Beberapa hari lalu aku berkaca-kaca ketika membuat status facebook berikut ini :
Kalau ada salah grammar, tolong dikoreksi dengan baik yaaa… Bahasa Inggrisku memang tidak fasih, masih harus banyak belajar.
Aku berkaca-kaca karena tak terasa kami sudah tiga tahun saja tinggal di Makassar. Ah ya, sebenarnya terasa sih, terlebih ketika tiba waktu untuk bayar kontrakan๐. Namun, dalam hal rentang waktu, you know-lah maksud dari ungkapan “tak terasa.”
Kata “tak terasa” tadi berteman karib dengan ungkapan “time flies so fast.” Padahal waktu mah tetap segitu-segitu aja. Satu tahun ada 12 bulan, 1 bulan 30/31 hari, 1 hari 24 jam, 1 jam 60 menit, dan 1 menit 60 detik. Kecuali kalau kita pindah planet dan mengukur waktu berdasar hitungan bumi, jelas bakalan beda.
Namun, waktu berdasarkan matematika memang beda dengan waktu berdasarkan perasaan. Dengan matematika secara umum, kita akan mendapatkan rincian waktu seperti di atas. Sementara berdasarkan perasaan, durasi waktu yang sama persis, plek ketiplek, bisa disebut cepat, bisa juga dibilang lambat.
Seperti urusan tinggal di Makassar ini :
“Tak terasa” sudah tiga tahun sejak terbang dari Medan pada 4 Juli 2020. Tanpa membuka catatan, aku mudah mengingat tanggal tersebut karena bertepatan dengan perayaan kemerdekaan Amerika Serikat. Aku pernah membaca salah satu teori untuk mengingat adalah mengaitkan satu hal dengan hal lainnya. Teori itu tak selalu berhasil sih, tapi dalam beberapa hal cukup membantu.
Aku mengingat hari itu sebagai penerbangan yang tidak biasa. Horor COVID-19 sangat berpengaruh pada tata-cara penerbangan. Bersyukur aku sempat menuliskan pengalaman terbang saat COVID-19. Mana tahu blog ini eksis hingga masa depan dan cerita itu masih terbaca sebagai remahan pengingat pandemi yang pernah menghantam bumi.
Tiga tahun di Makassar…
Tentu saja sudah cukup banyak hal yang aku lewati sebagai pribadi dan keluarga. Kalau mengingat kepindahan saat COVID masih ganas, juga fakta bahwa BJ sempat positif COVID, membuatku semakin sadar bahwa hidup kami adalah semata karena anugerah.
Tiga tahun di Makassar…
Bersyukur, semua kabupaten/kota sudah lengkap kami pijak. Ini terutama berlaku buat aku dan anak-anak. Buat si ayah sih beda lagi, kerjaannya memang mesti sering ke lapangan. Mungkin, dia sampai hafal letak lubang di jalan. ๐
Sedangkan bagi aku dan anak-anak memang bukan jelajah yang tuntas. Kami hanya mendatangi tempat-tempat tertentu, bahkan di sebagian daerah hanya selintas lewat. Yang penting kan sudah pernah nginjek tanah di daerah itu.๐
Bira.
Dan lain-lain…
Kalau kelak pindah dari sini, bisa jadi tempat-tempat itu tak akan kami datangi lagi.
Tiga tahun di Makassar..
Mencicipi aneka makanan. Coto, pallubasa, dan sop saudara hanya sebagian dari sekian menu khas Makassar. Berbeda dengan ketika pertama tinggal di Sumatra, di sini lidahku tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan menu-menu khas di sini. Beberapa makanan atau cara makan terasa baru buatku, tetapi ternyata enak juga setelah dicoba. Makan pisang goreng dengan sambal, atau jagung rebus dengan jeruk nipis… Di tempat lain itu mungkin cara yang asing, tetapi di sini adalah hal biasa. Kuliner kita memang bhinneka.
Kabar buruknya, tiga tahun di sini berat badanku naik lima kilogram huhuhuhu.
Tiga tahun di Makassar.
Awalnya, sangat lambat untuk mengenal orang. Terutama karena kami datang saat pandemi, ketika kontak langsung sangat dibatasi. Jaga jarak..di rumah saja.. Pandemi berlalu, pelan-pelan kami mendapat teman, entah itu dari tetangga, teman gereja, juga teman sekolah.
