Bentuk atap bangunan yang unik itu sudah lama sekali menarik perhatianku. Museum Affandi, tulisan di gerbang depan jelas terbaca setiap aku melintasinya. Affandi Koesoema (1907 - 1990), demikian nama lengkapnya. Perupa Indonesia yang sangat produktif dan dikenal hingga level internasional.
Museum Affandi terletak di Jalan Laksda Adi Sucipto, tak jauh dari bandara lama Jogjakarta. Alhasil, aku nyaris selalu melewatinya tiap pulang kampung atau saat kembali berangkat ke tanah rantau. Rumah mertua di Klaten, sementara rumah ibuku di Temanggung. Jalur utama Klaten ke Temanggung atau Temanggung ke bandara melewati museum Affandi.
Hanya lewat. Itu yang terjadi selama ini. Museum memang bukan destinasi yang menarik minat semua orang. Apalagi, perjalanan pulang kampung atau kembali berangkat sudah memiliki kerepotan tersendiri.
Maka itu, rasanya senang sekali ketika akhirnya aku kesampaian berkunjung ke Museum Affandi di sela hari-hari pulang kampung Mei 2022 lalu. Kunjunganku ke sana bukan mampir dalam perjalanan pulang atau berangkat. Namun, aku “menyelam sambil minum air,” yakni janjian ketemu sahabat di museum.
Baca : Mudik Lebaran
Aku janjian untuk ketemu dengan Bunda Shallom, sahabat semasa di Medan. Shallom itu nama anaknya. Sedangkan nama gadisnya adalah Lisda, beda huruf ‘h” doang sama Lisdha (nama panggilanku).
Namun, kami tidak pernah dipanggil dengan nama yang sama itu. Maklum, kami dipertemukan sebagai sesama wali murid. Kebiasaan di Medan, kalau sudah punya anak, nama gadis akan “menyingkir ke balik layar.” Tergantikan label mama/mamak/bunda+nama anak.
Aku sekalian janjian di Museum Affandi dengan teman kampus beda fakultas, Rieka. Bunda Shallom dan Rieka sama-sama tinggal di Jogja, tapi belum saling kenal, juga belum pernah ke Museum Affandi. Jadi, keduanya langsung hayuk ketika aku usul untuk janjian di sana. Janji ketemunya selepas jam pulang sekolah. Waktu itu, Ale dan Elo masih homeschooling, jadi mereka tidak terikat hari sekolah. Namun, hanya Elo yang mau kuajak ke Jogja.
Jarak kampungku ke Jogja kurang lebih 100 kilometer. Hari itu sudah aku niatkan untuk naik angkutan umum. Perjalanan pulang-pergi naik bus hari itu, aku ceritakan di tulisan “Naik Bus ke Jogja.”
***
Jujur, aku tidak berbakat dalam hal seni, baik itu seni rupa, seni suara, seni tari, maupun seni lainnya. Diriku jauh dari kata artsy (berseni). Namun, aku suka melihat-lihat pameran benda seni. Mungkin karena aku merasa tidak bisa menciptakan karya yang indah atau aneh (dalam pemandangan umum😀).
Aku juga tidak paham bahasa simbol yang banyak dipakai dalam karya seni. Namun, selalu ada cerita di balik sebuah karya yang indah (atau aneh) itu. Aku sih bingung kalau mesti menceritakan sesuatu tanpa medium kata-kata.
Semasa kuliah di Solo, aku suka melihat pameran di Taman Budaya Surakarta. Aku tidak merasa harus paham ketika melihat suatu lukisan atau benda seni lainnya. Bagiku, ketidakpahaman dalam keheningan pameran justru terasa menenangkan. Tentu saja, jangan datang saat acara pembukaan.
Sejauh ku tahu dari media, Affandi terkenal dengan teknik yang khas, yaitu menumpahkan cat dari tube langsung ke kanvas, lalu membentuk lukisan dengan jemari tangan. Beliau bukan pelukis yang menghadirkan “gambar indah” dalam pandangan awam.
Sejujurnya, aku sudah yakin tak akan bisa memahami lukisan Affandi. Tapi itu tak masalah buatku yang menjunjung kredo : aku tak paham, maka aku aku ada.😀
***
Aku dan Elo tiba di museum sekitar pukul 12.00. Bunda Shallom dan Rieka masih dalam urusan jemput anak dari sekolah. Jadi, aku dan Elo masuk duluan setelah beli tiket di gerbang. Total harga tiketku dan Elo Rp 75.000 dengan bonus soft drink dan merchandise berupa pouch dari bahan goni bergambar siluet sang maestro Affandi.
