Saya baru tahu kalau kata sowan ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semula, saya menggunakan kata dari basa Jawa alus itu dengan alasan penghormatan. Berkunjung pada orang yang lebih tua dan kita hormati, wajar menggunakan kata sowan.
Sekarang sih mudah saja untuk sowan. Seandainya hidup sezaman beliau, saya malah sangsi bisa sowan. Beliau anggota keluarga kerajaan, sementara saya perempuan dari kalangan rakyat kebanyakan.
Dengan tata sosial saat itu, perempuan dan rakyat jelata jelas bukan status yang menguntungkan (sekarang juga masih begitu sih, tapi setidaknya tak semengerikan waktu itu.. terima kasih para pahlawan emansipasi!). Jika hidup pada masa itu, rasanya saya tak akan punya akses menembus lingkaran beliau. Apalagi, beliau bukan sekadar bangsawan biasa, melainkan pemimpin besar Perang Jawa.
Pasti langsung ketahuan, siapa pangeran yang saya maksudkan.
Pangeran Diponegoro sering dilukiskan sedang mengendarai kuda |
Ya, Pangeran Diponegoro! (Beberapa sumber menulis namanya dengan huruf “a”, Dipanegara). Beliau putra tertua Sultan Hamengkubuwana III, tetapi menolak menjadi sultan karena terlahir dari garwa selir. Posisi ibunda yang membuatnya merasa tak berhak atas gelar putra mahkota. Selain itu, Pangeran Diponegoro yang religius merasa tidak cocok dengan kehidupan mewah di dalam istana.
Kemewahan dalam istana berbanding terbalik dengan kondisi rakyat kebanyakan. Saat itu, akibat pengaruh Belanda, rakyat menanggung pajak yang tinggi. Belanda banyak mencampuri urusan istana dan ironisnya istana tak mampu (atau sekaligus tak mau?) menolaknya. Puncaknya ketika Belanda mematok lahan nenek Pangeran Diponegoro untuk membuat jalan kereta api. Perang Jawa pun meletus.
Di masa sekolah, entah mengapa ilmu sejarah belum terasa sebagai pelajaran yang menyenangkan. Nama Pangeran Diponegoro berlalu sekadar sebagai bahan pelajaran, yang mungkin akan muncul dalam soal ujian. Pengetahuan saya tentang Perang Jawa sebatas perang akbar yang merepotkan pihak kolonial. Perang lima tahun (1825 - 1830) yang menghabiskan banyak sumber daya (dan dana) pemerintah kerajaan Belanda.
Saya lupa, jika setelah penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang, beliau dibuang ke Manado, lalu dipindahkan ke Ujung Pandang (sekarang Makassar). Di Ujung Pandang, Diponegoro dikurung di Benteng Rotterdam. Di usia 69 tahun, ia menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan.
Saya lupa….sungguh saya lupa.
Hingga saya pindah tinggal dari Medan ke Makassar. Suatu hari, ketika menunggu hidangan mie pangsit di sebuah tempat makan, saya iseng membaca stiker iklan yang memuat peta wisata Makassar. Hei….. ada makam Pangeran Diponegoro di kota ini! Saya bilang BJ, ayo kapan-kapan kita kesana. BJ setuju.
Mungkin ada alasan primordial yang mendorong saya untuk kesana. Tapi itu bukan alasan utama.
Baca : Primodialisme Tahu Tempe
Beranjak usia, saya menemukan rasa asik ketika berhubungan dengan topik sejarah. Mungkin karena mulai bertumbuh keyakinan, jika waktu sekarang tak lepas hubungan dengan waktu yang telah lama lewat. Saya juga mulai menikmati kunjungan ke makam, terlebih jika makam itu punya nilai historis.
Ini bukan soal ziarah, apalagi ngalap berkah. Tapi itu tadi, saya mulai suka bahasan masa lalu meski masih jauh dari level gila_sejarah. Kunjungan ke makam juga nyaris selalu mampu memantik tombol reflektif. Kematian memang misteri, tapi dalam hitungan normal, semakin berumur berarti semakin dekat jarak dengan makam, bukan?
Baca : Makam dan Pengingatan
Waktu itu, saya masih sangat buta peta Makassar. Kata BJ, makamnya terletak di daerah kota. Tak jauh dari tempat kami makan mie pangsit. Tapi, tidak pada hari itu juga kami ke sana. Baru beberapa waktu kemudian, kami sempatkan waktu untuk sowan ke makam pangeran.
