Hari raya selalu dicitrakan sebagai hari bahagia (dan memang demikian idealnya). Termasuk hari raya Lebaran, hari di mana umat muslim merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Lebaran tidak hanya soal urusan religiusitas, tetapi juga perayaan kehidupan bersosial. Aku yang tidak shalat ied pun biasa ikut silaturahmi kesana-kemari (tentunya kalau mudik).
Hidup di negeri dengan masyarakat komunal, hubungan sosial adalah sebuah keniscayaan. Dan lebaran laksana moment silaturahmi skala besar yang melintasi sekat-sekat perbedaan. Tetangga yang sehari-hari bertemu tetap saling bertamu. Demikian juga para perantau rela jauh-jauh menempuh perjalanan mudik demi pertemuan dengan keluarga. Tak hanya bertemu dengan keluarga inti tetapi juga keluarga besar. Bahkan juga silaturahmi dengan keluarga jauh yang di hari-hari biasa tak masuk jadwal kunjungan.
Bertemu, tentu aneh kalau hanya diam-diaman bukan? Setelah saling mengucapkan selamat, setidaknya ada perbincangan sembari menghabiskan minuman di dalam gelas dan atau mencicip penganan di wadah-wadah. Perjumpaan yang jarang-jarang adalah induk dari sedikit banyak pertanyaan.
💠 Sudah kelas berapa? (Pertanyaan bagi anak-anak usia TK-SMA).
💠 Kuliah di mana? (Pertanyaan bagi usia lulus SMA).
💠 Sudah semester berapa? (Lanjutan pertanyaan nomor dua).
💠 Sudah skripsi/wisuda? (Lanjutan pertanyaan nomor tiga).
💠 Sudah bekerja di mana? (Pertanyaan bagi anak-anak yang sudah lulus sekolah/kuliah).
💠 Kapan menikah? (Pertanyaan bagi para lajang yang sudah nggak sekolah/kuliah/sudah bekerja)
💠 Sudah “bathi” belum? (Pertanyaan bagi yang sudah menikah). *Bathi (bahasa Jawa) berarti untung (dalam perniagaan), tetapi sering dipakai untuk menanyakan kelahiran anak.
💠 Kapan ada adiknya? (Pertanyaan bagi yang sudah punya anak satu).
💠 Kapan mantu? (Pertanyaan bagi orangtua yang anaknya sudah usia menikah).
💠 Sudah ada cucu? (Pertanyaan bagi orangtua yang anaknya sudah menikah).
💠 Sudah nambah cucu? (Pertanyaan bagi orangtua yang baru punya sedikit cucu).
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya contoh yaaa…Daftarnya masih bisa lebih panjang kalau semua pertanyaan dimasukkan. Pertanyaan bisa sekadar basa-basi (pengin tahu aja), tetapi juga bisa karena memang benar-benar peduli. Berawal dari pertanyaan, obrolan berkembang lebih panjang dan menyenangkan. Sebaliknya, sebuah pertanyaan juga bisa mengawali situasi yang penuh kecanggungan.
Sebagai kata-kata, sejatinya pertanyaan bersifat netral. Pertanyaan “hanyalah” serangkaian kata-kata yang diakhiri tanda “?”
Namun, manusia adalah mahluk yang dilengkapi dengan perasaan. Pertanyaan yang biasa saja bagi seseorang, bisa jadi terasa sensitif bagi orang lainnya. Terutama, ketika kondisi sedang tak baik-baik saja dan jawaban yang terlontar disambung dengan perbandingan, atau bahkan penghakiman.
🔻 “Lah, belum skripsi, si mas Anu anaknya Budhe Iku sudah lulus dan bekerja lho.”
🔻 “Kapan nih undangannya, Pakdhe sudah nggak sabar mau kondangan lho..”
🔻 “Kok belum ada anak itu gimana? Sengaja menunda ya?”