Aura seni langsung terasa begitu kaki melangkah melewati pintu gerbang. Di seputaran halaman, sudah terlihat berbagai karya seni. Di dinding sebelah kanan, ada relief telapak tangan berwarna oranye yang “memuat” profil Affandi, Mahatma Gandi, dan Semar. Relief tersebut karya putri Affandi, Kartika. Gandi dan Semar adalah tokoh idola Affandi.
Tak jauh dari relief, yakni di pintu masuk Cafe Loteng, ada patung Affandi mengenakan singlet dan sarung. Ada juga relief wajah-wajah Affandi di dinding galeri sebelah cafe.
Berhubung teman-teman belum datang, aku memutuskan untuk menunggu. Biar nanti masuk galerinya barengan. Aku dan Elo menunggu sambil menyantap pesanan makanan di tenda payung depan Cafe Loteng. Di situ, aku membaca sejarah singkat museum di leaflet yang kudapatkan saat membeli tiket.
Kompleks museum ini sekaligus merupakan tempat tinggal dan studio kreatif Affandi dan keluarganya. Museum yang dibangun di tepi Sungai Gajah Wong ini memiliki tiga galeri lukisan. Galeri I mulai dibangun tahun 1962 dan secara resmi dibuka tahun 1974. Pada 1988, galeri II dibuka dan disusul pembukaan galeri III pada tahun 2000. Di museum ini juga terdapat menara pandang dan studio Gajah Wong yang digunakan untuk workshop melukis.
Di sana, aku akhirnya tahu “misteri” bentuk atap museum Affandi yang unik itu. Atap yang tak lazim itu mengadopsi bentuk daun pisang. Affandi memilih bentuk daun pisang karena terinspirasi dari masa lalunya.
Saat masih kecil, ia dan saudara-saudaranya terkena cacar air. Vaksin cacar memang mulai dikembangkan di abad 18. Namun, ketika Affandi kecil (awal abad 19), cacar masih merupakan penyakit berbahaya. Pengetahuan dan penanganan medis untuk cacar belum seperti saat ini. Orangtua Affandi menggunakan daun pisang untuk menutupi badan yang terkena cacar agar tidak dihinggapi lalat.
***
Sesaat kami menunggu, Bunda Shallom datang bersama Shallom (tentu saja hehehe). Kami sejenak berbincang lalu masuk galeri I. Begitu masuk galeri, kami disambut seorang bapak yang bertugas sebagai guide. Tidak ada biaya tambahan untuk guide ya gess…
Beliau menjelaskan do and don't saat berada di dalam museum. Di antaranya, tidak boleh memegang/menyentuh lukisan dan tidak boleh merokok di dalam galeri. Selanjutnya, beliau memandu kami melihat karya-karya Affandi sembari memberi penjelasan singkat.
Galeri I berisi karya-karya Affandi dari awal hingga menjelang akhir hidupnya. Pelukis kelahiran Cirebon itu tidak terpaku pada satu gaya/aliran dalam melukis. Pemandu menjelaskan perubahan gaya melukis Affandi, mulai dari naturalis, impresionis, hingga ekspresionis.
Beliau juga menunjukkan ciri khas lukisan Affandi, yakni gambar matahari, tangan, dan kaki. Tiga gambar itu selalu disematkan Affandi dalam lukisan favoritnya. Matahari merepresentasikan semangat hidup, kaki simbol motivasi untuk terus melangkah, sedangkan tangan merupakan lambang untuk terus berkarya. Setiap melihat lukisan Affandi, aku jadi mencari-cari di mana letak ketiga simbol tersebut.
Di sini aku bisa melihat langsung lukisan “Parangtritis at Night” yang terkenal itu. Sejujurnya aku mesti berpikir untuk bisa menangkap keindahan sekaligus keganasan Parangtritis dalam lukisan itu. Kebetulan, beberapa hari sebelum ke museum, aku ke Parangtritis bersama rombongan gereja. Meski pergi di siang hari, pengalaman yang masih segar itu cukup membantuku menikmati lukisan Parangtritis at Night.
