19 Oktober 2023
Pagi hari sepulang mengantar anak-anak sekolah, di dalam mobil aku iseng selfie mengenakan blangkon milik suamiku. Foto untuk lucu-lucuan, mengingat blangkon tidak lazim dipakai oleh perempuan. Plus... saat itu diriku belum mandi dan gosok gigi, apalagi mengoles skincare. Aku hanya sempat mencuci muka sehabis bangun tidur, sebelum riweuh dengan persiapan anak-anak ke sekolah.
Blangkon itu milik suamiku. Katanya, blangkon itu peninggalan mendiang bapak (a.k.a bapak mertuaku. Biasanya, blangkon itu ada di kotak penyimpanan. Aku lupa bagaimana si blangkon bisa keluar kotak lalu berada di dalam kendaraan. Sepertinya, suatu hari suamiku mengenakannya saat mengantar anak-anak ke sekolah, lalu ia tidak kembali membawanya masuk ke dalam rumah.
Sungguh, semula aku selfie hanya untuk lucu-lucuan. Jenis foto yang lambat atau cepat akan dengan mudah kuhapus tanpa banyak keraguan.
Namun, foto ini terasa berbeda. Aku bahkan ingin memajangnya di blog dan media sosial. Keinginan ini berlawanan dengan kebiasaanku yang jarang (bukan berarti tak pernah) mengepos foto close up di dunia maya. Aku tahu sebab musabab timbulnya keinginan itu. Yakni blangkon berhubungan dengan sesuatu di masa lalu. Sesuatu yang penting tetapi bagiku hanya tinggal ingatan yang sedikit dan samar.
Apakah kamu ingin tahu tentang sesuatu itu?
Bila tidak, silakan tinggalkan tulisan ini. Bila iya, tentu saja kamu harus lanjut membaca.
Oke...aku lanjutkan tulisannya.
Jujur, aku sangat minim pengetahuan tentang blangkon. Aku hanya tahu kalau blangkon adalah penutup kepala tradisional yang umumnya dikaitkan dengan suku Jawa. Namun, penutup kepala serupa blangkon juga dimiliki suku-suku lain. Aku perlu searching internet untuk menulis paragraf penjelasan ini :
Salah satu versi historis menyatakan, kata blangkon berasal dari bahasa Belanda "blanco/blangko" yang secara harfiah berarti "siap pakai". Istilah ini merujuk pada kebiasaan bangsawan Jawa yang sering terlambat dalam menghadiri pertemuan dengan kolonial Belanda. Alasan keterlambatan itu adalah karena lamanya mengikat kain penutup kepala (iket/udeng). Untuk itu, blangkon diciptakan sebagai penutup kepala yang siap pakai.
Blangkon terdiri dari berbagai jenis dan desain yang membedakan daerah, tujuan pemakaian, maupun strata sosial. Beberapa jenis blangkon antara lain, blangkon Jogja, blangkon Solo (Jawa Tengah), blangkon Jawa Barat, blangkon Bali dan lain-lain.
Blangkon biasa dibuat dari kain jarik. Blangkon bukan sekadar penutup kepala, tetapi juga memiliki arti filosofis. Blangkon merupakan simbol budaya nusantara yang mengandung makna kesederhanaan, kreatifitas, ikatan dengan budaya, kebersamaan/kesatuan, dan konsistensi.
Itulah sekilas hal yang aku baca tentang blangkon. Tentunya, masih banyak lagi hal yang bisa dipelajari dari sejarah dan perkembangan blangkon. Seperti kubilang tadi, pengetahuanku tentang blangkon sangatlah minim. Seminim kenanganku bersama almarhum simbah kakung (dari pihak bapak) yang di masa hidupnya merupakan seorang pembuat (seniman) blangkon.
Aku...blangkon...Mbah Kakung.
Kenangan yang samar. Aku tidak ingat, kapan persisnya beliau meninggal. Lebih parah lagi, aku bahkan lupa bagaimana wajahnya. Ini terjadi bukan karena keluargaku bermusuhan dengan simbah sehingga aku jarang berjumpa dengan beliau. Tidak, kalian tidak akan mendapatkan semacam cerita shitnetron dalam hubungan kami.
Rumah orangtuaku hanya terpisah kecamatan dengan rumah simbah. Ketika kecil, aku sering ke rumah simbah. Aku yakin, di masa-masa itu aku pasti sering bercakap dengannya. Kalaupun bukan percakapan yang dalam, setidaknya ada percakapan-percakapan sewajarnya kakek dengan cucunya.
Tapi sungguh mati, aku tidak punya kenangan tentang itu. Tanpa bertanya pada ibuku atau bulik-paklikku, aku hanya punya sejumput hal yang bisa kuceritakan. Yakni tentang sesosok tubuh yang tengah tekun mengerjakan blangkon. Tentu saja, ingatan itu tidak meliputi fitur wajah simbah.