Tak heran, kalau bagi sebagian orang, pertemuan demi pertemuan adalah agenda yang mengerikan. Silaturahmi seharusnya menyenangkan, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu terasa menyakitkan. Masalahnya, menghindari pertemuan justru bisa menimbulkan prasangka dan lebih banyak pertanyaan. Orang boleh bilang lebay ketika sekadar pertanyaan bisa bikin mood drop tidak karuan. Namun, seiring tren isu kesehatan mental, hal ini layak menjadi perhatian.
***
Dalam posisi sekarang, aku memang tak lagi bermasalah dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Ya lah, masa kuliah-kerja-menikah-punya anak sudah lewat. Terus, anak-anak masih usia sekolah, jadi belum ditanya-tanya kapan mantu wkwkwk.
Eh tapi aku pernah lho dalam posisi sensitif ketika dulu belum sepenuhnya ikhlas menjalani posisi sebagai ibu rumah tangga. Pertanyaan “sekarang kerja apa” yang semestinya biasa saja, terasa menyayat bagai sembilu (haha, lebay, … tapi memang demikian faktanya). Padahal, menjadi IRT adalah murni keputusanku, bukan diminta sama suami atau didorong orangtua. Gimana kalau sebuah situasi dijalani karena terpaksa ya… pasti rasanya lebih menyakitkan.
Oh ya, aku juga pernah sangat sebal setiap kali dibilang “kapan nambah satu anak lagi, biar lengkap ada anak perempuannya.”
Hello…jangankan pejuang garis dua, ibu-ibu yang sudah punya dua anak pun tak bebas dari pertanyaan soal ini. Saat itu, aku selalu tersinggung dan menjawab dengan sewot, “anakku sudah dua, Al sama El. Ntar aku kayak Bunda Maia, anak ketiga cowok lagi, jadi Dul dong? ”
Jawaban yang mengundang tawa, tetapi dalam hati aku ngedumel sebel. Lha wong aku sudah merasa lengkap kok... ukuran lengkapmu jangan dipasangkan ke ukuran lengkapku dong.
Sekarang sih aku sudah relatif berdamai dengan apapun keadaanku (faktor umur juga kali ya...). Jadi apapun pertanyaannya, bisa kuhadapi dengan tawa (kecuali kalau lagi PMS hehehe).
Berkaca dari pengalaman pribadi, maupun cerita banyak orang, aku jadi lebih berhati-hati untuk bertanya. Realitasnya, kadang sulit untuk tidak bertanya, terlebih jika sudah lama tak saling berkabar. Bertanya tak hanya untuk membuka obrolan, tetapi karena memang benar-benar ingin tahu tahu kabar sekarang. Satu hal yang bisa kulakukan adalah, sebisa mungkin menghindari/mengurangi pertanyaan yang berpotensi sensitif.
Jujur, kadang aku masih keceplosan dan jadinya sangat menyesal. Seperti ketika Lebaran tahun lalu, aku-suami-dan anak-anak mudik (ini jarang-jarang, karena biasanya kami hanya mudik Natal). Di suatu malam, aku dan suami berkunjung ke rumah tetangga. Lama tak bertemu, kami ngobrol hal-hal umum. Sampai kemudian, tuan rumah menyebut soal anak kedua yang baru datang bersama suaminya.
Tiba-tiba, terlontar dari mulutku, “putrane pundi -(anaknya mana)?” Pertanyaan itu seolah meluncur begitu saja, seperti kereta lepas dari ikatan. Tuan rumah menjawab kalau putri dan pasangannya sudah menikah sekian tahun tetapi belum dikaruniai anak. Sesaat aku blank… aku merasa salah pertanyaan.
Pertanyaanku malam itu, mungkin sudah pertanyaan serupa yang kesekian. Jika mereka adalah pasangan yang sudah berdamai dengan kenyataan atau malah menganut childfree, mungkin itu bukan pertanyaan yang menyakitkan (meski mungkin tetap menyebalkan). Tetapi, bagaimana jika mereka masih menjadi pejuang garis dua dengan segala up and down-nya?