Di galeri I juga ditampilkan berbagai benda yang berhubungan dengan hidup Sang Maestro, antara lain sedan Mitsubishi Gallant 1975 yang dimodifikasi bentuk ikan, sepeda onthel, berbagai penghargaan, hingga benda sehari-hari seperti sandal jepit dan cangklong untuk merokok.
***
Galeri II hanya berjarak beberapa langkah dari galeri II. Di antara dua galeri ini terdapat makam Affandi dan Kartika, istrinya. Makam kecil yang bersih dan apik, jauh dari kesan angker. Galeri II tak hanya berisi karya Affandi tetapi ada juga lukisan perupa kondang lainnya seperti Hendra Gunawan, Barli, dan Sudjojono.
Setiap melihat lukisan, aku berusaha untuk tidak langsung membaca judulnya. Aku berusaha menebak judul/cerita lukisan berdasarkan citra yang aku tangkap. Sial, aku selalu kalah dengan Elo. Mungkin mata dan pikirannya masih relatif murni sehingga bisa menebak judul/cerita tanpa membaca keterangannya.😀
Di galeri ini, Rieka datang menyusul. Rieka suka menggambar, IG-nya banyak diisi doodle yang indah. Ketimbang aku, dia pasti lebih merasa terhubung dengan lukisan. Di sini, kami melihat berbagai sketsa di atas kertas. Kami juga menyaksikan proses restorasi sebuah lukisan yang sedikit rusak.
***
Kami berlima lanjut ke galeri III. Galeri ini berisi lukisan anggota keluarga Affandi, seperti Maryati (istri), Kartika (putri Affandi dari Maryati), dan Rukmini (putri Affandi dari istri kedua, Rubiyem). Maryati bisa melukis dengan cat di atas kanvas. Namun, Maryati lebih dikenal dengan karya lukis menggunakan teknik sulam. Aku baru pertama kali melihat lukisan seperti itu. Diriku langsung menggumam, kok bisa ya?
Di seluruh area museum, citra maupun karya Maryati mudah ditemukan. Namun, aku tidak menemukan gambar Rubiyem (entah aku yang tak melihat atau memang tidak ada?).
Dari berbagai artikel, aku mendapati kisah poligami Affandi. Ia menikah lagi bukan karena cinta yang mendua. Affandi menikah dengan Rubiyem karena dipaksa oleh Maryati yang merasa sudah tak bisa melayani Affandi di ranjang. Bahkan, Rubiyem pun merupakan hasil pencarian Maryati. Sampai akhir hayat, Affandi tetap menganggap Maryati sebagai “the one and only.” Aku jadi penasaran dengan sosok Rubiyem. Ia bersedia menjadi yang kedua dengan berbagai persyaratan yang ditetapkan. Sosok yang lemah/nrimo atau malah kuat?
Dari galeri III, kami sempat ke menara pandang untuk melihat pemandangan sekitar museum dari atas. Sayang, beberapa bagian lantai di menara pandang sudah berlubang karena karat. Mungkin masih aman, tapi kami merasa agak ngeri. Kami pun segera ke bawah dan mengakhiri perjalanan di Cafe Loteng. Di situ tersedia aneka merchandise khas Museum Affandi. Aku membeli sebuah gelang berwarna hitam coklat.
Di cafe, Rieka cerita kalau dulu juga suka ke Taman Budaya Surakarta untuk melihat pameran lukisan. Laaah, kok dulu kami tidak saling tahu soal itu? Kami pun tertawa-tawa karena sejak jadi emak-emak tak pernah lagi dolan ke pameran lukisan😀😀
Aku menulis ini menjelang mudik Natal 2022. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mungkin nanti aku akan kembali lewat Museum Affandi. Bedanya, kali ini aku sudah tidak penasaran lagi. (DW)
_____________________
Museum Affandi
Lokasi : Jalan Laksda Adi Sucipto 167, Yogyakarta 55281
Telp/fax : +62.274.562593
WA : +62.882-3226-7949
Email : affandimuseum@yahoo.com
Facebook : affandimuseum@yahoo.com
Twitter : @museumaffandi
IG : @affandi_museum
Website : www.affandi.org
Jam operasional : 09.00 - 16.00 (tutup di hari libur)
Tiket (2022) :
Dewasa (mancanegara) : Rp 100.000
Dewasa ( lokal) : Rp 50.000
Anak : Rp 25.000
Ada harga khusus untuk rombongan/pelajar.
