Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Setuju nggak? Kalau aku sih setuju meski praktiknya masih abai dalam beberapa hal 😀. Kalimat sugestif itulah yang mendorongku ikut test IVA dan Sadanis di Puskesmas Samata, Gowa, Sulawesi Selatan pertengahan Oktober lalu. Tes IVA (inspeksi visual asetat) berguna untuk deteksi dini kanker serviks, sedangkan Sadanis (periksa payudara klinis) merupakan deteksi dini kanker payudara. Tes-nya gratiss tisss, bahkan selesai tes aku dapat snack dan uang transport.
Berasa anak kecil yang dikasih uang jajan setelah nangis nahan sakit hihihi.
Menurut data Kementrian Kesehatan RI, kanker merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi setelah gangguan jantung (kardiovaskuler). Di antara sekian jenis kanker, kanker payudara dan kanker serviks (leher rahim) berada di urutan pertama dan kedua. Meski kanker payudara juga bisa menyerang laki-laki, tetapi mayoritas penderitanya adalah perempuan. (Dulu aku heran ketika membaca artikel tentang kanker payudara pada laki-laki).
Di laman katadata.co.id, pada tahun 2020 total tercatat 396.914 kasus kanker di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 65.858 (16.6%) merupakan kasus kanker payudara. Menyusul kanker serviks di urutan kedua dengan jumlah 36.633 kasus (9.2%).
Berasa anak kecil yang dikasih uang jajan setelah nangis nahan sakit hihihi.
Menurut data Kementrian Kesehatan RI, kanker merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi setelah gangguan jantung (kardiovaskuler). Di antara sekian jenis kanker, kanker payudara dan kanker serviks (leher rahim) berada di urutan pertama dan kedua. Meski kanker payudara juga bisa menyerang laki-laki, tetapi mayoritas penderitanya adalah perempuan. (Dulu aku heran ketika membaca artikel tentang kanker payudara pada laki-laki).
Di laman katadata.co.id, pada tahun 2020 total tercatat 396.914 kasus kanker di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 65.858 (16.6%) merupakan kasus kanker payudara. Menyusul kanker serviks di urutan kedua dengan jumlah 36.633 kasus (9.2%).
Jujur, sejauh ini aku belum pernah berinteraksi langsung dengan penderita kanker payudara maupun kanker serviks. Aku hanya sesekali mendengar kabar tentang ibu ini atau ibu itu meninggal karena salah satu jenis kanker tersebut😢. Seperti salah satu guru SMP-ku yang beberapa tahun lalu meninggal karena kanker payudara (RIP Ibu Tatik). Aku juga beberapa kali membaca perjuangan para penyintas dalam melawan penyakit kankernya. Sudah tentu merupakan perjuangan hebat yang menguras energi, emosi, dan biaya.
Salah satu hal yang mendorongku untuk aware adalah cerita para penyintas. Di antara mereka ada yang mengaku tidak merasakan gejala berarti (atau mereka mengabaikan gejalanya?). Sedihnya, ketika mereka menjalani tes, ternyata kankernya sudah stadium lanjut. Sudah pasti shock tak terkira… kanker gitu lho!
Maka itu, aku menepis keraguan untuk ikut tes deteksi dini ini. Kalaupun ada penyakit, mending diketahui sejak awal, sehingga masih lebih mudah diobati. Salah satu pendorong untuk ikut tes karena hampir dua tahun ini aku menggunakan menstrual cup sebagai ganti pembalut sekali pakai.
Salah satu hal yang mendorongku untuk aware adalah cerita para penyintas. Di antara mereka ada yang mengaku tidak merasakan gejala berarti (atau mereka mengabaikan gejalanya?). Sedihnya, ketika mereka menjalani tes, ternyata kankernya sudah stadium lanjut. Sudah pasti shock tak terkira… kanker gitu lho!
Maka itu, aku menepis keraguan untuk ikut tes deteksi dini ini. Kalaupun ada penyakit, mending diketahui sejak awal, sehingga masih lebih mudah diobati. Salah satu pendorong untuk ikut tes karena hampir dua tahun ini aku menggunakan menstrual cup sebagai ganti pembalut sekali pakai.