***
Minggu lalu aku mengirim sebuah tautan lagu di Youtube pada seorang, yakni seorang saudara dekat (perempuan) yang sudah dalam usia kritis untuk menikah (tentunya menurut kriteria umum). Bagi dia, pertanyaan “kapan menikah?” dengan segala variasi kata-kata adalah hal yang menyebalkan.
Lagu itu milik Hindia, musisi muda yang lagu-lagunya aku suka. Judul lagu yang ini adalah "Mungkin Esok Kita Sampai", gampang dicari di YT. Di sini aku salin sebagian liriknya :
Tak ada yang tahu
Kapan kau mencapai tuju
Dan percayalah bukan urusanmu untuk menjawab itu
Katakan pada dirimu
Besok mungkin kita sampai
Besok mungkin tercapai
Tak ada yang tahu
Kapan kau mencapai tuju
Tak ada yang tahu
Selesainya peraduanmu
Dan percayalah bukan urusanmu untuk menjawab itu
Bersender pada waktu
(Besok mungkin kita sampai)
Anyway, mungkin ada teman_DW yang masih berpotensi sensitif terhadap pertanyaan tertentu. Sementara, menghindari pertemuan di hari raya adalah sebuah ketidakniscayaan. Yang harus kita tahu adalah, sulit untuk mengatur pertanyaan orang. Hal yang lebih mungkin kita kondisikan adalah bagaimana sikap diri dalam memberikan tanggapan.
Aku hanya berharap, semoga kalian bisa segera berdamai dengan keadaan. Lalu, ketika pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan, kalian bisa menanggapi dengan biasa, bahkan chill saja.
Ya, karena tiap orang punya timeline masing-masing.
Tak ada yang tahu
Kapan kau mencapai tuju
Akhir kata, semangat dan selamat menyambut hari raya, teman-teman....
----------------
aku juga dapet pertanyaan default gitu mak, kapan nambah anak satu lagi siapa tau perempuan, soalnya anakku kan 3 laki2 semua. Tapi aku bahagia aja sama 3 jagoanku, suami juga ga pernah nuntun mau punya anak lagi apalagi harus perempuan, tapi aku suka jawab santai aja sih biasanya sambil senyum2.
BalasHapusBeginilah basa-basi di hari raya yang kadang menimbulkan gunjingan dan perasaan tidak enak. Kalau dapat pertanyaan yang agak hemm memang bikin tidak nyaman apalagi nadanya yang tanya lebih ke meremehkan. Disenyumin dan dijawab santai solusi yang tepat memang.
BalasHapusPertanyaan-pertanyaan semacam itu memang tergolong menyesatkan dan meyesakkan dada bagi orang yang sensitif sekali. Kalaupun tidak sensitif, idealnya memang tak usah dilakukan karena sepertinya tidak sopan dan keponya kebanyakan hahaha :D Biarkan saja, senyumin aja :) Anggap dia atau mereka terlalu perhatian pada diri kita.
BalasHapusAh iya, pertanyaan yang bagi si A itu biasa dan bisa ditanggapi dengan ketawa-tawa, bisa jadi bikin sedih si B.
BalasHapusSepakat mbak, kita emang nggak bisa mengendalikan apa yang bakal dilontarkan dari mulut orang lain.
Saya aja yang anak 3, udah ada laki dan perempuan, masih ada juga yang nanya "kapan nih anak ke empat release?"
Hehehe .. iya ya, kenapa masyarakat kita itu seringkali melontarkan pertanyaan yang terkesan basa-basi tapi kadang buat keadaan jadi gak enak.
BalasHapusBagi saya sendiri, kadang hanya dianggap angin lalu aja, sih. Gak suka ditanggapin serius. Soalnya pasti nanti kalau ketemu lagi, bakalan nanya lagi :)
Wkwkwkw. Saya yang udah dikaruniai sepasang anak, masih aja ada yang nanya kapan nambah lagi. Katanya nanti kalau anak-anak udah gede, rumah jadi sepi. Ya masa harus punya anak kecil terus :D
BalasHapusKalau aku beberapa tahun lalu selalu dapet pertanyaan, "Kapan nambah lagi? Kakaknya udah gede loh. Kasihan masa sendirian aja. Udah pantes loh punya adek", haha.
