Lagu Kahitna tersebut selalu ada di benak saya tiap kali melihat meme di atas (sumber IG @gambar.lucu). Meme yang di masa kini cukup (atau sangat?) populer. Muncul di mana-mana, salah satunya sebagai stiker di chat Whatsapp😀.
Nah, saya jadi membayangkan, andaikan kaset album Kahitna saat itu, alih-alih menggunakan foto para personel atau apalah gambar yang indah-indah, justru pakai meme di atas😀. Haha, punteeen generasi Spotify, Joox, Youtube, Apple Music dll, kami generasi pita kaset mau nostalgia sejenak.🎶🎵🎶🎵
Oke...tiga paragraf di atas prolog aja yak... Sekarang, saya mau beneran cerita tentang tahu dan tempe.
Awal-awal tinggal di (Gowa yang mepet) Makassar, ibu tetangga sebelah mengajak saya beli tahu dan tempe langsung di tempat pembuatannya. Jadi, bukan di warung atau tukang sayur, gitu... Tempat pembuatan tahu tempe ini tidak seberapa jauh dari kompleks tempat tinggal kami.
Sewajarnya beli langsung di produsen, dengan nominal uang yang sama, kami dapat lebih banyak barang. Misal nih, di warung atau tukang sayur, sepotong tempe harganya Rp 5 ribu. Nah di tempat si bapak-ibu produsen ini, Rp 5 ribu dapat dua potong.
Jiwa emak-emak langsung bersukaria dong... 😀
Lain hari, saya pergi ke sana tanpa ibu. Beli tahu Rp 10 ribu, tempe Rp 10 ribu. Lah..lah..lah, kok banyak banget. Akhirnya, sampai di rumah, tempe dan tahu saya bagi ke ibu sebelah (yang juga pemilik rumah tempat tinggal kami ~ ceritanya, kami ini "kontraktor" gitu...)
"Wah...Mama Ale dapat lebih banyak dibandingkan kalau saya yang beli," kata ibu melihat bungkusan belanja saja.
"Mungkin karena tadi saya belinya pakai Bahasa Jawa, Bu," jawab saya sembari tertawa.
"Haha...betul betul. Pakai Bahasa Jawa jadi dapat lebih banyak ya...," kata ibu terkekeh.
Di sisi lain, mungkin saja saya dapat harga lebih mahal saat belanja ke pasar. Lha wong saya nggak bisa bahasa Makassar atau Bugis. Jangankan bahasa daerahnya, saya bahkan belum lulus penempatan partikel pi-ji-mi-ki dalam dialek Bahasa Indonesia khas Makassar.
Iye ki? KODONG☺ (kasihan)
Sebelum jadi bangga atau malah bete gara-gara cerita di atas, teman DW yang tinggal jauh dari tempat asal, mungkin akan sepakat jika : bertemu orang dengan bahasa daerah asal kita menimbulkan perasaan "pulang kampung." Meski ada Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, rasanya malah lebih asik pakai bahasa daerah. Tak hanya ketika masih di Indonesia, banyak cerita teman-teman di luar negeri yang masih lebih enjoy menggunakan bahasa daerah saat bercakap di negeri orang.
Bahwa Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah, adalah fakta yang membanggakan. Lebih bangga lagi karena perbedaan itu bisa disatukan oleh bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Lebih keren lagi karena Bahasa Indonesia pun berpadu dengan bahasa lokal membentuk dialek khas daerah.
Kitorang pu bahasa memang keren. Menurut ngana?
Tempo hari, saya seperti mendapat validasi (halah..butuh validasi hihihi), saat mendengarkan podcast vokalis Fourtwnty, Ari Lesmana dengan komika Praz Teguh di channel Youtube HAS Creative. Kalau sempat cek, perhatikan menit 16-18... terasa benar Bahasa Minang Pride hehehe..
Primodialisme.
Ini kata yang muncul di benak saya terkait bahasan di atas. Sebelum menulis ini, saya memahami primodialisme dengan makna yang melulu negatif. Kan seringnya terpapar kata primodialisme di media dengan arti negatif. Mungkin berbeda dengan teman-teman yang memang mengaji ilmu sosial.
Ada teman DW yang juga demikian? Toss dulu yak... Tapi ternyata saya salah lhoo...
