Gerbang kompleks Jongaya. Foto : dokumen pribadi |
"Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya terurai dan lagi ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru : Najis! Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya (Imamat 13 : 45-46)"Tumbuh dalam ajaran kekristenan, saya tidak asing dengan nama penyakit kusta. Alkitab memuat narasi tentang penyakit tersebut. Dalam Kitab Imamat di Perjanjian Lama tertulis aturan-aturan agama Yahudi dalam menyikapi penderita kusta. Aturan yang penuh dengan stigmatisasi dan diskriminasi pada orang yang mengalami penyakit kusta. Sementara, dalam Perjanjian Baru dikisahkan tentang Yesus yang mendobrak stigma dan perilaku diskriminatif itu.
Saya pribadi tidak pernah secara intens berhubungan dengan penderita kusta maupun orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Sejauh ingatan, saya lahir dan tumbuh di lingkungan tanpa penderita kusta. Perjumpaan saya dengan mereka paling-paling hanya selintasan. Misalnya, saya melihat orang dengan kusta yang tengah meminta-minta atau berdagang asongan di jalan.
Yah, itulah faktanya. Hingga saat ini, diskriminasi dan stigmatisasi pada penderita kusta itu masih ada. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kampung Kusta Jongaya
Foto : dokumen pribadi |
Sabtu (22 Oktober 2022), saya beserta suami dan dua anak mengunjungi Kompleks Kusta Jongaya di Makassar. Jalan bersama keluarga tidak harus ke tempat wisata, bukan? Ini bukan upaya untuk mendapat komentar “jalan-jalan anti-mainstream.” Namun, saya punya beberapa alasan untuk pergi ke tempat ini bersama keluarga.
Pertama, kampung Jongaya memiliki nilai historis. Kami adalah keluarga yang yang beberapa kali pindah kota dan terakhir pindah pulau. Mendatangi tempat bersejarah adalah bagian dari mengenal daerah yang kami tinggali. Di gerbang Kampung Jongaya tertulis “ANNO 1936”. Kata anno yang lazim terdapat di bangunan lama berasal dari bahasa Latin dan berarti tahun. Sejarah kampung Jongaya sebagai tempat tinggal para penderita kusta memang bisa ditarik ke masa penjajahan Belanda. Pada tahun itu, Kerajaan Gowa menghibahkan tanah untuk mengarantina para penderita kusta di Makassar dan daerah-daerah sekitarnya.. Tindakan itu tak lepas dari stigma kusta sebagai penyakit berbahaya.
Kedua, datang ke kompleks kusta merupakan salah satu cara kami, sebagai orangtua, untuk menabur benih peduli sesama pada anak-anak. Mereka memang tak perlu mengerjakan tugas laiknya tour yang diinisiasi oleh sekolah. Mungkin, mereka juga belum terlalu paham. Namun, cepat atau lambat, semoga benih kepedulian itu tumbuh dan mewarnai perilaku mereka pada sesama.
Ketiga, kami pergi ke kompleks kusta untuk mengedukasi diri. Kami tak tahu banyak tentang kehidupan orang-orang dengan penyakit kusta. Mendengarkan cerita dari mereka secara langsung (tidak sekadar membaca atau menonton) pasti akan berbeda. Jujur, saya sempat merasa ragu untuk pergi terkait fakta kusta sebagai penyakit menular. Pengetahuan saya tentang kusta memang terbilang minim. Jadi, saya membaca beberapa artikel tentang serba-serbi penyakit kusta.
Sejarah dan Penularan Penyakit Kusta
Berdasarkan bukti arkeologis, penyakit kusta diperkirakan telah ada ribuan tahun sejak sebelum Masehi. Menurut laman Kementrian Kesehatan RI, perkiraan ini didasarkan pada jejak sejarah di Mesir, India, dan beberapa tempat lainnya. Di masa yang sangat tua itu, sudah terjadi pengasingan pada penderita kusta. (Ini sejalan dengan time-line Alkitab Perjanjian Lama yang jauh dari mulainya tahun Masehi).
Penyakit kusta juga disebut lepra, yang berasal dari nama bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini ditemukan oleh ilmuwan Norwegia, Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873. Oleh sebab itu, penyakit kusta juga sering disebut penyakit Hansen atau Morbus Hansen. Adapun istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kustha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.