Aku memang tak MERASAKAN gejala-gejala tertentu. Selain itu, sepanjang pengetahuanku, tidak ada penderita kanker payudara maupun serviks di lingkungan keluarga besarku. Namun, untuk persoalan ini aku mengabaikan PERASAAN. Soalnya, jangan-jangan hanya MERASA tak ada gejala dan tak punya faktor risiko. Padahal, perasaan sering tak valid buat dijadikan ukuran.
***
Meski aku juga tes sadanis, cerita di tulisan ini lebih fokus ke tes IVA ya…
Tiga atau empat tahun lalu (aku lupa persisnya), aku pernah mengikuti test pap smear di RS Siloam Medan. Waktu itu sedang ada promo diskon untuk pap smear dan beberapa tes lainnya. Biayanya sekian ratus ribu (aku lupa berapa sekiannya itu…nggak aku buat blogpost sih). Puji Tuhan hasil tes waktu itu negatif.
Tentang tes IVA dan sadanis di puskesmas, aku dapat kabarnya di grup WA ibu-ibu kompleks (terima kasih Ibu Nining). Jujur, aku nggak baca-baca dulu bagaimana-bagaimini soal IVA ini. Kupikir sama aja dengan pap smear. Setelah selesai tes, baru aku baca-baca wkwkw. Eh ternyata beda meski tujuannya sama-sama untuk deteksi kanker serviks. Aku membaca perbedaan keduanya di laman sehatq.com.
Pada tes IVA, digunakan asam asetat dan dioles ke leher rahim. Petunjuk mengenai gejala kanker bisa diamati pada saat itu juga, yakni melalui pengamatan visual pada perubahan bentuk protein di permukaan serviks. Pada serviks yang sehat, kandungan protein pada dinding permukaannya rendah. Sebab itu, pemberian asam asetat tidak akan menunjukkan perubahan warna pada dinding serviks. Sementara, serviks yang mengalami gejala pra kanker akan menunjukkan keberadaan bercak putih sesaat setelah dioles asam asetat.
Sedangkan cara pemeriksaan pap smear adalah dengan cara mengambil sampel dari leher rahim menggunakan alat bernama spekulum. Selanjutnya, sampel itu diuji di lab untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda perubahan sel yang mengarah ke kanker.
Hasil tes IVA bisa diketahui langsung pada saat tindakan (hanya dalam hitungan menit). Biayanya juga lebih murah. Sedangkan pap smear, perlu uji lab sehingga hasil tes lebih lama diketahui. Biaya pap smear juga relatif lebih mahal. Mengenai hasil tes, pap smear dinilai lebih akurat dibandingkan tes IVA.
Meski ada perbedaan, menurut WHO, IVA maupun pap smear merupakan skrining yang aman dan dapat diandalkan untuk deteksi dini kanker kanker serviks.
Oke, sekarang ke cerita pengalamanku tes IVA yaa..
Seperti kutulis di awal tadi, aku tahu informasi tentang tes IVA dari kader posyandu di grup WA ibu-ibu kompleks. Pada hari itu, aku langsung mengisi list pendaftaran peserta. Sampai hari H, tidak ada telepon dari pihak puskesmas.Padahal, berdasarkan info awal, peserta akan dihubungi petugas puskesmas. Singkat cerita, menurut kader posyandu, ternyata aku belum masuk kuota hari itu. Jadi akan dimasukkan pada peserta batch selanjutnya. Namun, tiba-tiba ada telepon dari bidan puskesmas, katanya ada peserta yang batal ikut. Jadi, aku bisa tes di hari itu.
Singkat cerita, aku datang ke puskesmas. Sewaktu bidan telepon, dia tidak memintaku bawa kartu BPJS. Sementara, saat itu aku baru ganti dompet dan kartu BPJS masih di dompet lama. Kalau cuma butuh nomor kartu, harusnya bisa cek di aplikasi BPJS ya kan? Tapi waktu itu aku minta tolong BJ yang sedang ada di rumah untuk foto dan kirim kartu BPJS-ku.