BalasHapusTahun ini entah nih bakal dapet pertanyaan model apa karena alhamdulillah udah ada anak ke 2. Kayaknya sih berubah jadi, "Loh cowok lagi. Kapan nambah anak ceweknya. Satu lagi loh nggak papa".
Dikira nggak capek apa, haha.
Tapi memang iya sih. Kadang pertanyaam basa-basi busuk begini tu malah jatuhnya menyinggung atau menyakiti. Aku pribadi nggak pernah berani nanya aneh-aneh selain kabarnya. Kalau di cerita, baru lah ditanggepin. Karena kita nggak tahu sensitifnya dia kapan kan...
Pertanyaan-pertanyaan yang membosankan kalau aku bilang sih ya, hahahahaa... Dulu tuh aku sering ditanyain "Kapan nikah?" "Kapan mau punya anak?" "Kenapa belum hamil?" hahahahaa... Tapi untung aku gak baperan.
BalasHapusSetelah semua itu terlewati sekarang nambah lagi pertanyaannya "gak mau punya adik buat Kelvin?" wakakakaaa
Template Question banget ya mbak, aku pun pernah di posisi itu, apalagi ketika disalip sama adikku menikah dan langsung punya anak!
BalasHapussementara di aku prosesnya .. ya Allaah ... dapat jodohnya di titik kritis, punya anaknya juga setelah bertahun tahun kemudian... hihihi . bener dan setuju banget dengan pernyataanmu, "Ukuran lengkapmu jangan dipasangkan ke ukuran lengkapku dong!"
Sebenarnya jika peka akan terlihat kok gesture tubuh orang yang tidak nyaman saat kita menanyakan sesuatu, kalau aku alih-alih kepo urusan orang lebih baik cerita yang umum atau indah-indah aja, kalau sebatas ditanya anak berapa, kelas berapa, yah sudahlah tapi memang ada kok segelintir orang yang keponya keterlaluan wkwkwk...bikin infill tapi masih kerabat dekat, sudahlah sabar aja.
BalasHapushehehe .. kakau lagi kumpul - kumpul memang heboooh ya mba. pertanyaan kepo pun bermunculan. Aku sih cuek aja.. dulu kalau ditanya macem - macem aku jawab secukupnya aja
BalasHapusDulu pertanyaan itu aku dapatkan sebelum menikah. Bertubi-tubi pertanyaan. Sampai akhirnya saya emosi, dan jawab kasar. Dia tersinggung juga.
BalasHapusSelain itu, ada juga pertanyaan sebelum saya hamil saya sampai kesal mendengarnya sampai-sampai tek jawab "Apa saya harus hamil duluan kayak cucunya situ? Hamil 4 bulan baru nikah," sejenak suasana hening, dan saya pergi meninggalkan orang itu. Sebodo amat lah siapa dia. Kadang pertanyaannya gak mikir dulu.
"Sulit untuk mengatur pertanyaan orang. Hal yang lebih mungkin kita kondisikan adalah bagaimana sikap diri dalam memberikan tanggapan" ini bener banget sih. Buat kita yang sudah mengerti, insyaAllah kita bisa lebih bersikap, karena kita juga tau, mereka yang bertanya mungkin hanya sekedar basa basi dan tidak mengerti kondisi kita.
BalasHapusAtau mungkin keceplosan kayak cerita keceplosan bertanya "putrane pundi" tadi ya, huhu.