Aku tahu Affandi saat namanya muncul di televisi sebagai berita duka cita. Waktu itu aku baru kelas 1 SD. Waktu liburan ke Jogja aku sempat melewati museumnya, tapi nggak mampir. Aku juga bukan anak seni yang mengerti lukisan, hihi. Tapi aku selalu mengharga karya seni siapa pun.
BalasHapusTernyata tak harus paham untuk bisa menikmati ya kan mbak..
HapusBlum pernah k siniii aku Mak.
BalasHapusHamdalah jadi ngerti dalemnya setelah baca blogpost ini
dan itu pouch karung goninya tsakeppp amattt yak
Kalau lewat pasti pernah kan Mak...secara aku dulu jg lewat muluk..
HapusAku pernah sekeluarga plus mama papaku main ke Museum Affandi, mbak :) Cuma ga sempat ikutan kelas melukisnya karena keterbatasan waktu. Salut sama Affandi dan keluarganya yang mendukung kegiatan beliau, terutama istrinya. Aku juga punya foto sama mobil kuning dan sepeda onthelnya mbak hehehe.
BalasHapusAku juga ga ikutan kelasnya mbaa... haha pasti lucu deh hasil lukisanku kalo ikutan kelas.
Hapusbelum pernah kesini, tapi sering liat juga yang share karya maestro ini
BalasHapusngajak anak ke museum affandi bisa jadi pembelajaran buat mereka juga ya bahwa jika serius dan tekun mendalami bakat bisa menciptakan karya luar biasa
Meski anakku ga terlihat berbakat nggambar ternyata dia bisa menikmati kunjungannya
Hapusaku belum pernah wisata museum seni rupa gini, cakep ya kalau buat jalan2 dan menikmati karya seni, makasih reviewnya ya mak, jadi aku tahu deh ini kalau ke Jogja bisa ke sini deh
BalasHapusMuseum Affandi maestro pelukis yang indah karyanya dan unik banget mobil di modifikasi jadi ikan.
BalasHapusSejujurnya aku ga paham keindahan lukisan Affandi sih mpo..tapi asik aja haha
Hapusaku bukan tipe orang yang ngerti lukisan, hanya suka beberapa nya saja. sejak punya anak jadi lebih mulai menikmati indahnya lukisan dan mulai coba mengerti cerita dari lukisan itu sendiri.
BalasHapusjadi pengen juga deh mengunjungi museum Affandi ini, supaya bisa mengenalkan ke anak tentang pelukis pelukis hebat dan lukisan-lukisan yang dihasilkannya.
Aku juga ga paham kok mbak..tp gapapa utk mengenalkan sebanyak2nya hal pd anak2.
HapusWah museum Affandi. Legend banget ya Affandi nih. Lukisannya sangat terkenal. Aku dulu waktu kecil sering denger dan baca tentang beliau. Bagaimana beliau melukis dengan sangat unik. Kepengen juga deh bisa mampir ke museumnya. Anakku yang nomor 3 pasti bakalan suka. Dia selalu exciting kalo diajak ke museum.
BalasHapusaku juga gak punya jiwa seni sama sekali sih, pernah lihat lukisan Affandi dan blas gak ngerti sama sekali maksudnya apa hahaha
BalasHapusTapi mengunjungi museum Affandi kayaknya seru juga yah, nanti kalo main2 ke Jogja kayaknya harus mampir nih, biarin gak ngerti juga pokoknya lihat aja dulu kali aja jadi ngerti kalo lihat langsung hahaha
Belum sempat menyambangi museum Affandi ini, suka kagum sama lukisan keren yang hebat. Karya indah yang membuat imajinasi melayang ya kalau melihat lukisan itu.
BalasHapusKalau saya, sekadar bisa menebak judul/tema lukisan saja sdh merasa hebat hihihi
HapusAku baru beberapa kali ke galeri.
BalasHapusDan memang jadi kagum kalau melihat karya seni secara langsung ketimbang hanya melalui foto atau flyer. Mengagumi setiap makna goresan, campuran warna dan setiap detil lukisan di Museum Affandi.
Btw, ada batas minimum usia anak ketika mengajak ke Museum Affandi gak, kak?