Menulis topik ini membuat saya re-chek makna kata primodialisme. Lalu, bertemulah saya dengan beberapa artikel, yang menjelaskan jika primodialiasme juga punya sisi/makna positif.
Salah satunya bisa dicek di bit.ly/primodialisme. Artikel tersebut menjabarkan arti primodialisme menurut beberapa ahli. Kesimpulannya, primordialisme merupakan sebuah pandangan atau paham yang memegang erat hal-hal yang dibawa sejak kecil. Baik itu mengenai adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, dan hal lain yang sudah ada di dalam lingkungan pertamanya.
Primodialisme umumnya dilatarbelakangi faktor suku, kedaerahan, dan agama. Di satu sisi, primodialisme punya sisi positif, antara lain :
- Meningkatkan cinta tanah air.
- Meningkatkan kesetiaan pada negara.
- Meningkatkan semangat patriotisme.
- Menjaga keutuhan budaya.
Tanpa primodialisme (positif), mungkin kita tak akan menyaksikan warna-warni budaya dalam perayaan ulang tahun kemerdekaan di istana negara. Tradisi mengenakan aneka pakaian adat di beberapa tahun belakangan, selalu sukses membikin hati nyesss. Sebegitu kayanya budaya kita, kawan. Meski nanti #gantipresiden, semoga tradisi warna-warni baju daerah dalam 17-an di istana tetap berlanjut.😀
*Oleh karena itu, tanpa mengurangi apresiasi pada kesuksesan Farel Prayoga menggoyang istana, saya agak menyesalkan pilihan lagunya sih...Andaikan dia menyanyikan medley campursari beberapa lagu daerah Indonesia, mungkin akan lebih terasa #nuansaperayaankemerdekaannya*
Kalau dampak negatif dari primodialisme, tentunya teman-tema sudah sangat mengerti ya... Ketika primodialisme berada di atas ambang batas, jadinya malah hal-hal sebagai berikut :
- Terjadinya konflik antar suku/agama/daerah (halooo...apa kabar tawuran antar sekolah/antar kampung? Masih aja kita dengar ya...So sad.
- Terjadinya diskriminasi.
- Menghambat hubungan antar bangsa ("seru" ya kalau baca psy-war netizen lintas bangsa di media sosial😭)
- Mengurangi obyektifitas ilmu pengetahuan.
- Menghambat modernisasi.
- Mengganggu kelangsungan/kedamaian hidup suatu bangsa.
Saya tertarik menulis topik ini karena.... ini bulan Agustus. Jadi beberapa tulisan di bulan ini ada #nuansakemerdekaan dan #nuansakebangsaan gitu.
Menarik (bagi saya) saat mengetahui arti positif dari primodialisme. Eh, jadi ingat deh lagu Agnes Mo, Tak Ada Logika. Juga hits eyang cantik Vina Panduwinata berjudul Logika. Haha, pilihan lagunya khas millenial banget ya... Tapi kuping saya juga enjoy kok dengerin "lagu-lagu senja dan kopi" hihihi.
Primodialisme layaknya cinta, ketika dijalankan berlebihan tanpa logika, alhasil jadi kacau semata. Namun, ketika cinta dicurahkan dengan logika kemanusiaan, terciptalah harmoni dalam kebhinnekaan.
Dirgahayu RI ke-77. Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat. (*DW*)
______________________
Terima kasih sudah membaca.
Shortcut ke daftar tulisan blog DW, klik sitemap
______________________
Referensi : bit.ly/primodialisme
Secara tidak sadar kita itu primodialisme, ya, apa pun yang diketahui dan dipelajari sejak kecil itu pasti masih ada yang secara tidak sengaja pasti muncul. Enggak heran sih, karena saat masih kecil itu kuat banget memori jadi apa yang diajarkan pasti juga dilakukan sampai besar, itulah pentingnya parenting. Skandal tahu tempe hemm.
BalasHapusDan ternyata ga masalah kalo primordial kan mbak..