***
Sejujurnya, saya sudah banyak lupa detail kunjungan waktu itu. Saya mesti mengecek detail keterangan foto untuk mengetahui tanggal kunjungan, terbaca 20 Oktober 2020. Hhhm…. sudah hampir dua tahun saya menunda untuk menuliskannya. Prokrastinasi macam apa ini… Huh!!!
Bersyukurnya, saya tim pemetik hikmah dari segala sesuatu (uhuuuuuk). Meminjam istilah seorang teman, sebuah kunjungan adalah tabungan kenangan. Saya menabung hampir dua tahun, rentang waktu yang ternyata mampu menggandakan secuil pengetahuan saya tentang Diponegoro dan Perang Jawa. (Hehe, berarti tabungan saya bukan investasi bodong😀).
Pengetahuan bukan berarti hafal tanggal-bulan-tahun dan nama-nama seputar peristiwa (aduuh, dulu poin-poin ini yang jadi momok dari pelajaran sejarah). Melainkan lebih memahami peta situasi dan menambah wawasan kebangsaan.
Ini bulan Agustus. Bulan bersejarah bagi Indonesia. Moment yang pas untuk menarik tabungan kenangan seputar pahlawan lalu membagikannya di blog ini. Berasa sultan dong…bagi-bagi tabungan ^^
***
Saat ini, makam Pangeran Diponegoro (yang berada di Jalan Diponegoro!) berada di antara kawasan perniagaan yang cukup padat. Di tahun 1800-an, mungkin tempat ini cukup jauh dari keramaian. Tak ada tanda mencolok di area depan makam, kecuali papan nama dan tulisan penanda di bagian gapura. Meski sudah dituntun google-map, kami sempat bablas dan harus kembali berputar.
Siang itu, suasana sepi. Dari luar, kompleks makan terlihat bersih dan teduh. Begitu masuk gerbang, mata langsung menumbuk jajaran makam. Nantinya, kami mendapat penjelasan, tempat ini memang kompleks makam Pangeran Diponegoro, istri, beserta keturunannya. Dua makam berukuran besar langsung membetot perhatian. Itulah makam Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Ratnaningsih, istri resmi yang menemani di pengasingan.
Kami mengisi buku tamu, lalu berbincang dengan seorang keturunan Pangeran Diponegoro yang berada di kompleks makam (waktu itu saya mencatat nama beliau, tapi catatannya entah di mana). Kami ngobrol lumayan lama, sampai Ale Elo bosan dan malah main sama kucing.
Semasa hidup, Pangeran Diponegoro punya beberapa istri. Ada beberapa versi yang menjelaskan tentang hal ini. Salah satunya, penulis sejarah Peter Carey dalam buku “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855). Carey menyebut Pangeran Diponegoro menikahi empat istri resmi dan beberapa selir. Pangeran Diponegoro setidaknya memiliki 17 anak dari istri-istri resminya. Sumber lain menyebut, Diponegoro punya 22 anak dari semua istrinya. Melansir dari detik.com, saat ini, keturunan Pangeran sudah mencapai ribuan orang dan tersebar di dalam maupun luar negeri.
***
Dalam buku Kiprah, Karya, dan Misteri Kehidupan Raden Saleh :Perlawanan Simbolik Seorang Inlander, yang ditulis oleh Katherina Ahmad, ada pembahasan tentang lukisan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro.
Adalah lukisan karya Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal de Kock” atau “De Gevangenneming van Prins Diponegoro door Generaal de Kock”. Lukisan tersebut dibuat tahun 1857 (27 tahun setelah Perang Jawa usai) dan dihadiahkan kepada Raja Willem III.
Uniknya, lukisan itu merupakan remake dari karya Nicolaas Pieneman yang berjudul “Takluknya Diponegoro kepada Letnan Jenderal de Kock, 28 Maret 1830” atau “De Onderweping van Diepo Negoro aan luitenant-general De Kock, 28 Maart 1830”.
Deuuuu, mesti mengeja untuk mengetik judul dalam Bahasa Belanda-nya.
Saya tak paham tafsir seni rupa. Seandainya diperhadapkan pada dua lukisan tersebut dan disuruh mencari perbedaannya, mungkin saya hanya bisa menunjukkan perbedaan yang eksplisit. Lain cerita bagi orang yang berkutat dengan semiotika, perbedaan dua lukisan itu bisa menjadi cerita yang panjang….dan menarik. Seperti dipaparkan di buku ini... Saya jadi sedikit belajar tafsir lukisan deh.
Pieneman menghadirkan lukisan dalam nuansa kepentingan pemerintah kolonial. Ini langsung tampak dalam judul, kata “takluk” seolah-olah Diponegoro hadir dalam pertemuan itu untuk menyerahkan diri. Sejalan dengan judul, lukisan Pieneman menggunakan gambaran dan lambang-lambang yang menunjukkan kekuasaan Belanda (misal keberadaan bendera triwarna yang ditiadakan (?) di lukisan Raden Saleh.
