Entah siapa kreator gambar di atas. Saya mendapatkannya dari grup Whatsapp teman-teman alumni kampus. Satirnya, dapet banget ya...😂😂 Yah, gara-gara pandemi, jadi ada banyak istilah baru. Lockdown-lah, PSBB-lah, mudik aglomerasi-lah, ini-lah, itu-lah. Satu yang berlanjut sampai saya menulis ini adalah PPKM (gosah disebutkan kepanjangannya lah ya..). Sampai kapan nih PPKM? Diiih, jangan deh sampai kita menua seperti meme di atas.
Di tulisan terakhir, saya bilang, ketidaknormalan yang menerus akan segera menjadi hal yang normal. Mengacu istilah sekarang : new normal. Faktanya, di awal pandemi, banyak orang kalang-kabut dengan ketidaknormalan yang mendadak. Namun, pandemi yang tak juga usai, membuat ketidaknormalan itu berangsur menjadi new normal.
Salah satu new normal di masa pandemi ini adalah siap tak siap mesti siap dengan perubahan aneka peraturan terasa mendadak. Salah satunya dalam urusan terbang. Sejak pandemi ini, entah sudah berapa kali ada perubahan peraturan menumpang pesawat. Saat pindah dari Medan ke Makassar tahun 2020, saya dan anak-anak masih bisa menggunakan test rapid. Sementara, saat terbang Makassar – Jogja di April 2021, syarat minimal adalah test antigen. Beda lagi saat PPKM, syarat naik pesawat terbang mesti test PCR dan vaksin minimal dosis pertama.
Nah, perubahan peraturan terbang saat PPKM inilah yang sempat bikin drama. Nonton drama saja bisa bikin emosi kita turun naik. Terlebih, kalau kalau bukan cuma nonton, melainkan terlibat langsung dalam drama kehidupan nyata.
Ceritanya, Juni lalu dua keponakan saya (Icha dan Iel) liburan ke Makassar. Mereka terbang dari Jogja ke Makassar sebelum PPKM ditetapkan. Waktu itu, hanya si kakak (Icha) yang sudah vaksin. Sementara Iel yang saat terbang baru saja lewat usia 12 tahun belum vaksin (program vaksin untuk anak memang belum diluncurkan). Syarat terbang juga masih bisa test swab antigen (tidak wajib PCR).
Sekitar dua minggu, mereka berdua di Makassar. Ale-Elo seneng banget kedatangan dua kakaknya. Jalan-jalannya memang terbatas, karena mesti milih-milih destinasi. Setidaknya memilih tujuan jalan-jalan outdoor yang luas sehingga jauh dari kerumunan. Juga tetap berusaha menerapkan protokol kesehatan selama bepergian. Selama itu, nggak ada kendala apapun hingga menjelang rencana mereka pulang : pemerintah menetapkan PPKM!
Syarat naik pesawat terbang ke Jawa diperketat. Dari semula bisa test swab antigen menjadi wajib test swab PCR. Dari semula tidak wajib vaksin, menjadi wajib vaksin untuk penumpang usia 12 tahun ke atas. Sepertinya saya juga selintasan membaca peraturan bahwa anak di bawah usia 12 tahun belum diizinkan terbang. Berburu vaksin anak dan test PCR menjadi sumber drama yang saling terkait.
Drama test PCR.
Dulu, menjelang test rapid untuk keperluan terbang Medan – Makassar, saya lumayan stres. Ngerti sih, stres berpotensi menurunkan imun. Namun, pikiran dan hati belum bisa legowo seandainya terjadi kemungkinan yang tidak diinginkan. Baru KEMUNGKINAN lho.... peluangnya sebaliknya masih ada. Namun, ya gitu deh, tak selalu mudah menerapkan teori dalam praktik :D.
Stress saya menjelang test ini adalah karena memperhitungkan skenario terburuk. Kalau-kalau dua atau salah satu keponakan saya ternyata positif. Kondisi itu akan mengharuskan kami berenam (saya-suami-dua anak-dua keponakan) isolasi mandiri di rumah. Kalau ini terjadi.... ya sudah pasti ribet.
Jadwal test adalah hari Jumat, untuk terbang hari Minggu. Di masa menunggu test itu, ada berita terbaru tentang test PCR. Yakni, mulai Senin, test PCR untuk penerbangan hanya bisa dilakukan di tempat tertentu.
Mana waktu itu saya sudah booking dan membayar test PCR melalui aplikasi online. Saya booking di situ karena bisa daftar online, plus tempatnya paling dekat dari rumah. Oh ya, satu lagi, waktu itu sedang ada promo.
Masalahnya, saya tidak menemukan nama klinik/lab tersebut dalam daftar 700-an lab yang ditetapkan pemerintah. Entah kalau mereka “nitip” di laboratorium lain. Saya menghubungi customer service, jawaban mereka sih terdaftar. Namun, saya kok kurang puas dengan jawaban itu karena nama lab/kliniknya tidak tercantum dalam daftar.