Tapi karena kita juga mengerti ditanya2 hal begitu bisa menyakiti, kita pun sebisa mungkin menjaga ucapan. Semogaa kita bisa menjaga ucapan kita yaa maak
Ahahaha, iya banget ya, kalo ngumpul sama keluarga besar, pasti aja ada yang ditanyain. Jangankan ke anak-anak muda, eh ke orang tuanya juga begitu. Karena pernah ngalamin salting saat ditanya begitu, sebisa mungkin aku gak kayak mereka. Aku coba buat ngobrol hal lain aja. Walopun nyebelin dengan pertanyaan-pertanyaan kayak gitu, aku berusaha ngerti. Kadang-kadang dari mereka ada yang nanya begitu karena mereka gak tahu harus ngobrol apa. Walopun ada juga sih dari mereka yang memang sengaja nanya begitu untuk nyari kelemahan kita. Hehehehe. enjoy aja manteman saat ditanya begitu. :)))
BalasHapusSerba salah sih Mbak kalo ngadepin orang yang sudah berusaha punya anak gitu, sementara kita gak tau kan. Jadi memang kudu kuat ya. Dan kita kudu hati hati pilih pertanyaan.
BalasHapusSerba salah sih Mbak kalo ngadepin orang yang sudah berusaha punya anak gitu, sementara kita gak tau kan. Jadi memang kudu kuat ya. Dan kita kudu hati hati pilih pertanyaan.
BalasHapushihihi emang kuping saya panas bener kalo nerima salah satu dari pertanyaan di atas.. Kapan mantu? naahhh ini yang bikin mulut saya gatel buat nyerocos.. tapi biasanya saya balas dengan senyum aja
BalasHapusDulu waktu masih sendiri banyak banget pertanyaan yang buat aku merasa terlalu intimidatif. tapi sekarang faktor u juga kayanya udah makin cuek. Senyumin aja dan buat kita probadi untuk jaga lisan supaya nggak terlalu kepo atau basa basi yang berpotensi menyakiti.
BalasHapusBahkan tadi ada yang bikin baju kaos dengan tarif sesuai dengan jenis pertanyaan hari raya
BalasHapusLumayan itu sekali nanya denda 5 juta hahah
wkwk aku mo nulis tentang ini juga pertanyaan dari masa ke masa yang bikin baper, kalo kemarin aku baper karena dibilang gendut kelihatan pendek. wlaupun itu facta tetap jadi sedih
BalasHapusHari raya sebentar lagi
BalasHapusSaatnya bersiap dengan beragam pertanyaan ajaib ya mbak
Haha
Kalau di keluargaku, ada masku yang belum menikah, kak Lis..
BalasHapusJadi setiap detik, setiap waktu, setiap saat kalau ketemu, gak hanya pas lebaran, yang ditanyain selalu "Kapan menikah?"
Sampai masku jengah dan malas bertemu beliau.
Aku pun ikut mendidih rasanya kalau tau sendiri. Kalo gak inget beliau yang dituakan, mungkin uda kami jawab "Ya mana ada yang mau gak nikah-nikah.. tapi kalau jodohnya belum ada, mau gimana?"
Kalau dijawab kek gini kan kata orang Jawa tuh nyangklak ya..?
Jadi sebaik-baiknya memang basa-basi yang jelas-jelas aja..
Yang jelas kita tahu dan obrolan netral.
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada setiap kali ngumpul keluarga. Ada aja yang nanya begitu ya ke yang single, belum punya anak, baru punya anak satu. Ya udahlah nggak usah terlalu dipikirin emang. Kadang perlu juga cuek sih daripada terlalu ditanggapin dan malah jadi kebawa perasaan.
BalasHapuskita enggak bisa membungkam semua pertanyaan orang semakin dewasa usia aku semakin bisa menetralisir pertanyaan itu-itu saja, tapi semoga aku gak baper tahun ini
BalasHapusKita emang ga bisa mengontrol orang lain komentar apa, tapi kita bisa mengontrol reaksi dan emosi kita. Klo udah emosi banget kadang ya aku tinggalin aja hahahaha
BalasHapusAku lagi di posisi, sekarang kerja di mana? Secara sekarang aku IRT. terus ditanya, kapan nambah anak.
BalasHapusSebenarnya sih enggak apa-apa ya ditanya, tapi lanjutannya itu hlo yang ujungnya membandingkan. Baper malah dibilang lebay, maunya ndableg kok ya sulit. Huhuhu...