Oh ya, berdasarkan KTP, aku masih penduduk Jawa Tengah ya gess…Namun, aku tetap bisa ikut tes di Puskesmas Samata, Sulsel itu. Nggak ada ketentuan hanya untuk penduduk ber-KTP lokal, gitu..
Setelah daftar, aku langsung antri di depan ruang pemeriksaan di lantai dua. Sebelum tes, terlebih dulu ada wawancara singkat dengan dokter spesialis obgyn yang hari itu datang ke puskesmas. Dokter-nya laki-laki btw… Pak dokternya terkesan hati-hati sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan (atau hanya perasaanku saja ya? hehehe). Pertanyaannya antara lain tentang identitas, seputar menstruasi, ada tidaknya merasakan gejala tertentu, dan izin suami. Poin terakhir bikin aku berpikir, apa ada suami yang tidak mengizinkan istrinya skrining kanker seperti ini?
Saat itu aku juga ditanya, mau diperiksa oleh dokter obgyn (laki-laki) atau oleh bidan saja? Meski secara kompetensi keilmuan dokter lebih mumpuni, tapi aku memilih untuk tes dengan tenaga bidan. Tes macam begini, aku merasa lebih nyaman diperiksa sesama perempuan sih. Lagipula, bidan-bidannya kan sudah dilatih untuk melakukan tes IVA dan sadani.
Aku lebih dulu menjalani tes sadani di ruang yang berbeda. Dari bidan, aku mendapat pengetahuan jika tes sadani (maupun sadari - periksa payudara sendiri) akan optimal dilakukan ketika usai masa menstruasi. Sebab, ketika menjelang dan saat menstruasi, kondisi payudara akan sedikit berubah. Tes sadani seperti langkah-langkah sadari tetapi dilakukan oleh tenaga kesehatan. Jujur, di rumah, aku jarang melakukan sadari dengan step yang detail sih. Puji Tuhan, berdasarkan sadanis oleh bidan, tidak ditemukan tanda-tanda mencurigakan.
Selanjutnya, aku tes IVA. Oh ya, bagi yang mau tes IVA, sebaiknya bawa kain/rok/sarung dari rumah ya… Waktu itu, aku bawa rok panjang.
Dalam ingatanku yang samar, tes pap smear dulu rasa sakitnya tidak lama. Jadi aku pede saja melangkah untuk tes IVA. Namun, ternyata tes IVA ini kurasakan berbeda, pemirsa… Aku jelas tidak bisa melihat prosedurnya karena posisiku kan seperti orang melahirkan itu lho…Nah, aku jadi tahu setelah dapat visualisasi tes IVA dari google :
***
Meski aku juga tes sadanis, cerita di tulisan ini lebih fokus ke tes IVA ya…
Tiga atau empat tahun lalu (aku lupa persisnya), aku pernah mengikuti test pap smear di RS Siloam Medan. Waktu itu sedang ada promo diskon untuk pap smear dan beberapa tes lainnya. Biayanya sekian ratus ribu (aku lupa berapa sekiannya itu…nggak aku buat blogpost sih). Puji Tuhan hasil tes waktu itu negatif.
Tentang tes IVA dan sadanis di puskesmas, aku dapat kabarnya di grup WA ibu-ibu kompleks (terima kasih Ibu Nining). Jujur, aku nggak baca-baca dulu bagaimana-bagaimini soal IVA ini. Kupikir sama aja dengan pap smear. Setelah selesai tes, baru aku baca-baca wkwkw. Eh ternyata beda meski tujuannya sama-sama untuk deteksi kanker serviks. Aku membaca perbedaan keduanya di laman sehatq.com.
Pada tes IVA, digunakan asam asetat dan dioles ke leher rahim. Petunjuk mengenai gejala kanker bisa diamati pada saat itu juga, yakni melalui pengamatan visual pada perubahan bentuk protein di permukaan serviks. Pada serviks yang sehat, kandungan protein pada dinding permukaannya rendah. Sebab itu, pemberian asam asetat tidak akan menunjukkan perubahan warna pada dinding serviks. Sementara, serviks yang mengalami gejala pra kanker akan menunjukkan keberadaan bercak putih sesaat setelah dioles asam asetat.