Ya memang sih, kalau lancar terbang di hari Minggu, mau test di manapun masih diterima. Sebaliknya, kalau hasil test positif covid, untuk test selanjutnya nggak bisa asal saja milih tempat test. Mesti test PCR di tempat yang ditetapkan pemerintah.
Test PCR dilakukan siang (waktu usai shalat Jumat). Jumat malam hasilnya sudah keluar dan ......NEGATIF. Puji Tuhaaaan.....Nyicil lega, satu soal terselesaikan. Namun, masih ada satu soal lagi : vaksin untuk Iel.
Drama Berburu Vaksin
Saat menjelang mereka pulang, vaksin untuk anak masih di masa awal peluncuran. Program vaksin untuk anak masih terbatas. Banyak event vaksin, tetapi umumnya masih untuk dewasa. Sebenarnya, saya mendapat dua informasi event vaksin untuk anak, yakni di RS Sayang Bunda dan di Mall Ratu Indah. Pendaftaran dibuka secara online. Sedihnya, saat saya mendaftar, kuota sudah penuh.
Hari Kamis pekan itu, ada program vaksin di kompleks tempat saya tinggal. Vaksin ditujukan untuk usia dewasa. Meski sudah jelas tertulis sasarannya, saya tetap mencoba memohon vaksin untuk Iel. Mana tahu jatah vaksin untuk saya bisa dialihkan ke Iel karena urgensi-nya. Namun, dokter menolak permohonan saya karena tidak mau melanggar peraturan.
Satu sisi, rasanya gemes karena jenis vaksin untuk dewasa dan anak kan jenisnya sama. Di sisi lain, saya paham, tim vaksin bekerja berdasarkan petunjuk pelaksanaan.
Usaha pertama gagal. Sementara, rencana terbang tinggal tiga hari lagi, yakni hari Minggu. Jumat sore, usai test PCR, kami ke RS Sayang Bunda. Pendaftaran online-nya memang sudah ditutup. Tapi ya coba ajalah..
Event vaksin di situ merupakan kerja sama antara RS dengan Kodam Hasanuddin. Saya berasumsi, Jumat itu di RS pasti ada kegiatan persiapan.
Benar saja, di sisi halaman rumah sakit, tenda-tenda sedang didirikan. Saya tanyakan kemungkinan mengikutkan keponakan vaksin di hari Jumat pada salah satu bapak tentara di sana. Berhubung saya sudah terlambat mendaftar online, saya diarahkan ke salah satu puskemas yang katanya sudah menyediakan vaksin untuk anak. Segera kami meluncur ke puskesmas tersebut, tapi situasi sudah sepi. Ada seorang petugas babinsa di sana yang memberi informasi kalau vaksin di puskesmas tersebut biasa mulai pagi-pagi dan belum ada untuk anak.
Namun, si bapak memberi informasi kalau di Kodam ada vaksin setiap hari. Hanya saja, beliau tidak tahu detail informasi tentang vaksin di Kodam. Hmmmh, tetap belum ada solusi pasti. Kami kembali ke RS Sayang Bunda. Kan di sana ada ada bapak-bapak tentara, saya akan tanyakan tentang vaksinasi di Kodam.
Kembali tiba di RS Sayang Bunda. Kali ini saya bicara ke seorang bapak yang berbaju sipil (ternyata beliau dokter di RS tesebut). Jadi sedikit “curhat” tentang keponakan yang mau terbang, tapi belum vaksin. Puji Tuhan, tak disangka, si bapak bilang “Besok datang saja. Nggak apa-apa belum daftar online.”
Bwaaa...setitik harapan. Tadinya memang mau minta izin tetap datang meski sudah ketinggalan daftar online. Mana tahu ada pendaftar yang batal datang, atau datang tapi tidak bisa divaksin (karena komorbid atau faktor lain). Kalau ada kejadian begini kan Iel bisa menggantikan posisi si pendaftar.
Saya minta nama dan nomor kontak si bapak. Tapi, nggak dikasih. “Pokoknya datang aja.” Rrrrr.... terbayang besok sudah banyak orang dan saya tidak punya bukti atau pendukung apapun tentang statement tersebut. Tapi ya sudahlah...Toh ada alternatif, yakni infomasi vaksin di Kodam. Kalau di sana gagal, baru deh ke usaha ke RS Sayang Bunda.
Sabtu pukul 05.30, saya-BJ-Iel sudah meluncur ke Kodam dengan harapan tinggi. Sengaja datang pagi-pagi untuk memastikan dapat vaksin plus antrean pendek. Tapi ternyata....... Sabtu itu di Kodam tidak ada jadwal vaksinasi. Konsetrasi vaksin hari itu adalah di RS Sayang Bunda.
