Dua hari lalu, aku dapat tatto gratis di tangan sebelah kiri. Tentu bukan tatto cantik dari studio, melainkan tatto dari wajan panas. Waktu itu, aku mau meletakkan sesuatu di samping kompor yang tengah memanaskan penggorengan. Karena gerakan tangan yang terlalu kreatif, akhirnya terciptalah tatto kecil dekat pergelangan tangan.
Hoho…itu mah bukan tatto, Jeuuung…
Haha, iyain aja kenapa sih? Biar seneng dikit gitu lho..
Sakitnya nggak seberapa. Sebab antar kulit dan kuping wajan cuma terjadi kecupan singkat :D . Jadi bukan luka yang dalam. Tapi sudah pasti, bekasnya akan bertahan selama beberapa hari (atau malah beberapa minggu?).
Maka itu, kusebut dia sebagai tatto.
Lagipula, luka kali ini terbilang beda. Kalau dilihat sekilas seperti ada manis-manisnya motifnya. Jadi, dengan bangga aku posting di facebook. Lalu, teman blogger, teh Ade Ufi bilang motifnya seperti kipas. Aku setuju, sepintas pandang, bentuknya memang seperti kipas.
Gara-gara tatto dari wajan panas ini, aku jadi ngobrol sama suami, bagaimana kalau aku pasang tatto?
Suami bilang, boleh saja.
Haha, tentu saja, pertanyaan dan jawaban ini sama-sama bercyandha. Meski aku tidak tattophobia, nggak kebayang saja kalau pasang tatto. Mesti datang ke studio tatto lalu menjalani prosedur tatto. Belum lagi soal gambar, mau pilih gambar apa coba? Wkwk
Aku ngilu membayangkan jarum menari di atas kulitku…. ngilu juga membayangkan berapa duit buat prosedur itu wkwkw.
Buat everyday emak-emak kayak aku, prinsip mendang-mending soal bugdet masih sering berlaku. Tapi mendang-mending ini aku terapkan buat diri sendiri yaaa. Aku berusaha banget untuk tidak komentar mendang-mending pada pilihan orang lain. Iya sih, kadang keceplosan juga wkwkwk (makanya kubilang “berusaha banget”...)
Balik ke soal tatto..
Tak berselang lama dengan dapat tatto wajan, aku dengerin podcast di “tutup pintu”. Bintang tamunya ex-vokalis band - aktor - youtuber Onad dan Beby (istri Onad) dengan host Prast Teguh. Podcast santai saja sih, dengerinnya juga sambil nyupir alias nyuci piring.
Di obrolan itu, salah satu topiknya kurang lebih lebih begini : bagaimana kalau anakmu izin mau pasang tatto di badannya? Btw, Onad, Beby, dan Prast sama-sama punya tatto yaa.. Jadi mereka ngobrolin topik ini selaku ortu yang bertatto.
Jawabannya :
Meski mereka sendiri bertatto, sebagai orangtua mereka tidak akan serta-merta membebaskan anaknya untuk bertatto. Bukan melarang, tetapi lebih menekankan pada langkah diskusi lebih dulu. Diskusi terkait tujuan hidup si anak. Kalau si anak memang memang sudah haqul yakin mau berjuang di dunia seni dan industri kreatif, sila punya tatto. Kalau masih ragu, mending tahan dulu deh keinginan untuk bertatto. Sebab, banyak jenis pekerjaan yang memang tidak mengizinkan pemakaian tatto.
Kan ribet yaa kalau ternyata nanti sering dapat masalah soal kerjaan gara-gara tatto.
Membahas tatto memang seolah obrolan tersier. Beda banget dong dengan obrolan primer macem toko mana yang lagi diskon beras dan minyak goreng atau kerjaan apa yang bisa dikerjakan freelance dan duitnya lumayan. Ini topik obrolan primer dong…kan menyangkut kebutuhan dasar. Sementara, tatto jelas kebutuhan tersier. Kita nggak akan mati walaupun pengiiin banget punya tatto tapi nggak terpenuhi.
Intinya, bagi kebanyakan orang, tatto bukan jenis obrolan sehari-hari.
Tapi, sebagai orangtua, bisa jadi suatu hari bocah-bocah kita yang beranjak besar akan membuka obrolan soal itu lho. Dia mencoba cek ombak, bilang ke papa-mamanya. boleh nggak pasang tatto?
Masih mending bilang dulu ya... Alih-alih izin, sebagian anak-anak muda diam-diam pasang tatto tanpa sepengetahuan orangtua. Selain merasa sudah besar, mereka juga yakin kalau nggak bakalan dikasih izin. Mau izin sampai ngelesot di lantai dan nyuci piring 1000 hari pun tetap bakalan dijawab BIG NO.
Gapapa sih kalau tatto permen karet YOSAN. Paling dua-tiga hari juga bakalan ilang wkwkwk (eh masih ada nggak sih permen karet YOSAN?)