Sedangkan cara pemeriksaan pap smear adalah dengan cara mengambil sampel dari leher rahim menggunakan alat bernama spekulum. Selanjutnya, sampel itu diuji di lab untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda perubahan sel yang mengarah ke kanker.
Hasil tes IVA bisa diketahui langsung pada saat tindakan (hanya dalam hitungan menit). Biayanya juga lebih murah. Sedangkan pap smear, perlu uji lab sehingga hasil tes lebih lama diketahui. Biaya pap smear juga relatif lebih mahal. Mengenai hasil tes, pap smear dinilai lebih akurat dibandingkan tes IVA.
Meski ada perbedaan, menurut WHO, IVA maupun pap smear merupakan skrining yang aman dan dapat diandalkan untuk deteksi dini kanker kanker serviks.
Oke, sekarang ke cerita pengalamanku tes IVA yaa..
Seperti kutulis di awal tadi, aku tahu informasi tentang tes IVA dari kader posyandu di grup WA ibu-ibu kompleks. Pada hari itu, aku langsung mengisi list pendaftaran peserta. Sampai hari H, tidak ada telepon dari pihak puskesmas.Padahal, berdasarkan info awal, peserta akan dihubungi petugas puskesmas. Singkat cerita, menurut kader posyandu, ternyata aku belum masuk kuota hari itu. Jadi akan dimasukkan pada peserta batch selanjutnya. Namun, tiba-tiba ada telepon dari bidan puskesmas, katanya ada peserta yang batal ikut. Jadi, aku bisa tes di hari itu.
Singkat cerita, aku datang ke puskesmas. Sewaktu bidan telepon, dia tidak memintaku bawa kartu BPJS. Sementara, saat itu aku baru ganti dompet dan kartu BPJS masih di dompet lama. Kalau cuma butuh nomor kartu, harusnya bisa cek di aplikasi BPJS ya kan? Tapi waktu itu aku minta tolong BJ yang sedang ada di rumah untuk foto dan kirim kartu BPJS-ku.
Oh ya, berdasarkan KTP, aku masih penduduk Jawa Tengah ya gess…Namun, aku tetap bisa ikut tes di Puskesmas Samata, Sulsel itu. Nggak ada ketentuan hanya untuk penduduk ber-KTP lokal, gitu..
Setelah daftar, aku langsung antri di depan ruang pemeriksaan di lantai dua. Sebelum tes, terlebih dulu ada wawancara singkat dengan dokter spesialis obgyn yang hari itu datang ke puskesmas. Dokter-nya laki-laki btw… Pak dokternya terkesan hati-hati sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan (atau hanya perasaanku saja ya? hehehe). Pertanyaannya antara lain tentang identitas, seputar menstruasi, ada tidaknya merasakan gejala tertentu, dan izin suami. Poin terakhir bikin aku berpikir, apa ada suami yang tidak mengizinkan istrinya skrining kanker seperti ini?
Saat itu aku juga ditanya, mau diperiksa oleh dokter obgyn (laki-laki) atau oleh bidan saja? Meski secara kompetensi keilmuan dokter lebih mumpuni, tapi aku memilih untuk tes dengan tenaga bidan. Tes macam begini, aku merasa lebih nyaman diperiksa sesama perempuan sih. Lagipula, bidan-bidannya kan sudah dilatih untuk melakukan tes IVA dan sadani.
Aku lebih dulu menjalani tes sadani di ruang yang berbeda. Dari bidan, aku mendapat pengetahuan jika tes sadani (maupun sadari - periksa payudara sendiri) akan optimal dilakukan ketika usai masa menstruasi. Sebab, ketika menjelang dan saat menstruasi, kondisi payudara akan sedikit berubah. Tes sadani seperti langkah-langkah sadari tetapi dilakukan oleh tenaga kesehatan. Jujur, di rumah, aku jarang melakukan sadari dengan step yang detail sih. Puji Tuhan, berdasarkan sadanis oleh bidan, tidak ditemukan tanda-tanda mencurigakan.
Selanjutnya, aku tes IVA. Oh ya, bagi yang mau tes IVA, sebaiknya bawa kain/rok/sarung dari rumah ya… Waktu itu, aku bawa rok panjang.