Secara umum, gejala awal penyakit kusta adalah sebagai berikut :
- Ada bercak putih atau merah pada permukaan kulit.
- Berbeda dengan penyakit kulit pada umumnya, bercak itu tidak gatal ataupun sakit (mati rasa)
- Tidak sembuh dengan obat kulit biasa.
Di masyarakat, beredar berbagai mitos yang mengakibatkan diskriminasi pada penderita kusta bahkan juga keluarganya. Mitos-mitos itu antara lain :
- Kusta merupakan penyakit kutukan/hukuman Tuhan
- Kusta merupakan akibat santet/perdukunan
- Kusta merupakan penyakit genetis
- Kusta ditularkan melalui makanan/minuman
- Kusta ditularkan lewat jabat tangan (sentuhan kulit)
- Anak yang terkena kusta merupakan akibat hubungan seksual saat ibu saat kondisi haid.
Fakta kusta menurut hasil penelitian adalah sebagai berikut :
- Kusta disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae
- Kusta ditularkan melalui sebaran liur penderita kusta yang bersin/batuk dan terhirup oleh orang lain
- Penularan terjadi akibat kontak lama dan erat dengan penderita yang belum minum obat.
Berinteraksi atau bahkan tinggal dengan penderita kusta tidak serta merta akan membuat kita tertular. Bisa dikatakan jika penyakit kusta merupakan penyakit dengan penularan yang tidak mudah. Masih menurut laman Kementrian Kesehatan RI, secara statistik 95 persen manusia kebal terhadap kusta. Artinya, hanya lima persen yang rentan tertular kusta. Dari lima persen itu, sekitar tiga persen bisa sembuh dengan sendirinya. Sisa dua persen menjadi sakit dan perlu pengobatan.
Fakta-fakta yang melegakan. Saya tak ragu lagi untuk datang ke Jongaya. Saya akan turut memerangi stigma kusta, mulai dari diri sendiri.
Perbincangan di Jongaya
Kompleks Jongaya berada di Jalan Dangko No 31, Kelurahan Balla Parang, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Akses masuk kompleks ini ditandai oleh gerbang bambu berwarna merah putih khas 17-an. Saya membayangkan situasi daerah itu pada tahun 1930-an. Bisa jadi, tempat itu masih berupa daerah sepi sehingga digunakan untuk mengarantina para penderita kusta.
Kini, kawasan itu terbilang padat. Kompleks Jongaya bukanlah daerah yang terisolir melainkan menyatu dengan kawasan di sekitarnya. Memasuki kompleks Jongaya tak ubahnya seperti memasuki kampung-kampung lain di perkotaan. Jalan yang tak terlalu lebar, diapit pemukiman padat. Kondisi ekonomi warga tercermin dari rumah-rumah yang tampak sederhana. Di beberapa rumah tampak tumpukan barang-barang bekas, menandakan pekerjaan si penghuni sebagai payabo (pemulung dalam bahasa Makassar).
Foto : dokumen pribadi |
Saat ini, kompleks Jongaya ditempati lebih dari 600 keluarga yang terdiri dari 2300-an jiwa. Dari sekian warga, hanya ada sekitar 450 orang dengan kusta (masih sakit maupun sudah sembuh). Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi terutama dari wilayah Indonesia tengah-timur. Orang-orang dengan kusta tinggal berbaur dengan orang-orang tanpa riwayat penyakit kusta.
Saya bertemu dengan Bapak Al-Qadri (51), ketua nasional Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia (Permata). Al-Qadri sudah lama sembuh dari kusta. Namun, penyakit itu membuat jemarinya tampak terpotong. “Saya sudah 13 kali menjalani operasi estetik,” jelas Al-Qadri. Tanpa operasi, kondisi jemarinya pasti lebih parah. Saat kami datang, pria itu tengah mengerjakan sesuatu menggunakan laptop. Kemampuan digital yang tidak ia peroleh dari sekolah.
Al-Qadri berasal dari Wajo, daerah berjarak sekitar enam jam berkendara dari Makassar. Gara-gara kusta, Al-Qadri tak berkesempatan menyelesaikan pendidikan formal, meski sebatas pendidikan dasar. Saat kelas awal SD, ada seorang wali murid yang curiga pada bercak putih di tubuh Al-Qadri. Wali murid ini melapor pada guru. Stigma negatif pada kusta membuat Al-Qadri mesti keluar dari sekolah.