HapusAsal ga overdosis, ternyata positif. Tuh mba nisa primordial ngalam hihihi
Wah, seneng ya bs jalam2 ke produsennya. Jd kepikiran juga nih
BalasHapusJadi mengulang kembali materi primodialisme. Di sini, di tempat perantauanku, rata-rata sebagian warganya memiliki suku yang sama, dan ya bisa dilihat seperti hanya pindah saja karena ketemunya dengan suku yang sama. Ya ngobrolnya juga menggunakan bahasa daerah setempat dan beberapa merasa terganggu malah, karena ya itu tadi, suku lain jadi kesulitan untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Positifnya, kalau bertemu dengan tetangga yang satu suku ya ada kenyamanan tersendiri saat ngobrol atau memiliki keistimewaan jika membeli barang misalnya, ditambahin gitu yaa
BalasHapusNgomongin farel prayoga, kan dia masih bocah cilik knp gak nyanyi lagu anak2 aja macam era 1990an - 2000an dulu. Keknya lebih cocok daripada lagu yg viral sekarang
BalasHapusSaya juga berpikiran seperti ini. Tapi, mungkin mengambil momen viralnya. Meskipun saya gak ikutan kehebohannya, sih :)
HapusAhaha kadang tu kalau di perantauan ketemu sesama org jawa eh jd kyk ketemu saudara misal orgnya penjual apa gtu suka ditambahin porsinya.
BalasHapusTp emang yang namanya primodialisme berlebihan jg gak elok.
Soal Farel nih, emang kyknya dr presiden2 sblmnya kan jg ada bbrp lagu yg muji2 pemimpin negara, katanya sih di tiap era ada, kyk zaman Soeharto aku inget bu Titiek Puspa nyanyi lagu yang ada kalimat "terima kasih bapak kami Soehartoooo" nah skrng eranya pak Jokowi wkwk, tp emang kalau Farel bisa menyanyi bbrp lagu dalam bahasa lainnya lbh baik lg keknya yaa, atau mungkin udah ada penampil lain jd yg sesi itu khusus muji2 presiden haha malah dibahas :D
Primordialisme memang seperti pedang bermata dua ya mba.. ada sisi positif dan negatifnya. Sepanjang kita bisa menjaga balancenya, kita bisa mendapat manfaat dari semangat ini
BalasHapusHidup tempe!!, Eh.. Aku suka bahasan mu mba, memang di beberapa sisi primodialisme menggambarkan rasa cinta tanah air namun kebablasan nya kadang sudah menyentuh area cinta mati kedaerahan yang sedikit lagi bisa mengarahkan ke sukuisme namun kita sebagai warga negara yang baik patut mengapresiasi tanpa berlebihan sehingga budaya lainnya tidak merasa terpinggirkan. Sejatinya pemimpin harus bisa merangkul semua nya
BalasHapusKalau perantau ketemu yang satu daerah itu rasanya nggak karu karuan senangnya ahahaha. Aku dulu pas tinggal di Siak Riau ngerasa orang Jawa sendiri, karena mayoritas disana orang asli Sumatera. Pas keteru orang jawa satu, adudu itu rasanya seneng banget.. Apalagi kl pas orangnya jualan, udah pasti dapet banyak bonus ahahaha
BalasHapusMpo suka nih kalau ada orang bahasa daerah di luar negri. Bagaikan ketemu saudara jauh dan makin dekat persaudaraan
BalasHapusSegala yang berlebihan emang tidak bagus, dalam agama juga di katakan demikian mak. Btw emang seneng ya maak kalau ketemu suku sama di perantauan serasa ketemu sodara.
BalasHapusFenomena farel bener sih kentar diatad kenapa ga menyanyi lagu seusianya aja yaa...
Pas berita Farel nyanyi di acara kemerdekaan viral d medsos sy kepikiran harusnya ada nih lagu campur sari tapi tema lagunya anak-anak (bukan cinta-cinta gitu) , semoga kepikiran buat para pengarang lagu campur sari bikin versi lagu anak-anaknya
BalasHapusPrimordialisme kalau secara sosiologis diartikan sebagai perasaan cinta dan bangga akan ikatan primernya. Ikatan yang dibawa dari lahir.
BalasHapusPrimordialisme tak selalu berdampak negatif. Sebab bisa juga mendorong nasionalisme dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki
Saya alami tuh saat di perantauan, ketemu sama orang Indonesia meski beda suku dan bahasa daerah, udah berasa ketemu sodara aja. Bahkan sampai sekarang masih komunikasi dan kami lanjut silaturahmi. Orang Indonesia mah da gitu...
