabul. Di sana, ia menjalani pernikahan yang seperti neraka.
Di bab lain, ada romansa terlarang antara Laila dan Thariq. Dalam suasana perang Mujahidin dan Uni Soviet, Laila dan Thariq masih sempat menikmati masa remaja yang cukup berwarna. Ayah Laila seorang mantan guru yang berpikiran moderat. Sementara, ibu Laila adalah pemuja anak-anak lelakinya yang turut berjuang bersama Mujahidin. Bagi ibunya, sepandai apapun Laila, dia bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dua saudara lelakinya.
Kemenangan Mujahidin atas Uni Soviet tak membuat perang mereda. Sebagai ganti perang melawan bangsa asing, sesama bangsa Afganistan saling berperang demi kekuasaan. Hari-hari bertabur tembakan senapan maupun roket. Keluarga Thariq pergi mengungsi. Malang tak dapat ditolak, keluarga Laila yang hendak menyusul mengungsi justru terkena roket.
Seketika Laila menjadi yatim piatu. Ia yang terluka dan sendirian ditampung oleh Rasheed. Namun, kebaikan Rasheed tidaklah tulus. Ia menuntut Laila untuk menjadi madunya. Mariam tak setuju tapi tak berdaya menolak. Sementara, Laila yang menyadari jika dirinya hamil akibat hubungan dengan Thariq tak punya pilihan. Laila dan Mariam segera menjadi musuh. Butuh waktu dan proses cukup lama hingga kedua perempuan itu berbalik menjadi sekutu melawan tirani sang suami.
Kelak Mariam dihukum rajam oleh Taliban atas kematian Rasheed. Sementara Laila yang kembali bertemu Thariq sempat mengungsi ke Pakistan. Namun, ia segera kembali ke Afganistan setelah kejatuhan Taliban. Laila menyempatkan diri pergi ke Herat, ke tempat masa kecil Mariam. Di sana, ia mendapati serpihan-serpihan kisah yang membuatnya semakin bisa memahami dan mencintai Mariam.
Membaca kisah Mariam dan Laila sungguh mengoyak hati. Ketertindasan perempuan Afganistan yang digambarkan melalui Mariam dan Laila terasa sangat menyesakkan.
3. 💟 Saudagar Buku dari Kabul
Berbeda dengan kedua buku Hosseini yang tokoh dan alur ceritanya fiktif, buku ketiga beranjak dari pengalaman nyata Asne Seierstad, seorang wartawan perempuan dari Norwegia. Saya masih menyimpan bukunya dan tertulis tanggal pembelian : 02 Juni 2007 (lebih dari satu dekade lalu!!).
Dalam buku ini, Asne mengangkat pengalamannya saat tinggal bersama sebuah keluarga kelas menengah di Afganistan, paska kejatuhan Taliban. Keluarga dalam cerita Asne bukanlah tipikal keluarga Afganistan yang miskin dan buta huruf. Mereka relatif cukup secara ekonomi dan pendidikan. Bahkan, Khan, si kepala keluarga bekerja sebagai saudagar/penjual buku. Sebuah profesi yang tidak lazim di negara dengan mayoritas penduduk tuna aksara.
Khan mengalami pembakaran buku-buku di rezim berbeda-beda. Namun, Khan tetap bertahan dengan pekerjaannya sebagai saudagar buku. Bergaul dengan buku membuat pola pikir Khan cukup moderat. Namun, dalam tindakan sehari-hari sebagai kepala keluarga, Khan tetap bertahan dengan superioritas lelaki Afgan yang telah mendarah daging.
Kepergian Taliban tidak serta merta menjadikan perempuan bebas. Ada Leila, adik Khan yang berusaha keras untuk kembali bekerja tetapi berakhir gagal. Hambatan bagi para perempuan-perempuan terdidik di buku ini tak melulu berasal dari para lelaki. Namun juga dari para perempuan lain yang merasa menjaga adat dan tradisi.
4. 💟Selimut Debu
Berbeda dengan ketiga buku di atas, Selimut Debu ditulis oleh petualang Indonesia berdarah Tionghoa, Agustinus Wibowo. Penulis asal Lumajang ini beberapa kali mengunjungi Afganistan, baik sebagai petualang, wartawan, maupun pekerja kemanusiaan.