Teman-teman yang mewarnai hidup saat ini, juga mungkin nanti. Jika engkau jauh dari akar, maka teman baik di tempat jauh adalah harta yang sangat berharga. Sebagian mereka bahkan bisa menjadi sangat dekat serupa keluarga.
Tiga tahun di Makassar.
Aku masih belum menguasai dialek lokal yang sangat khas. Jangankan bisa berbahasa daerah, berbahasa Indonesia dengan logat Makassar pun aku masih parah. Dialek Makassar, punya partikel-partikel dan ungkapan yang khas. Mi-ji-pi-ki-di-tauwa-bela-pale… dan masih banyak lagi. Lain kali, mesti aku bikin cerita tersendiri.
Hai Fiki Naki dan semua orang yang punya bakal polyglot, aku iri pada kalian semua!!
***
Ini hanya catatan kecil dari sekian cerita yang sudah terlewati. Mungkin bukan perjalanan yang hebat, tetapi aku bersyukur bisa sampai hari ini.
Kalau ditanya, sampai kapan tinggal di sini? Bagiku, itu serupa misteri yang jawabannya tak perlu kucari-cari. Jalani hari demi hari, dengan segala warna yang ada. Sudah itu saja.
Tiga tahun di Makassar memiliki banyak cerita ya. Dimanapun berada semoga sehat selalu. Dan bercerita pengalaman seperti ini jadi saya juga ikut merasakan pengalamannya. Belum tentu saya mah bisa menginjakkan kaki di pulau Sulawesi. Hehehe
BalasHapusKalau aku, berpindah-pindah tempat tinggal itu pasti menyenangkan Mbak. Pasti ganti-ganti suasana, beda suasana, bisa jelajah tempat-tempat wisata. Beruntung dirimu dan anak-anak Mbak, bisa jelajah Makassar sebelum nanti pindah lagi
BalasHapusDikit itu kalo naik BB segitu, hehehe. artinya cocok yah makanannya atau suasananya ya kan. Makanan makasar kan banyak yang enak juga
BalasHapusPastinya banyak kenangan indah dan pengalaman tak terlupakan ya mbak. Bakalan teringat terus anak2 sampai gede nanti
BalasHapusSepertinya saya masih ingat postingan Mbak Lisdha yang tentang pindah ke Makassar saat pandemi. Pengalaman Mbak Lisdha ini jadi mengingatkan saya dengan kakak ipar.
BalasHapusKakak ipar saya betah sekali di Makassar karena banyak makanan enak. Tetapi, untuk bahasanya memang cukup sulit dimengerti. Sekarang udah pindah lagi ke kota lain. Tapi, dari berbagai ceritanya, sepertinya Makassar memang paling berkesan.
Aku yang ngikuti cerita pindahanmu ke Makassar dari blog, langsung berpikir sejenak mbak "loh iya ya sudah 3 tahun?" Benar-benar gak berasa banget ya mbak. Pindah-pindah tempat gini apalagi ke daerah jadi punya cerita tersendiri sih ya mbak, selain itu jadi bisa eksplor di daerah kita tinggal ya.
BalasHapusTernyata ya maak dah 3 th prasaan baru kemarin pindahan ๐คญ apa krn pandemi ya jd ga berasaa ...
BalasHapusBanyak pengalaman yang didapatkan ya mak lisdha efek selalu ngijuti kemana suami bertugas...
Suamiku juga merasakan mba,gimana rasanya adaptasi ke daerah bukan kelahiran,dari makanan,bhs daerah,ciri² khas pembawaan masyarakatnya,dan ternyata seru :)
BalasHapusMak Lis, aku iri. Lahir dan besar di Purworejo, jarang kemana-mana, membuat otakku selalu terpikir kelak harus pulang ke sana. Aku bukan perantau ulung. Ragaku di Solo, yang bahkan sebenarnya masih sama-sama Jawa Tengah juga, tapi pikiranku lebih sering di rumah sana.
BalasHapusAku iri, karena perasaanku ini bikin aku ngga pengen kemana-mana. Terlalu nyaman di rumah bikin aku serupa katak dalam tempurung.