Dalam ingatanku yang samar, tes pap smear dulu rasa sakitnya tidak lama. Jadi aku pede saja melangkah untuk tes IVA. Namun, ternyata tes IVA ini kurasakan berbeda, pemirsa… Aku jelas tidak bisa melihat prosedurnya karena posisiku kan seperti orang melahirkan itu lho…Nah, aku jadi tahu setelah dapat visualisasi tes IVA dari google :
Mungkin karena pada pap smear hanya dilakukan pengambilan sampel, jadi waktu itu aku tak lama merasa sakit. Sementara, pada tes IVA, ada waktu tunggu untuk melihat reaksi si asam asetat, jadi aku cukup panas-dingin merasakan nyeri-nya huhuhuhu. Mungkin ada deh lima menitan nyeri-nyeri sedap gitu 😂. Rasanya mau nangis kenceng, masalahnya kalau nangis badan jadi tegang sehingga mempersulit tes.
Huhhhu...inhale-exhale...
Sambil meringis sakit, aku mensugesti diri bahwa tindakan ini penting untuk deteksi dini. Aku pakai teknis self-hopnosis yang dulu kupelajari menjelang partus kedua. Lebih baik sakit sementara, ketimbang sakit kanker karena terlambat ketahuan. Kubilang pada diriku, nggak apa-apa lah sedikit mencicip sakit seperti partus normal 😂. FYI, dua anakku lahir dengan operasi sectio. Jadi, aku nggak punya pengalaman sakit-tak-terkira seperti sering diceritakan ibu-ibu yang partus normal. Selain mengalihkan pikiran, aku juga berusaha mengobrol dengan dua bidan yang memeriksa.
Dan rasanya lega sekali ketika bidan bilang tes IVA-nya selesai. Penderitaan sementara itu berakhir sudah. Semakin lega ketika bidan memberitahukan hasil tes, bahwasanya tidak ditemukan gejala mengarah ke pra kanker. Dalam kartu deteksi dini yang diberikan padaku, ada anjuran untuk kontrol ulang pada tiga dan lima tahun kemudian.
Untung anjuran kontrol ulangnya lama yaaa.. Soalnya, nggak sanggup kalau cepet-cepet merasakan sakit yang sama hehehe. Selesai tes, aku disuruh tanda tangan ke bagian tata usaha. Di sana, aku dikasih snack dan uang transport Rp 50.000. Haha, lumayan lah buat belanja…dapat satu papan telur ayam buras. Seperti kutulis tadi, serasa anak-anak nangis lalu puk-puk dikasih duit.
Aku mahfum kalau sampai dikasih insentif segala. Mungkin insentif ini untuk menarik animo masyarakat ikut tes. Sebab, masih banyak orang yang enggan ikut tes deteksi dini (termasuk enggan medical check up). Bagi mereka, tindakan deteksi dini bisa jadi malah menakutkan. Selain rasa sakit, ada kekhawatiran kalau hasil tes tidak menggembirakan. Jadi mending tidak tes biar tidak kepikiran. Hehe, ada yang demikian?
Well, begitulah pengalamanku tes sadanis dan IVA. Menurut kakakku yang berprofesi sebagai bidan di Jawa Tengah, tes IVA dan sadanis merupakan layanan reguler di puskesmas. Jadi, bukan hanya layanan insidental ketika ada program. Sebagai catatan, ini informasi yang tidak aku cek dan ricek ya…Kalau ada teman_dw yang tertarik untuk cek IVA, bisa cek di puskesmas terdekat.
___________________________
Referensi :
https://www.sehatq.com/artikel/iva-test-dan-pap-smear
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/29/ini-jenis-kanker-yang-paling-banyak-diderita-penduduk-indonesia
Aku kok belum berani ya untuk tes iva gini. Salut sama mba nya. Padahal penting yah untuk mendeteksi sejak dini agar bisa mencegah.
BalasHapusGapapa mba, nabung keberanian dulu yukk :)
HapusOalaaah beda Ama papsmear ya mba? Aku dulu ikutnya papsmear, ngilu dikit, tapi cuma sedetik 😄. Mungkin akunya juga yg tegang. Kalo IVA blm pernah coba.