Sesungguhnya, sudah tiga atau empat tahun lalu saya membaca sebagian tulisan di buku ini di blog www.agustinuswibowo.com. Namun, saya baru membeli buku fisiknya, yakni cetakan keempat, di Maret tahun 2021. Cerita yang tersaji di buku, tentu saja lebih komplit daripada di blog.
Menjadikan Afganistan sebagai tujuan kunjungan saja sudah termasuk anti-mainstream. Lebih dari anti-mainstream, mungkin istilah ini lebih cocok bagi Agus yang bertualang hingga pelosok Afganistan.
Sebagai backpacker dengan budget cekak, ia akrab dengan kendaraan umum dan tumpangan yang kumuh serta sesak. Besi-besi beroda yang dipaksa tangguh di jejalan Afganistan yang rusak dan tak selalu terjamin keamanannya. Sendirian ataupun dengan kawan, Agus menyusur lanskap geografis Afganistan yang berselimut debu di mana-mana.
Ia mengunjungi Bamiyan, “bermain” rongsokan peluru, tank, dan mesin perang di dekat reruntuhan patung Buddha raksasa yang dibom Taliban. Ia menyusuri koridor Wakhan, daerah sempit serupa lidah yang dikelilingi Pakistan, Tajikistan, dan China. Ia berjuang untuk menggapai Cheghcheran, jantung Afganistan yang merana.
Agus berkali-kali menjadi korban pencurian, penipuan, bahkan juga pelecehan seksual. Cerita pelecehan Agus menegaskan bagian novel Hosseini, yakni tentang kultur bachabazi. Meski dilarang oleh Taliban, bachabazi tidak bisa sepenuhnya hilang. Secara kultur, praktik ini bahkan bisa menjadi bagian kebanggaan karena menunjukkan status sosial dan ekonomi seseorang. Secara harfiah, bacha berarti bocah laki-laki, sedangkan bazi berarti bermain. Secara umum, bachabazi dimaknai sebagai permainan (hubungan seksual) antara lelaki yang lebih tua dengan laki-laki berusia bocah. Bachabazi adalah ironi dari “keterlindungan” perempuan di Afganistan.
Agus menyelami kehidupan Afganistan. Ia mengalami keras dan terbelakangnya hidup di sana. Namun, ia juga menikmati banyak keramahan dan persaudaraan di tengah gersangnya suasana. Ia mereguk “kuliah kehidupan” di banyak samovar (kedai teh) yang sekaligus menjadi tempat menginap gratis bagi musafir dalam jeda perjalanan.
***
Well, sekadar bacaan sudah pasti tak akan mampu memberikan pengalaman yang utuh. Membaca buku Hosseini dan Steirsad, juga sebagian buku Agustinus, langsung menciptakan impresi Afganistan sebagai negeri muram dan penuh kekerasan. Namun, dengan apik, Agustinus mampu menunjukkan sisi-sisi Afganistan yang menarik.
Tahun lalu, saya menonton vlog berisi wawancara dengan seorang Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Afganistan. Menurut dia, kehidupan di Afganistan tidak sekacau bayangan orang luar. Terbukti, si bapak "betah-betah" saja hidup di Afganistan. Si bapak berkisah, aktifitas sehari-hari seperti belanja, bepergian, dan sekolah, berjalan relatif “normal” di sela kejadian bom, peluru nyasar, pergantian kekuasaan, dan sejenisnya.
Ah ya, normal memang relatif. Normal di sini, abnormal di sana, dan sebaliknya. Ketidaknormalan yang menerus akan segera menjadi hal yang normal.
***
Agustus ini, Indonesia merayakan kemerdekaan dalam situasi pandemi. Sementara, nun jauh di sana, Afganistan bergulat dengan persoalan yang lebih pelik. Menengok Afganistan dari jauh, kadang memunculkan pertanyaan acak. Seperti, bagaimana jika kita ditakdirkan lahir dan menjadi orang Afganistan?
belakangan mulai banyak kajian yang membahas tentang sejarah Afganistan terutama dalam Islam
BalasHapusSuka sama tulisannya, Mbak.