Kalian beruntung, bisa menjelajah nusantara. Tentunya ada banyak pengalaman yang mengayakan dada. :)
Perasaan baru kemairn pindah ya mbak, aku baca di postingan blognya kalau ga salah ternyata udah 3 tahun aja.Banyak cerita pastinya di Makassar. Gak akan akju tanay sampai kapan di Makassar kok mbak hehehe pantau aja cerita2nya di blog seru
BalasHapusWah ternyata sudah 3 tahun ya Mba tinggal di Makasar. Saya baru tahu ada kebiasaan unik seperti makan jagung dengan jeruk nipis atau makan pisgor dengan sambal. Tak biasa emang ya. Pasti jadi cerita yang tak terlupakan.
BalasHapusSelamat!! 3 tahun sudah tinggal di Makassar..betah berarti ya Mba Lisdha, buktinya naik 5 kg beratnya kwkwk. Apapun, semoga pindah dari Makassar nanti sudah bisa bedakan pemakaian mi ji pi ki di..
BalasHapusSehat-sehat semua:)
aku pernah tuh mba makan lontong sayur di samping hotel yang dekat pantai, aduh lupa lagi nama hotelnya apa, itu enaakk banget
BalasHapusAku belum pernah ke Makassar tapi suamiku pernah kerja agak lama di sana. Katanya makanannya banyak daging dan tetmasuk murce jd deh perbaikan gizi yang juga ngefek ke BB hehe.
BalasHapusWah seru banget mbak gara2 tinggal.di Makassar jadi bisa menjelajahi daerah2 di Sulawesi yang lain yaa. Semoga tahun ini makin banyak lagi nih yang bisa dieksplore๐
senang bisa beradaptasi ya Mbk, aku ikut suami pindah ke Padang sempat mengalami culture shock, di mana bahasa dan saat suami kuliah, ekonomi sangat terbatas sekali. Makassar makanannya enak nih jadi pengen coba kulinernya.
BalasHapusHahahahha, kbayang tuh kalo si Ayahnya ampe hafal lubang di jalan, ngakak atulaah.
BalasHapusAlhamdulillah ya Mak, tiga tahun disana penuh dengan cerita dan pengalaman selama di Makasar, balik lagi ke bersyukur .
Pasti kita tidak akan pernah lupa kota kita bersinggah yaa. Banyak kenangan manis dan juga tentunya makanan-makanan enak hehehe. Tapi jujur, aku belum pernah loh kesana, jadi pengen deh dalam waktu dekat.
BalasHapusSebagai orang Makassar, saya iri sama Mbak Lisda nih, soalnya sudah lebih banyak daerah yang dikunjungi daripada saya yang lahir, besar bahkan tidak pernah kemana-mana, hahhaha. Pssst, saya belum pernah ke Selayar loh Mbak, bagaimana itu? Kan memalukan yah hahaha..
BalasHapusNamun, apa pun itu, saya dan warga Makassar berdoa, semoga Mbak Lisda betah dan kelak kalau ditakdirkan pindah lagi, Mbak sekeluarga hanya membawa kenangan baik, kenangan buruknya dibuang saja di sungai Jeneberang yah.
Menguasai bahasa lain emang gak mudah meskipun kita udah tinggal lama di daerah itu. Sama kayak aku masih aja gak bisa satu pun bahasa daerah.
BalasHapusBegitu udah dijalanin, bener ya mak, gak kerasa udah 3 tahun aja ternyata. Di awal mah kayanya bakal lama, taunya begitu udah ngerasain, 3 tahun lewat ajah. Jadi terbiasa sendiri dan jadi haru ya begitu nginget2 lagi
BalasHapusEngga terasa udah tiga tahun aja mba di makasar. Setelah ini kemana lagi mba? Hehehe
BalasHapusAlhamdulillah ya mbak, tiga tahun di Makassar dah banyak yang jadi cerita nih hehe Alhamdulilah juga sudah menjelajah di kota dan kabupatennya yaa. Saya jadi iri juga nih, saya tinggal di Bogor sejak orok belum menjelajah semua tempat di sini, seperti diingatkan saja. Thanks mbak .
BalasHapus