Al-Qadri, ketua Permata (dokumen pribadi) |
Namun drop out sekolah masih tidak cukup. Ia memilih pergi meninggalkan kampung halaman. Sebab, stigma negatif tidak hanya tertuju pada si penderita kusta, tetapi berdampak hingga keluarga besar. “Kalau penderita kusta punya saudari, maka tak akan ada orang yang mau melamar saudara perempuannya itu. Sementara, kalau ia punya saudara laki-laki, maka tak ada perempuan yang mau dinikahi. Saya pergi dari Wajo agar tak menjadi beban bagi keluarga,” kata Al-Qadri.
Di Makassar, ia bertemu jodohnya, Rosdiana (49) yang adalah sesama OYPMK. Dari pernikahan mereka, lahir dua puteri, Nur Hikmawati (27) dan Nur Insani (24). Meski lahir dari OYPMK dan tinggal di Kompleks Jongaya, kedua putrinya bebas dari kusta. Keduanya juga bisa menjalani hidup dengan normal dan kini sama-sama sudah menyandang gelar sarjana.
“Kondisi seperti saya juga dialami oleh banyak OYPMK. Kami lahir dari keluarga tanpa riwayat kusta. Lalu kami menikah dengan sesama OYPMK tetapi anak-anak kami tidak tertular kusta. Itu membuktikan bahwa kusta tidak menular begitu saja,” ujar Al-Qadri.
Meski saat ini sudah lebih baik, Al-Qadri mengatakan, stigma pada penderita kusta masih ada di masyarakat. Sebab itu, melalui Permata, ia dan rekan-rekannya terus berjuang untuk advokasi hak-hak OYPMK. Bulan November ini, Al-Qadri akan turut dalam rombongan Indonesia dalam International Leprosy Conference di India.
Sebelum berbincang dengan Al-Qadri, saya lebih dulu diterima Ibu Rahmatia (72) di rumah tinggalnya yang bercat biru tua. Rumah itu bukan milik pribadi. Dengan status tanah wakaf, Rahmatia dan almarhum suaminya hanya menempati rumah itu tanpa mempunyai sertifikat. Meski demikian, ia bersyukur karena kompleks Jongaya merupakan tempat yang ramah untuk penderita kusta maupun OYPMK.
Rahmatia sudah lama sembuh dari kusta. Namun, penyakit itu melenyapkan jari-jari kakinya. Rahmatia berkisah, dulu para penderita kusta sering ditolak naik pete-pete (sebutan untuk angkutan kota di Kota Makassar). “Bahkan, kalau sudah telanjur naik akan dipaksa turun,” kata Rahmatia. Menurutnya, kondisi saat ini sudah relatif membaik. “Kami tidak ditolak lagi kalau naik pete-pete,” imbuh Rahmatia.
Di ruang tamu Rahmatia, terdapat sebuah mesin jahit. Ia bisa menjahit berkat pelatihan yang ditujukan untuk OYPMK. Ketrampilan itu berguna untuk mendapatkan penghasilan. Selain menjahit pakaian, Rahmatia juga menjahit plastik bekas kemasan minyak dan sabun menjadi tas. Sebelum pandemi COVID, karya daur ulang itu dikirim ke Belanda. Dalam sebulan, ia bisa membuat 50 tas senilai Rp 1,75 juta. “Tapi, sejak pandemi, belum ada lagi pesanan dari Belanda. Kalau dijual di sini kurang laku,” ungkap Rahmatia.
***
Mendung tebal membuat kami cepat-cepat pamit dari Jongaya. Saya bersyukur untuk kesempatan datang dan berbincang di sana. Memang bukan perbincangan yang sangat mendalam, tetapi cukup memperkaya perspektif saya tentang penyakit kusta dan kemanusiaan.
--------------------------------------------
Referensi :
https://fkm.unair.ac.id/hari-kusta-sedunia-mengenal-kusta-hapus-stigma-dan-diskriminasi
https://www.kemkes.go.id/article/view/19020800001/waspada-kusta-kenali-cirinya.html
Twitter Ditjen P2P Kemenkes RI @ditjenpppl
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20140403/1910048/penyakit-kusta/
Sedih dengar cerita Pak Al-Qadri, ternyata seberat itu tekanan penderita kusta. Aku baru tau Mba ttg stigma itu. Apa sampai sekarang diasingkan dari keluarga beliau Mba?