BalasHapusTentang kenormalan, iya ... ketika Makassart digambarkan seram, kami di dalam malah merasa amana-aman saja :D
Sering juga mendengar pengamat Indonesia dari luar negeri menggambarkan kehebohan yang gimana padahal dia hanya melihat dari jauh satu peristiwa sementara banyak hal di Indonesia tak demikian.
Saat dengar kata Afghanistan sih negara yang tak pernah lepas dari perang :) belum pernah baca buku berat seperti ini, tapi jadi ingin mencoba
BalasHapusKetidaknormalan yang menerus akan segera menjadi hal yang normal. Bener banget ini Mba. Contohnya sekarang aja, kita berada di situasi yg nggak normal, tapi lama kelamaan ya udah lah yaa, dianggap normal :D
BalasHapusBtw, Agustinus Wibowo itu temen kuliah saya di kampus ITS mba.
Tapii, kami sama-sama resign *halaahhh* dari kampus itu, setelah setahun berkuliah.
Agus memang mengejutkaaann!
Makanya sekarang aku tetap bersyukur aja tinggal di Indonesia yang menurutku aman tentram damai..Apalagi kalau dibandingkan dengan Afganistan.. Buku-buku tentang Afganistan ini menarik ya buat dibaca..terutama yang karya Agustinus..aku kepo deh..
BalasHapusNovel yg bersetting negara-negara di luar Indonesia memang memperkaya wawasan ya Mbak. Jadi pengen juga nih baca novel-novel yg Mbak tuliskan. Selain memperkaya wawasan juga bisa memahami sudut pandang dari pengarang dalam menulis novelnya tersebut.
BalasHapusSejak menyeruak berita tentang Taliban, aku jadi merinding sendiri melihat mereka konferensi pers. Sambil berdoa semoga mereka semua (Penduduk Afganistan) selalu dalam lindungan Allah.
BalasHapusAku tahu buju2 di atas, tapi jujur ga tertarik baca. Krn bbrp kali baca sinobsisnya, udah feeling pasti sedih. Dan aku memang menghindari buju2 begitu mba :(. Negara2 STAN udah ada dalam bucket listku, kecuali Afganistan tetep ga tertarik untuk didatangin. Ntahlah, mungkin Krn situasinya yg ga menentu gitu Yaa. Jadi males. Walopun kalo udh baca cerita2 ttg keadaan di sana ,sedih sih. Di satu sisi juga bersyukur, aku ga terlahir sebagai WN mereka
BalasHapusBuku-bukunya menarik sekali mam. Bisa jadi bahan bacaan untuk lebih mengenal Afganistan ya. Coba deh kalau PPKM sudah usai akan saya cek di perpustakaan.
BalasHapusWah, jalan ceritanya sangat menarik semuanya ya. Ada rasa miris saat membaca cerita tentang wanita dan anak-anak di Afganistan yang menjadi korban..
BalasHapusSaya kok bacanya sedih ya.. Akhir-kahir ini banyak yang bahas soal afghanistan ya, karena taliban sudah mulai masuk afghanistan. Sampai buku-buku tentang afghanistan bermunculan juga. Saya jadi penasaran juga mba sama bukunya agustinus. sampai kecetakan keempat berarti ceritanya memang bagus.
BalasHapusJustru menjadi pengingat untuk selalu bersyukur nih mba karena kita terlahir di Indonesia. Mau kayak apa orang menghujat negeri ini, termasuk warga negaranya sendiri yang menghujat, masih banyak kelebihan yang kita nikmati di sini. Bayangin aja, berapa banyak suku yang kita punya. Perang antar suku mungkin hanya terjadi di sebagian kecil saja, tidak sampai mengoyak persatuan bangsa. Masih banyak yang hidup merdeka meskipun selalu mengeluhkan kebobrokan pemerintah tanpa diri sendiri melakukan apa-apa untuk kebaikan. :))
BalasHapusMendengar Afganistan dipikiran saya adalah perang dan perang, kekacauan Afganistan membuat mobilisasi persenjataan dari barat akan laku besar, jadi ada pihak yg diuntungkan dgn perang yg terjadi. Terkait penguatan taliban di Afghanistan berawal dari Uni Soviet menginvasi Afghanistan, setelah mereka berhasil mengusir rusia dari Afghanistan dan akhirnya memperkuat kekuasaan mereka dibawah naungan taliban..