Dalam mengerjakan blangkon, simbah menggunakan cetakan kepala yang terbuat dari kayu. Seingatku, saat itu simbah punya beberapa cetakan kayu. Aku tidak punya ingatan yang lengkap dan detail saat simbah membuat blangkon. Yang kuingat hanya beliau bertekun dengan kain, jarum, benang, dan cetakan kayu. Aku tidak tahu dari mana beliau mendapat ketrampilan itu. Aku juga tidak tahu, kemana saja beliau menjual hasil karyanya. Atau, siapa saja yang memesan blangkon bikinan simbah.
Kurasa, beliau pasti punya banyak cerita seputar blangkon.
Seandainya, beliau masih hidup, sepertinya aku akan bertanya-tanya dengan bersemangat. Lalu dengan bangga aku akan berpose dengan beliau bersama "anak-anak" blangkonnya.
Tapi, faktanya, tahun meninggalnya beliau pun aku tak ingat (apalagi bulan dan tanggal). Bahkan, aku sama sekali belum pernah berziarah ke makam beliau. Mungkin ini terdengar jahat, tetapi aku memang dibesarkan tanpa tradisi berziarah. Ibuku dan keluarga besarnya memang tak punya kebiasaan ziarah rutin ke makam. Belakangan setiap pulang kampung, aku rutin ke makam bapak dan simbah-simbah (dari pihak ibu). Kebiasaan yang ditularkan oleh suamiku. Tapi sejauh ingatanku, aku belum pernah ke makam simbah.
Kecuali sekitar dua tahun lalu. Aku mencoba datang ke area makam simbah. Tidak bisa dibilang sendirian, karena aku ke sana bersama anak bungsuku. Namun, bisa juga dibilang sendirian dalam hal tidak bersama saudara yang tahu lokasi persis makan simbah (dan juga makam dua paklik-ku dari pihak bapak). Aku terlalu segan untuk meminta tolong pada bulikku untuk mengantar ke sana.
Aku hanya berharap, di makam aku bisa menemukan pusara dengan tulisan nama simbah dan paklik-paklikku. Namun, harapanku tidak terwujud. Area makam cukup luas, aku membawa anak kecil, plus aku tidak meminta petunjuk arah dari bulik-bulikku (bahkan bilang mau ke makam pun tidak). Alhasil, aku tidak menemukan makam yang kumaksud.
Kalian boleh bilang aku bego... Memang demikian yang terjadi.
Setidaknya, setiap melihat blangkon, aku selalu ingat simbah. Mungkin, aku mewarisi sedikit bakat kerajinan dari beliau, sehingga aku menyukai pelajaran prakarya. Meski tidak sampai menjadi profesi, tetapi aku menikmati jika sesekali aku membuat suatu kerajinan dengan tangan sendiri.
Aku memang tidak punya banyak ingatan tentang beliau. Apakah aku rindu? Mungkin tidak. Ini mungkin terdengar kejam. Tapi aku tidak punya banyak ingatan, bagaimana aku bisa merindukan? Namun, tidak rindu bukan berarti benci atau melupakan. Blangkon selalu menjadi penyambung antara aku dan simbah. Beliau yang tidak terlalu aku kenal dekat, tetapi merupakan bagian dari akarku, pewaris sebagian genetikku.
Aku memang tidak tumbuh dengan ajaran tentang riwayat panjang keluarga. Kami bukan keluarga keraton atau priyayi yang sangat mungkin punya catatan silsilah yang rapi dan lengkap. Dalam keluargaku, baik dari pihak bapak maupun ibu, silsilah diceritakan secara lisan.
Suatu keberuntungan bagiku ketika aku sempat berbincang tentang keluarga besar dengan simbah kakung dari pihak ibu. Waktu itu, usiaku sudah cukup besar (kuliah) dan sudah mulai tertarik dengan asal mula. Tetapi, tetap saja tak kudapat silsilah yang panjang ke atas. Ingatan simbah hanya tertenti pada bapaknya (yang adalah buyutku). Selebihnya simbah tidak tahu. Begitulah... urusan asal-usul di kalangan rakyat jelata memang sering payah ditelusuri. Sebab di masa lalu, kebanyakan mereka buta aksara dan merasa tak perlu ada pencatatan.
Dan aku tak punya kesempatan berbincang semacam itu dengan simbah kakung dari pihak mendiang bapakku. Setidaknya, ada blangkon yang selalu mengingatkanku pada beliau. (*)
Maklum kok mba, kalo sampe ga tau banyak ttg Simbah, apalagi meninggalnya pun di saat kita kecil. Tapi untungnya ada penghubung si blangkon itu yg bisa ingetin mba dengan Simbah ☺️.
BalasHapusMemang kok, kalo ingatan aja ga ada ttg kakek nenek, gimana bisa rindu. Aku termasuk yg kakek neneknya meninggal di saat aku msh kecil. Malah dengan nenek dr pihak mama ga kenal blasss, Krn meninggalnya pas mama usia 2 THN 😅. Jadi kalo ditanya pengalaman dengan kakek nenek kayak apa, ya ga ada 😁. Ditanya kangen ga, gimana bisa kangen kalo inget aja ga 😄. Bedanya aku ga ada satu pun penghubung yg bisa ingetin ke mereka. Di tambah pula keluargaku juga ga ada trradisi ziarah. Jadi ya sudah, makin ga ingat dan kenal 😅