BalasHapusWah..kemarin malah lupa tanya ttg kondisi skrg. Tapi mungkin sudah tidak ya..kan beliau sudah sembuh
HapusKusta ini dibilang penyakit kutukan ya, padahal dengan dukungan teknlogi, pemerintah, dll, penyakit ini bisa disembuhkan. Mudah2an para penyintas kusta bisa segera mendapatkan kesembuhan dan hidupnya berjalan dengan normal kembali tanpa stigma dari masyarakat
BalasHapusSaya jg salut karena obat kusta termasuk yg digratiskan.
HapusSampah kalau tidak ditata dan dipilah dengan baik kayak gini memang bikin kompleks rusuh, jadi senang lihatnya kalau rapi gini. Soal kusta banyak yang mengucilkan penderita penyakit ini karena stigma negatif. Terima kasih sharingnya!
BalasHapusSama2 mb annisa ^_^
HapusSama2 mb Nisa :)
HapusHarus bgt kita mengedukasi masyarakat supaya stigma negatif kusta bisa lenyap ya mba.
BalasHapusKarena kasian juga kan klo stigma itu tetap ada.
Nggak kebayang gimana sedih dan depresinya ketika dikucilkan, bahkan keluarga penderita kusta juga ikut dikicilkan, kampung kusta menjadi penyemangat dan contoh penderita berhak mendapatkan akses kesehatan dan mampu berkarya
BalasHapusYa ampun mbak, kepikiran banget main ke kampung kusta yang pastinya ga semua orang tega atau berkesempatan dengan leluasa ke lingkungan yang tidak jauh dari pasien kusta, baik yang sudah sembuh atau akan sembuh. Terimakasih atas cerita Bapak Al Qodri dengan operasi estetiknya sampai 13x huhuhu dan kampung Joyanga nya menginspirasi saudara saudara kita yang terkena kusta untuk terus bersemangat menjalani hidup
BalasHapusSedih banget drop out dan meninggalkan kampung halaman.. aku baru tau mba yg tentang stigma kusta karena hasil hubungan saat haid. Klo yg lainnya udah familiar. . Ada2 aja stigmanya dan masih terus berlanjut klo nggak ada informasi yg jelas seperti ini. . Semoga mereka yg menderita kusta bisa lekas sembuh, lekas penanganannya pula. Stigma pun moga berakhir
BalasHapusYa Allah, sedih ya, para penderita kusta dikucilkan sampai sebegitunya. Untung ada kampung Jongaya ya, jadi mereka bisa melanjutkan hidup di sana dan bisa diterima.
BalasHapusAlhamdulillah juga sekarang ada edukasi seperti ini, jadi makin terbuka dan semoga ke depannya para penyakit kusta bisa dianggap seperti penyakit kulit lainnya.
Aku baru tahu tentang Kampung Jongaya ini dan kisah2 Bapak Al Qodri. Kalau mendengar cerita zaman dulu soal penderita kusta, sedih banget. Alhamdulillaah kini pemerinta semakin memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Kusta bisa disembuhkan asal sabar dan butuh waktu. Semoga mereka yang masih berada di sana lekas pulih dan tabah menjalani hidup aamiin.
BalasHapusWah mba keren banget cara mengisi liburannya
BalasHapusBeneran inspiratif dan ngasih ilmu banget. Soalnya aku cuma tau sedikit tentang kusta, dan yang aku tau juga kusta sama halnya dengan penyakit aids yang wajib dijauhi. Tapi ternyata sama seperti pengakit lain ya mba, nular pun lewat droplet dan bukan penyakit bawaan juga. Semiga kedepannya pemerintah dan dinas kesehatan terkait lebih memperhatikan lagi ya para penderita kusta ini
Stigma masyarakat akan penyakit kusta memang terkesan memojokkan para penderita kusta. Salut dengan perjuangan para penderita kusta yang berhasil mengentaskan diri dari penderitaan dan dapat hidup layak seperti orang lain pada umumnya..
BalasHapusMasyaAllah aku jadi tahu kalau ada kampung kusta di sana. Keren banget meskipun OYPMK tapi pak Al -Qadri dan istrinya tetap bisa bekerja dengan baik ya mbak.