BalasHapusAku tuh ikutan papsmear gara2 Julia Perez baru meninggal Krn kanker serviks. Langsung kuatir 😅. Trus DTG ke RS tempat aku lahiran, tanya berapa harganya termasuk vaksinnya yg 3x itu.
Alhamdulillah sedang ada promo mbaaa. Yg tadinya 7 juta utk paket komplit termasuk vaksin 3x jadi cuma 3.7 juta. Langsung aku ambil. Begitu hasilnya aman, langsung vaksin pertama, kedua dan ketiga. Untung vaksinnya cuma sekali seumur idup yak 😄. Ga dicover asuransi kantor soalnya hahahaha.
Anak2 katanya udh bisa vaksin pas 6 SD kan. Aku ntr mau KSH vaksin HPV ini buat si Kaka kalo emmang udah bisa.
aku malah belum vaksinnya mba..soalnya halma sih ya haha. Iya nih skrg anak SD dikasih vaksin ini. Kok perempuan dewasa malah kaga ya...
HapusAku masih ngeri denger penyakit berkaitan dengan organ reproduksi, jadi ragu dan takut juga untuk memeriksakannya ke dokter. Apalagi IVA ini, lumayan juga kalau di puskesmas bisa tes iVA. Terima kasih sharingnya!
BalasHapusSelain takut sakit, test ginian juga terkendala malu sih biasanya
HapusAku baru pap smear, tapi ya udah teriak2 mbaaa, cemen emang sih dakuu.
BalasHapusSemogaaa kita semua sehaattt ya mba.
Penyakit jaman now seram seraammm
amiin mb Nurul. sehat2 semua kita..
HapusKalau di kotaku ada tes IVA gini, mau banget deh mbak untuk coba tes juga. Emang kita perlu aware, dan lebih baik mencegahnya sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan di masa mendatang. Kalau Pap Smear sering ada promo tapi belum pernah coba tes juga sih, ehehee
BalasHapusBTW makasih sharingnya ya mbak
coba cek puskes terdekat mba..mana tau ini program nasional ya kan, soalnya kakakku di jateng bilangnya bisa di puskes
HapusBelum pernah pap smear aku pengin masi riweh rumah nih mba. Pengin pas usia sgini sblm 40 cek2. Oh tes IVA ini langsung ya nggak ambil sampel, lebih cepat tapi pas on the spotnya lebih lama aku bayangin 😆 5 menitan nunggu itu lebih lama dibanding masang kb spiral. Makasih ya mba sharingnya jadi mau cek2. . Aku mau coba ke rs tapi pakai asuransi kantor dr pak suami
BalasHapusentah valid atau ga sih 5 menitan itu mba hahah. Aku ga pakai stopwatch hehe. Soale karena sakit kan bisa aja jd lebay menggambarkan waktu hehehe..
HapusApa tes sadanis dan IVA gratis ini berlaku di setiap puskesmas di seluruh Indonesia, kak Lis?
BalasHapusAku mau kalo gratiiisss..
Dan akutu sebenernya kalau kesakitan, suka kasih afirmasi ke diri sendiri, kaya "Ini gakkan lebih sakit dari melahirkan.. gakkan..bismillah."
Kayanya yang paling serem dari yang serem itu prosesi melahirkan.
Mau normal atau sectio, rasanya tetap ada perjuangan hidup dan mati di sana yaa..
Haturnuhun infonya, kak Lis.
Juara banget kak Lis... Aku jadi semangat nih.. buat tes sadanis dan IVA juga.
ayoo maklend..sadanis dan IVA juga. Kalau aku, teringatnya ops sesar itu ya sakit tapi malahan paskanya. pas operasinya kan pakai obat bius to..jd malah bisa nahan
HapusBaru kali ini ada org periksa malah dikasi snack dan uang sangu hahaha. Aku pun kyknya lbh nyaman dicek ma bidan aja. Aku blm melakukan tes2 itu. Jd penasaran kalau di daerrahku sini apa bakal segampang itu juga yaa.
BalasHapusBtw terima kasih sharingnya mak. Sehat2 selaluuuu..