Haduuuuh....harapan beres urusan vaksin yang sudah menukik tinggi kembali terjerambab. Satu-satunya harapan untuk mengejar terbang di hari Minggu adalah vaksin di RS Sayang Bunda. Kami balik bergerak ke RS Sayang Bunda. Di sana masih sepi karena jadwalnya memang pukul 08.00. RS tak terlalu jauh dari rumah, jadi kami memutuskan pulang dulu. Saat kembali ke RS, vaksin belum mulai tapi suasana sudah mulai ramai.
BERSYUKURNYA, saya bisa langsung menemukan si bapak yang kemarin di antara kerumunan orang-orang. Bersyukurnya lagi, dia ingat akan janji pertolongannya. Singkat cerita, hari itu urusan vaksin beres! Puji Tuhaaaan. Stress beberapa hari karena urusan PCR dan vaksin sudah beres.
Drama Pesawat “Unknown”
Sepulang urusan vaksin, langsung deh mengurus tiket. Ternyata, tidak ada penerbangan langsung Makassar – Jogja. Satu-satunya rute yang paling memungkinkan adalah Sultan Hassanudin – Soekarno Hatta – NYIA.
Saya segera booking pesawat karena takut seat habis. Icha dan Iel belum pengalaman terbang transit. Tapi, percaya saja, pasti bisa. Itung-itung buat pengalaman.
Tidak ada kendala berarti hingga Minggu pagi. Bahkan, urusan cek persyaratan terbang di bandara juga bisa dilalui dengan lancar. Satu-satunya “masalah” di malam dan pagi itu adalah Elo yang ngambeg karena Mbak Icha mau pulang ke Jawa. Bener-bener ngambeg-beg-beg.
Setelah Icha dan Iel masuk ruang tunggu, kami segera bergerak ke rumah. Siang itu, penerbangan UPG-CGK lancar, transit juga oke. Kami tetap berkabar sampai kedua ponakan itu kembali masuk pesawat menuju Jogja. Lalu....drama terjadi beberapa menit sebelum waktu perkiraan pesawat mendarat di Jogja.
Kalau ada keluarga melakukan perjalanan udara, BJ sering memantau pergerakan pesawat melalui aplikasi flight radar. Sejauh menggunakan aplikasi tersebut, belum pernah ada kejadian/pantauan yang aneh-aneh hingga pantauan di penerbangan Icha dan Iel! Di atas wilayah laut selatan Jogja (dekat bandara), gambar pesawat tiba-tiba beku/mandeg. Lalu, status pesawat berubah dari terbang menjadi “unknown”.
BJ duluan yang syok, saya yang diperlihatkan tampilan radar menyusul syok. Bahkan, membayangkan “kemungkinan itu” (pesawat jatuh) pun tidak berani. Denial total!!! Kurang dari lima menit hingga waktu perkiraan mendarat. Namun, waktu terasa sangat lambat. BJ mereset ulang aplikasi, juga mengecek pergerakan beberapa pesawat lain, normal saja. Sementara, pesawat yang ditumpangi Icha dan Iel, gambarnya tetap freeze dan status tetap unknown.
Nggak ngerti lagi mau gimana....cuma bisa berdoa. Takut banget buka portal berita ataupun televisi. Takut kalau ada breaking-news pesawat hilang/kecelakaan.
Sampai kemudian, pesan WA ke Icha dan Iel yang tadinya centang satu berubah jadi centang dua. Ini indikasi positif bahwa gawai mereka sudah aktif. Segera kami telepon untuk memastikan. Kembali puji Tuhan, dua ponakan benar-benar sudah mendarat dengan selamat.
***
Drama terbang di atas memang tidak terkait hidup-mati, tapi stresnya itu nyata loh. Mungkin ada yang bilang “salah sendiri, tetap pergi-pergi saat pandemi, sudah dibilang #dirumahsaja kalau nggak ada urgensi.” Tapi, Ale Elo senang banget dikunjungi kakak-kakaknya. Pun, bagi Icha dan Iel, ini adalah pengalaman pertama keluar pulau. Stres yang ini sepadan dengan kegembiraan yang kami dapatkan. Stres yang bukan karena jengkel atau marah, tetapi lebih karena ingin semuanya berjalan lancar dan selamat. (*)
Naaah aku termasuk yg ga suka merhatiin flight radar Krn takut shock mba. Lebih ke pasrahin ajalah, drpd jantungan liat di radar.
BalasHapusItu dramanya bener bikin stress yaaa hahahaha. Itulah kenapa aku msh menghindari terbang, LBH Krn kerempongan nya itu. Mana schedule pesawat aja msh suka mendadak berubah kan. Walopun sbnrnya aku udh kangen banget terbang mba