Wah aku ga tau soal itu. Kayaknya ga ada keterangan soal batas usia di web museum. Tp hari gini mah gampang ya..bisa lgsg dm ke ig-nya
HapusJadi pengen mampir kalau ke Yogya, makasih mba rekomendasinya
BalasHapusDan gampang kok mbak mencapainya. Di pinggir jalan raya
HapusAku belum pernah ke Museum Affandi. Baca ini jadi masukin ke luas kunjungan ya, siapa tahu bisa ke sana. Meski jiwa seniku gak seberapa, ikut suka lihatnya
BalasHapusJiwa seniku juha tuipisss hihihi
HapusZaman aku kecil dengar kabar berita Affandi di TV sedih banget, saat itu masih ada ayahku masih hidup dan menerangkan karya-karya Affandi yang terkenal
BalasHapusWaah..kalau ke sini bisa auto teringat memory dg alm ayah ya mba Naq..
Hapusdengan harga HTM nya yang 50k itu puas banget loh bisa banyak insight setelah sampai rumah pastu akan banyakcerita
BalasHapusDan utk mengawetkan cerita, dibikinlah blogpost ya kan mba..hehehe
HapusJustru anakku yang udah ke museum Affandi, mbak. Dengan rombongan teman sekolah waktu kesana. Pulang dari Yogya ceritanya seru tentang museum itu. Ternyata ada guide juga yang bisa memandu selama kunjungan ya
BalasHapusAh seru nih berkunjung sambil reunian dengan sahabat, dan namanya juga mirip. Aku sampai baca ulang loh, beneran gak sih kok kembar namanya, hahahaa
Ayo mb wati giliran ke sini :)
Hapuskok ya terjangkau banget ya 50k bisa puas menikmati banyak hal, tapi memang berkunjung ke Musium Affandi pasti menyenangkan dan banyak insight
BalasHapusKeren banget nih museum Affandi. Takjub nih dengan isi dalamnya. Ah penasaran ingin melihat dan pegang langsung Relief Affandi, Maryati, Kartika. HTM nya juga terjangkau ya. Semoga berkesempatan kesana
BalasHapusMuseumnya keliatan nyeni banget kyk nama yang diabadikan. Senengnya dapat souvenir juga ya.
BalasHapusOwalah berarti deket bandara lama Adi Sucipto ya mbak? Wah di tengah kota donk yaa.
Itu lucuk banget namanya samaan walau beda tulisan tapi lafalnya kan sama hehe
Kalau ke Yogyakarta, saya juga ingin deh berkunjung ke museum Affandi ini. Berseni banget tampilan museumnya ya Mba. Di bagian depan ada relief Gandhi, Affandi dan Semar. Unik sih ini menurut saya.
BalasHapusAffandi pelukis maestro, kadang bingung sama maksud lukisan pak Affandi, kudu dicerna dulu kadanag-kadang.. karena dibalik coretan indahnya ada makna yang dalam, tapiiii menikmati seni memang nggak perlu berkutat sama makna sik..
BalasHapusNext klo ke Jogja mau juga mampir ke museum effendi ternyata luas juga ya mba museumnya... Banyak banget lukisan karya dari awal smp akhir yg hargany pasti gk ternilai, smp ada peninggalan mobilny
BalasHapusMuseum Affandi ini ga se-hype dulu ya mbak. Mungkin karena publikasinya juga mulai berkurang. Padahal tempatnya bagus banget. galeri seninya isinya ga main2
BalasHapusKisah masa kecil memang ada yang sangat membekas, ya. Seperti kisah daun pisang yang sampai dijadikan model atap museum Affandi. Hehe.
BalasHapusLukisan-lukisan Affandi memang unik ya, Mbak. Semoga museum itu selalu terawat dan bisa jadi bahan belajar bagi generasi saat ini dan yang akan datang.
Aku tuh suka kebalik antara Affandi dan Basuki Abdullah 🤣🤣. Ternyata setelah ubek2, yg aku suka itu Basuki Abdullah. Soalnya aku memang LBH suka lukisan yg realis mba. Yg seolah nyata dan hidup gambarnya. Kalo abstrak, jujur ga sanggub ngeliat bagusnya di mana 😂.
BalasHapusTapi salut Ama keluarga seni begini. Dulu aku pernah berkhayal dikit, kenapa bukan lahir di keluarga yg jago melukis, biar bakatnya ada turun ke aku 😅
Iya bener..kalau basoeki abdullah lebih bisa dinikmati orang awam karena realis ya.. sementara kalau lihat lukisan non realis emang butuh mikir. Tapi serunya jd bahan tebak2an sih mbak..kira2 lukisan ini cerita ttg apa. Trus kalau tebakannya bener, jd merasa hebat wkwkwk
Hapus