Mungkin kita aja yg ga familiar sama insentif dalam pemeriksaan kesehatan ya..Biasanya kan malah bayar :D Kalau kata kakakku, BKKBN tuh yg sering kasih insetif dalam program2nya hehehe
HapusMak, hebat banget ih berani pap smear dan IVA test. Aku maju mundur aja nih mau periksa. Belum kuat nyalinya. Omong-omong, ikut seneng dengan hasilnya. Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan ya, Mak.. Aamiin..
BalasHapusAmiin mama kepiting...sehat2 kita semua..ini nantang adrenalin ala emak2 dah hahaha
Hapusoh aku baru tau soal IVA ini mba dan bisa dilakukan dari Puskesmas, aduh mainku kurang mendetail nih hihi. Thanks mba atas sharing nya, yg pernah aku rasain kemarin itu papsmear dan di obgyn waktu cek mulut rahim
BalasHapusbisa tanya2 kalau ke puskes mba hehe.. buatku ini fasilitas yg keren dr negara sih, salah satu bentuk peduli perempuan.
HapusKalo dah bicara soal kanker tu selalu merinding duluan. Takut.
BalasHapusPapsmear belum pernah aku. Apalagi cek IVA
iya mba...justru karena ngeri sama cerita2 ttg kanker, jd aku paksa diri buat test IVA
HapusAih pengen juga mak tes iva cek cek klo bisa bpjs gini kayaknya lebih enak. Biar aware juga paling ga tau ada apa yg salah ama tubuh ya mak. Syukurlah mak hasile bagus sehat2 ya
BalasHapusayuk mak cek ke puskes terdekat..semoga juga melayani IVA gratis ya. Aku ga ngulik info sih, ini mmg program menyeluruh dan kontinyu atau gmn
HapusAku pernah ikut sekali di puskes dekat rumah. Padahal gak sakit sih, cuma malu aja ngangkangnya hahaha. Dasar aku, padahal udah lahiran 3x juga masih aja malu. Pulangnya dikasih mug, wkwkwk gitu aja aku uda seneng. Alhamdulillah hasilnya sehat ya mbak
BalasHapusJadi ngebayangin ngilunya tes IVA. Aku tuh biarpun periksa sama bidan, tetap aja canggung. Apalagi sama dokter laki ya wkwkw. Seumur hidup baru pertama diperiksa dokter obgyn laki. Lebih banyak sama bidan.
BalasHapusSaya juga pernah melakukan cek Iva mbak
BalasHapusRutin di puskesmas setahun sekali
Jadi langkah preventif menjaga kesehatan organ kewanitaan
Miris bangettt pasti saat tahu kalau ternyata kankernya sudah stadium tinggi. Cara deteksi dini seperti ini harus diketahui masyarakat ya, Mbak. Biar lebih aware.
BalasHapusWah sampai dikasih snack dan uang transport ya, Mbak.. hihi. Saking biar banyak yang tertarik buat ikutan tes ya..
BalasHapusTapi memang agak ngeri sih membayangkan dua tes itu. Terutama membayangkan proses tes IVA-nya :)
Owww gitu ya, jadi layanan ini memang reguler ada di Puskesmas ya. Mau cari tau ah di Puskesmas terdekat sini apakah juga menyediakan tes IVA.
BalasHapusEh dapat uang transportasi segala, program pemerintah yg menarik. Betul bs saja ini sebagai bentuk promkes dari pemerintah, sebab kan pemeriksaan semacam ini masih banyak yg awam dan merasa takut untuk melakukannya. Padahal demi kebaikan diri sendiri
BalasHapusMbaaaak I feel you, hahaha (eh malah ketawa)
BalasHapusaku pernah tes IVA tapi ga berniat nulis di blog karena rasanya ga karuan
dulu pernah flek lama ga sembuh-sembuh, jadi inisiatif ke puskesmas. Gratis kan ya, pakai BPJS
ternyata rasanya seperti itu, hahaha ampun deh beneran
alhamdulillah hasilnya sehat.
Ternyata bisa di Puskesmas, ya. Wah saya malah baru tahu Mbak. Saya harus coba cari tahu ke Puskesmas kota siapa tahu bisa juga. Kalau di RS kan mihil sekaleeee
BalasHapus