Aku jadi ingat podcast anak-anak presenter Andy F Noya. Suatu hari, mereka menghadirkan bintang tamu Bang Andy dan istrinya ~Bu Palupi. Jadi podcast dengan obrolan random keluarga Andy F Noya gitu deh. Banyak becyandha, tapi banyak juga insight positif tentang parenting dan keluarga.
Salah satu topik yang dibahas adalah tentang tatto. Jadi “pengakuan dosa” deh, bahwasanya, anak-anak Bang Andy ini diem-diem pasang tatto (saat SMA kalau nggak salah) dan sebisa mungkin mereka berusaha menyembunyikan pada Bang Andy dan Bu Palupi. Sampai-sampai, pas jalan-jalan ke pantai pun, mereka tetap bertahan pakai baju demi menyembunyikan si tatto.
Kalau tatto sudah terpasang, kemurkaan ortu nggak akan bisa menghapus si tatto kan? Ya memang ada prosedur menghapus tatto. Namun, tanpa kemauan pribadi, penghapusan paksa si tatto mungkin malah menimbulkan luka baru…. Luka hati.
Tatto memang belum diterima luas sebagai kewajaran. Masih ada pro-kontra soal tatto, tergantung keyakinan (termasuk agama di poin ini), cara pandang, dan pemahaman. Tatto juga masih dipandang sebagai hal negatif oleh sebagian khalayak. Terlebih kalau lingkungannya jauh dari seni atau industri kreatif, pasang tatto bisa dibilang preman/anak nakal.
Perkara tatto bisa jadi bikin panas-dingin hubungan anak dan orangtua. Ini terutama kalau orangtua masih berpegang pada nilai-nilai yang ketat, sementara si anak merasa tidak masalah kalau pasang tatto.
Bahkan, orangtua yang bertatto seperti Onad, Beby, dan Prast pun tidak akan serta merta membebaskan anaknya pasang tatto yaaa… (meski bagi orangtua golongan ini tentu akan lebih cair ketika anak-anaknya bisa mengajukan alasan yang kuat).
Aku sendiri, bagaimana ya kalau suatu hari dapat pertanyaan itu?
Haha, entah sih. Sebagai anak yang biasa dikasih kebebasan asal bertanggung-jawab, mungkin aku juga akan cenderung memilih jalan diskusi dengan kasih poin plus-minusnya. Jadi, si anak akan mengerti konsekuensi dari pilihan dia plus bertanggung jawab terhadap pilihan itu.
Lagipula, kalau anak sudah beranjak besar, sejauh apa sih kita bisa membatasi dan melarang? Banyak kejadian, semakin dilarang malah semakin memberontak. Atau sebaliknya, mereka tunduk dalam keterpaksaan dan mengalami depresi mental.
Tapi, kalau semisal anak sudah yakin dengan pilihan mau tatto-an, sepertinya aku tetap mau kasih saran buat tatto temporer aja. Ini mengacu pada pertanyaan klasik : “di dunia ini, apa sih yang tidak berubah selain perubahan itu sendiri?”
Jangan-jangan, hari ini sudah haqul yaqueen mau tattoan, eh beberapa tahun kemudian menyesal karena suatu hal. Konon tatto permanen kan lebih syusyah, lebih syakit, dan lebih mahal buat menghilangkannya.
Haha, apa’an coba membahas hal kayak gini?
Yah, mungkin kita tidak akan mendapatkan pertanyaan tentang tatto. Tapi sangat mungkin anak-anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang mengejutkan. Apalagi di masa banjir informasi seperti sekarang, anak-anak bisa nemu bahan pertanyaan/keinginan dari mana saja.
Semoga kita diberi kemampuan dan kebijaksanaan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan dan keadaan-keadaan yang tak terduga dalam perjalanan sebagai orangtua.
Aku sebenernya tipe ibu yg ga mau memaksakan kehendak. Krn belajar dari pengalaman dulu, ortuku sangat otoriter. Ujung2nya bukan nurut, malah aku nya jadi pemberontak.
BalasHapusGa pengen anak2 gitu.
Tapiii kalo urusannya udah terkait keyakinan, yg mana jelas2 di agama kami di larang, aku saklek mba. Ga akan merestui sampe kapanpun. Mereka boleh ambil jurusan apapun saat sekolah, atau mau pilih profesi apapun, hobi yg sesuai Ama minat, tapi semuanya ga boleh ada yg menentang agama. Itu aja syaratnya.
Saya kira tadi beneran bikin tatto lho huhu. Ternyata terkena wajan panas
BalasHapusCerita tatto ya..., anak pertamaku memiliki tatto. Jujurly aku terkejut walaupun tatto sekarang lebih ke art bukan identik kriminal. Tapi ya aku minta sayang nak jangan digambar-gambar tubuhnya. Tulisannya mengutip ayat Alkitab 7x70, memaafkan
BalasHapus