BalasHapusyaa Allaaah betapa bersyukurnya saya...
BalasHapusbaca kedua novel paling atas udah berasa neraka dunia!
Yah, kadang saya ga ngerti, ada apaaa dengan negeri para nabi ini,
betapa banyaknya "ketidak adilan" yang ternyata jauuuh... jauuuuh lebih kejam!
padahal negeriku sendiri pun juga banyak yang sengsara tapi aku baca ini ngilu banget
Saya belum pernah membaca buku-buku yang disebutkan, kecuali Selimut Debu bukunya Agustinus. Entah kenapa tiap membaca atau mendengar nama Afagnistan, ada perasaan seram, seperti dibayang-bayangi suasana muram yang tak pernah berakhir. Perasaan yang didominasi kasihan, tak tega, dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi yang pasti, berharap yang terbaik untuk orang2 di sana, dan beneran merasakan kenormalan yang benar2 normal.
BalasHapusBerdoa aja minta yang terbaik untuk Afghanistan. Tetap semangat bantu doa dan donasi saja
BalasHapusWah, memang membaca biasanya membuat kita merasa dekat dengan tokoh ataupun latar belakang daerahnya. Soal Afganistan memang sering saya dengar cerita yang menyeramkan ya, padahal yang tinggal disana pun merasa biasa saja. Merasa beruntung juga lahir dan tinggal di Indonesia, banyak hal baik yang bisa kita temukan disini, jika kita mau untuk melihat lebih dekat lagi.
BalasHapusSaya belum pernah membaca semua bukunya. Membaca reviewnya juga udah cukup menarik perhatian saya.Yang Saya ingat tentang Afghanistan adalah Taliban terus kehidupan yang keras di sana, inget perang juga.
BalasHapusAfghanistan, ya aku ingatnya penyanyi ganteng eh manisa yang berlesung pipit dan pakai kacamata mak, awal dulu dia hits, aku yah ingatnya negara ini, mungkin atau apalah ada hubungan dia ama afghanistan ini,, makanya namanya rada mirip
BalasHapusPantas saja, beberapa waktu ini berita tentang afghanistan mencuat lagi yaa. Ternyata Taliban menang di Afghanistan. Doa saya untuk rakyat Afghanistan, semoga Allah melindungi rakyat Afghanistan dan segera keluar dari konflik berkepanjangan. Btw buku-bukunya menarik yaa, terutama kisahnya agustinus wibowo, jadi pengen baca
BalasHapusdi rumah ada novel tentang Afghanistan yang ditulis dan diterbitkan di mizan judulnya The Kite RUnner, Cerita seputar kekisruhan situasi pemerintahan di Afghanistan pasca jatuhnya monarki Afghanistan dalam invasi Sovie. benar-benar mengiris hati
BalasHapusAnakku juga aku belikan komik mengenai kisah di Afghanistan ini, kak.
BalasHapusDan aku gak bisa berenti nangis ketika membacanya. Ada rasa gak kuat untuk melanjutkan, tapi itu menambah keyakinanku untuk memperbanyak bersyukur dengan cara yang baik karena banyak saudara-saudara kita di sana yang kesulitan bahkan untuk sekedar beribadah.
wah iya, lagi rame tentang Afghanistan ini ya mbak
BalasHapusmemang dari dulu ini adalah daerah yang penuh konflik
Mbak, aq baru sadar kalo novel ternyata bisa membuat pembaca nya merasa dekat dengan setting nya. Termasuk novel novel yg mba cerita kan. Aku jadi pingin baca juga yg cerita Amir dan Hassan terutama
BalasHapusMelihat konflik di Afghanistan membuatku dengan lugu bertanya, apakah baik dengan kondisi sekarang yang dikuasai Taliban? Trus suamiku menjawab yaa baik itu tergantung sudut pandang. Iya sih.
BalasHapusBtw, buku-buku di atas belum pernah ku baca. Cuman yang pertama familiar banget judulnya.
belum pernah baca keempatnya mba, tapi seneng ada unsur islami di sana ya mba. Pasti perjuangan islam di sana besar dan berat banget. kebayang di indonesia beragam gini kirain sudah paling pusing, ternyata ada yang lebih parah lagi di sana :"(
BalasHapus