BalasHapusBaru tahu juga kalau yang rentan kena kusta hanya 5% ya mbak, sisanya kalau sehat dan imun bagus gak akan kena.
Terima kasih pengetahuannya :D
Bacanya ikut nyesek, bagaimana penderita kusta masih diberikan stigma dan mendapatkan diskriminasi, sampai ditolak naik pete-pete. Betapa Pak Al Qadri, Rahmatia dan OYPMK lainnya berhak mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama layaknya kita yang normal. Makasih ceritanya, Mbak Lisdha
BalasHapusAku baru tahu loh mbak, ada kampung khusus yang dihuni OYPMK di Makassar. Semoga dengan makin seringnya edukasi tentang kusta, masyarakat tahu kalo penyakit ini tidak menular
BalasHapusiya aku pun baru tau ada kampung kusta dari tulisan kamu ini lho mba. Jadi pengobatan kusta bisa dilakukan dengan kombinasi MDT (Multi Drug Therapy) dan kemungkinan sembuh juga makin besar ya
BalasHapusBagaimanapun mereka butuh ketrampilan ya mba untuk mendapatkan penghasilan. Semoga makin laris juga tasnya untuk dijual di Indonesia dan tak hanya di Belanda. Laris manis barangnya.
BalasHapusShalom kakak,
BalasHapusSedih ya stigma di masyarakat yang terus masih ada untuk mereka yang alami kusta. Padahal kusta itu tidak menular dengan cepat loh, kecuali kita intens bertemu
Semakin banyak masyarakat yang ter-edukasi tentang penderita kusta dan OYPMK,dan semakin banyak instansi yang terlibat untuk penyembuhan pemulihan dan kesempatan yang lebih baik untuk OYPMK ke depannya,semoga kebaikan kebaikan meliputi kita semuanya :)
BalasHapusBaru tahu di makasar ada kampung kusta. Jadi pingin nyari tau di palembang ada gak ya? Mau ngajak wawancara juga. Biar makin banyak yg aware sama penyandang kusta.
BalasHapusReally appreciate what you do mbak
BalasHapusBerjalan jalan dengan keluarga ke kampung kusta mengubah cara dan sudut pandang kita sebagai manusia ya.. keren mbak
Kunjungan yang bermanfaat ya, Mbak
BalasHapusDulu kusta memang stigmanya negatif banget bahkan dikucilkan. Sekarang pengobatan dan ilmu pengetahuan tetang lepra ini sudah banyak. Jadi kita harus buka mata bahwa mereka ya sama dengan kita. Bisa sembuh juga kan
Jadii pengen juga ajak anak2 ketempat spt itu makk....bekasi jakarta ada gak ya...cari aah...bagus buat edukasi anak2.
BalasHapusAngka penderita kusta di Indonesia masih tinggi ya mbak
BalasHapusSayangnya, stereotipe tentang penderita kusta juga masih tetap ada
Kak Lis, jadi para OYPMK ini awalnya tinggal di tempat lain, namun karena kusta dan disabilitas makan dilokalisasi di kompleks Jongaya?
BalasHapusSemoga dengan berkunjung begini jadi semakin besar rasa simpati dan empati terhadap penderita kusta dan disabilitas.
Stigma masyarakat tentang penyakit kusta jahat banget ya dulu, sampai dikucilkan keluarganya juga.
BalasHapusBersyukur bapak Al Qadri bisa sembuh meski harus melewati operasi 13 kali.
Semoga Kampung Jongaya bisa terus menyemangati penderita kusta buat semangat hidup & berkarya
Sejujurnya aku pun minim banget pengetahuan ttg kusta. Dulu juga sempet mikir ini penyakit yg sangat menular, padahal penularannya ga segampang itu. Bercak2 putih pun ga selamanya pasti kusta. Cuma terkadang orang2 udah pada nuduh duluan itu kusta.
BalasHapusTapi seneng sih, setidaknya skr ini informasi ttg kusta sudah banyak, dan penderitanya juga bisa disembuhkan, bahkan obat gratis. Kalo ini penyebabnya dari bakteri, berarti ada hubungan dengan tempat tinggal atau lingkungan kotor ya mba? Dan setelah terkena, baru menularnya lewat sebaran liur atau kontak erat kan ya..