Sebaliknya, meski untuk hadiah bagi Raja Belanda, Raden Saleh berani memberi gambaran yang berbeda. Dari judul pun, sudah tampak perbedaan. Kata “penangkapan” menunjukkan inisiatif (licik) dari pihak penjajah. Raden Saleh juga menggunakan gambaran dan simbol-simbol yang menunjukkan keberpihakan pada Diponegoro. (Ingat, waktu itu belum terbentuk entitas bernama Indonesia).
Melihat dua lukisan tersebut memperkaya kesan saya pada kunjungan ke makam Sang Pangeran. Hari itu, sebelum Ale Elo protes karena bosan, kami pamit pulang. Tak heran kalau Ale Elo belum tertarik, di usia mereka, saya juga belum suka cerita beginian. Tapi, siapa tahu, walaupun samar suatu hari mereka akan mengingatnya sebagai moment yang berharga. Kita sering tak tahu, kapan ide yang disemai akan bertumbuh dan berkembang.
Dirgahayu ke-77, Republik Indonesiaku (*/DW)
💚Terima kasih telah berkunjung.
💚Untuk melihat daftar tulisan di blog ini, bisa langsung ke SITEMAP
Menarik sekali perbedaan kedua lukisan di atas, ya. Keturunan Pangeran Diponegoro adakah yang menjadi orang terkenal?
BalasHapusKalau baca di berita sih, Asri Welas salah satu keturunan Diponegoro. Tapi saya cuma baca ya...gak cek and ricek :D
Hapusaku belum pernah mampir ke sini mba.. banyak hal menarik dan sejarah yang bisa kita pelajari ya dari sosok Pangeran Diponegoro ini
BalasHapusIya mb insav.. ada sisi2 lain yg menarik jg dr beliau
HapusWow, wisata edukasi yang seru nih bareng keluarga. Bisa mengetahui makam Pangeran Diponegoro serta sejarahnya. Aku pernah membaca tentang dua lukisan yang mirip ini ada perbedaan dari hal kekuatan maupun perlawanan rakyat terhadap Belanda. Makam beliau terlihat bersih terpelihara ya. Semoga kapan2 aku dan keluarga bisa berkunjung ke tempat ini.
BalasHapusAmin mbak..semoga bisa mbolang sulsel. Saya sih karena numpang pindahan hehehe
HapusSeru banget mbak, aku baru kali ini lihat makan Pangeran Diponegoro. PAstinya ini jadi satu wisata edukasi bareng anak-anak ya mbak. Makamnya rapi dan bersih, bikin pengunjung nyaman
BalasHapusIya mbak
Hapus.
Wisata edukasi sih mmg tujuannya. Walo mereka blm terlihat tertarik sih hahaha.. tapi ya mana tau terekam dalam ingatan anak2
Saya juga lupa sejarahnya ternyata makam Pangeran Dipenogoro bukan di Jawa ya tapi di Ujung Pandang atau Makassar. Bisa jadi wisata sejarah juga kalau ngajak anak ke sini ya Mba. Sekalian Kita bisa jelasin tentang profil Pangeran Dipenogoro
BalasHapusKalo tinggal di daerah baru, segala2 jadi tempat wisata ya kan mbak hehehe
HapusMenarik ya mbak, aku bacanya sampai ternganga .. betapa sedikitnya pengetahuan yang kumiliki!
BalasHapusPangeran Diponegoro anak HB III juga aku baru tahu sekarang, kasian kan! Iya aku tahu beliau diasingkan - punya beberapa istri juga saat itu wajar karena keterbatasan, dan beliau kan saat perang harus tinggal di beberapa tempat dalam waktu lama. Transportasi tentu tak semudah sekarang.
Untuk yang penangkapan Pangeran Diponegoro juga aku sempat diskusi panjang sama bang Dho suamiku, dia suka mengulik sejarah, dan hapal banget kejadian ini dan itu. Oya tentu saja saat si pihak B menang yang ditulis adalah kisahnya - that is why sejarah - history (his story) karena ya kebenaran itu ada di pihak yang menang
Pasti akan jauh lebih menarik ketika mendapatkan cerita seputar diponegoro dr pov istri2nya ya mbak.. tp ya itu, istilahnya aja history, not herstory #eh
HapusSelain bisa jiarah makam ternyata ada hal lain yang menarik ya yaitu lukisan. Sejujurnya baru umur segini aja saya udah lupa mak gimana cerita dari pangeran Dipenogoro ini. Membaca tulisan ini jadi ngingetin saya lagi
BalasHapusKelak Ale dan Elo akan mengingat pengalaman sowan ke Pangeran Diponegoro sebagai salah satu pengalaman yang mengesankan.