BalasHapusKetawa pas baca ini "belum lulus penempatan partikel pi-ji-mi-ki dalam dialek Bahasa Indonesia khas Makassar" di Jogja juga gitu mb, kalau belanja di Malioboro pake bahasa Jawa harganya beda
BalasHapusKaya gitu namanya primodialisme ya
BalasHapusJadi ingat kalau dulu masih satu kota, tapi tiap desa ada kata atau gaya ngomong yang berbeda. Apa pun itu, mari maknai positif karena jadi beragam kan budaya dan bahasa kita
Aku sih memaknai primordialisme sebagai sesuatu yang positif dan dibutuhkan dalam kondisi sekarang. Tentu saja dengan catatan yang sama seperti mbak sebutkan, jangan kebablasan. Dan sebenarnya primordialisme yang kebablasan itu juga awalnya karena insecure dengan dirinya sih. Jadi secara otomatis mencoba mempertahankan identitasnya dengan menarik batas tegas dan bersikap keras atau reaktif dengan yang lain.
BalasHapusaku sendiri setiap hari ga bahas indonesia baik dan bener, suka nyampur mungkin krn kebiasaan tiap hari ngomong sama ortu bhs ibu daerah. jadi pas tinggal lama di jakarta juga ga ubah bahasa ibu kuuu entah emang aku model yang rada daerah *mungkin jadi seneng kalau ketemu sesuku
BalasHapusBahasannya menarik nih soal primodialisme. Aku ngalamin banget nih, contohnya pas belanja di pasar thrift deket rumah. Biar dapat harga murah style-nya harus biasa banget kayak lagi beli telur ke warung plus kalau nawar harga harus pakai bahasa Sunda, biar dimurahin. Hahaha.
BalasHapusMembahas Primodialisme ini tentu gak lepas dari pengasuhan yaa, kak Lis..
BalasHapusAku sendiri sering pindah-pindah kota dan pulau, persis seperti kak Lisdha. Sehingga pemahaman Ibuku terhadap sebuah suku (tempat dimana kami biasanya tinggal) tuh cenderung judgement.
Jadi justifikasi ini membentuk pola pikirku juga sampai saat ini terhadap sebuah suku.
Huhu...dan butuh kejadian nyata untuk menghilangkan kebiasaan ini.
Hehe iya banget nih, primordialisme juga banyak terjadi di sini. Sama juga, kalo belanja dengan pake unsur kesukuan, urusan lancar. Tapi kalo nasional, kadang kala macet. Di pemerintahan juga gitu. Ada enaknya dan gak enaknya. Susah ya memang melepaskan primordialisme ini.
BalasHapusAndai ia tahu ini jadi lagu kesukaan saya. Ngehits pada zamannya. Saya era 90an soalnya. Musiknya enak-enak didenger. Di zaman tempe 10 ribu bisa dapat 2 iket yang agak gede. 2 ribuan malah Yang ukuran kecil hehe ... Memang iya sih meski ada Bahasa Indonesia kadang lebih enak pakai Bahasa Daerah buat percakapan sehari-hari
BalasHapusHuaa lagu Kahitna yang Andai Dia Tahu tuh lagu favoritku e. Hehe. Bener banget kalau ketemu orang sedaerah itu rasanya gimana gitu. Primodialisme ini memang ada untung ruginya ya mbak
BalasHapusJadi tau arti primodialisme ini mba 👍😊. Bangga banget malah kalo Indonesia punya banyak bahasa daerah, dan semuanya bisa disatukan dalam BHS Indonesia. Temen2 kuliahku dari negara tetangga aja suka kagum kenapa orang2 di Indonesia bisa kompak menggunakan bahasa Indonesia, even yg rasa Chinese. Krn tau sendiri Chinese Malaysia banyaaaaak bgt yg ga bisa bahasa Melayu. Mereka msh bangga memakai dan berbicara dlm BHS mereka sendiri. Kalopun ngomong Ama orang pribumi, LBH suka pakai BHS Inggris. JD bahasa Melayunya ga merata dipakai. Untung Indonesia ga seprti itu 😁
BalasHapusAkhirnya aku paham primodialisme ini. Sesuatu yg berlebihan jadi nggak baik sih ya, ushakan ke arah yg positif terus.
BalasHapus