BalasHapusAku sering loh mba, perginya kapan nulisnya kapan. Saking seringnya abis pergi tuh lebih memilih menikmati masa rehat. Hahahaa
Aku lagi di SD dan SMP tidak suka pelajaran sejarah. He he he, kalau guru jelasan gak konsen. Tetapi sekarang paling senang membaca sejarah. Termasuk kisah pahlawan. Ingat banget dulu pelajaran sejarah perang Diponegoro 1825-1830. Btw pak Dip istrinya banyak ya? positfnya banyak anak cucu
BalasHapusBeda emang ya aura yang didapatkan dari kedua lukisan tersebut. Dan tiap orang yang meilhat jadi bebas berekspresi dan berpendapat. Kalau 'sowan' ini ngga pernah dituliskan kita jadi ngga bisa menyimpan kenangan ya mba.
BalasHapus''Di masa sekolah, entah mengapa ilmu sejarah belum terasa sebagai pelajaran yang menyenangkan.''
BalasHapusAduh, sama banget. Seingat saya dulu belajar sejarah itu ngapalin tahun demi tahun. Ada yang keserap tapi gak nyampe ke sanubari gitu. Sekarang saya sukaaa belajar sejarah, dan terbengong-bengong, eh kok baru tau ya, padahal dari asal kota sendiri, hehehe.
Abis baca ni jadi pengen ngulik cerita Diponegoro. Karena ternyata satu pahlawan di daerah A bisa punya hubungan cerita dengan tokoh di daerah B.
PR juga buat saya nih gak boleh nunda-nunda tulisan...kejadiannya kapan, nulisnya kapan, hahaha. Yuk kita lanjut berburu kisah sejarah lagi, karena asli seru.
Wah asyiikk ke makam pangeran diponegoro, ternyata nggak serem ya tempatnya. malah makamnya terawat dan bersih.
BalasHapusWah baru tahu kalau Makam Dipenogoro ternyata adanya di Makassar nih mbak. Memang selalu menarik untukmengulik tentang sejarah karena kita bisa belajar banyak yah. Lumayan banyak juga anaknya sampai 22 yah hehehe
BalasHapuswah aku belum pernah ke makan pangeran diponegoro, anak2 pasti seneng dajak ke sana ya mbak. aku baca beberapa buku sejarah mengenai beliau karena kagum sama kepemimpinannya
BalasHapusSaya baru tahu kalau Pangeran Diponegoro merupakan putra seorang selir. Karena piawainya yang begitu pantas menyandang gelar putra mahkota. Namun sayang, beliau tidak suka kehidupan istana. Dan beliau menjadi pejuang yang membela tanah air.
BalasHapusBeliau ditangkap oleh Belanda, bukan takluk. Setuju dengan lukisan Raden Saleh. Bahwa Pangeran Diponegoro itu ditsngkap bukan ditakluk.
Belanda memang pandai membalikkan fakta.
Eh jujur saya baru tau loh kalau Pangeran Dipenogoro itu anaknya hamengkubuwono. Berarti org Jogja ya? Duh kemana aja, deee..
BalasHapusAku paling senang kalau jalan-jalan ke tempat bersejarah seperti ini mbak
BalasHapusApalagi kalau ajak anak-anak, mereka bisa sekalian sambil belajar sejarah ya
Tosss aaah sana makin tua makin peduli dengan budaya, napak tilas dan sejarah ya maak.
BalasHapusMakin bangga dengan keragaman Indonesia tercinta
Beruntung yang tinggal di Jawa karena banyak spot soal pahlawan kerajaan jaman dahulu yang bisa dikunjungi dan jadi bahan pelajaran buat anak anak
BalasHapusTos kita mbak, dulu waktu jadi anak IPS, saya memang senang mendengarkan pelajaran Sejarah namun masih dianggap sebagai pelajaran belaka, tidak seperti sekarang sepertinya lebih menghayati setiap jalannya sejarah kehidupan para pahlawan dan sejarahnya.
BalasHapusJadi ingat dulu pas Makassar mampir ke benteng Rotterdam dan ada tempat pengasingan pangeran Diponegoro di sana. Agak horor gitu rasanya di sana. Sayang nih saya nggak tahu ternyata makamnya juga ada di sana kayaknya dekat pasar besar itu ya
BalasHapus