Gara-gara ingin bikin surprise, kami mendadak ke Bromo pada long week akhir Januari lalu. Tidak mendadak banget sih, tapi juga bukan perjalanan yang direncanakan dengan baik. Dan terjadilah serangkaian drama di Dromo...eh Bromo.
Drama > Dromo... Saya sengaja memplesetkan kata buat judul. Habis kata drama-dromo terdengar lucu. Banyak kan kata ulang yang berubah vokal semacam ini. Tapi langsung saya koreksi yaaa...Maksud saya adalah Bromo, sebuah kawasan wisata pegunungan di Jawa Timur yang sangat terkenal itu. Pemandangan indah dan keunikan budaya membuat Bromo menjadi destinasi yang ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Tapi ini pertama kali bagi saya dan anak-anak pergi ke Bromo. Kalau si ayah sudah dua kali ke sana karena acara kantor. Sejak pindah dari Makassar ke Kediri, kami sudah sering menyebut Bromo untuk dikunjungi. Tapi, hingga setahun lewat rencana itu belum juga kami eksekusi. Bahkan, kalau bukan karena ingin bikin surprise, saya tak ingin ke Bromo di Januari.
Alasan terbesarnya adalah cuaca. Januari kemarin memang tidak “hujan sehari-hari”. Namun, saat hujan turun, bisa sangat deras, bahkan bersama dengan angin kencang. Jelas bukan saat yang tepat untuk pergi ke wisata pegunungan. Kalaupun tidak hujan, bisa jadi cuaca mendung berawan. Lebih sedikit peluang untuk melihat sunrise Bromo seperti di konten-konten media sosial. Jadi, saya sih penginnya ke Bromo nanti setelah musim hujan lewat.
TETAPI….. ternyata di tanggal 26-27 Januari, keluarga saya dari Temanggung pergi ke Bromo bersama rombongan Puskesmas. Semula, saya pikir ke Bromo itu acara Puskemas, jadi yang pergi hanya kakak saya (fyi, kakak saya bidan). Ternyata, ke Bromo ini adalah acara keluarga orang-orang Puskesmas, bukan acara kantor.
Sekeluarga Temanggung ikut semua dong. Mereka adalah Upi (demikian kami memanggil Mbah Putri - emak saya), Budhe Ani (kakak saya semata wayang), Pakdhe Mon (suami Mbak Ani), Mbak Icha dan Mas Iel (anak pakdhe-budhe/sepupu anak-anak) ~ di sini saya menggunakan panggilan anak-anak saya (Ale-Elo) ke mereka. Begini nih kalau cuma punya dua anak dan masing-masing anak juga cuma punya dua anak. Keluarga besarnya tetap terhitung kecil. Simpel dan praktis hahaha.
***
Secara administratif, kawasan Bromo terbagi di empat wilayah kabupaten, yakni Probolinggo, Malang, Pasuruan, dan Lumajang. Dari tempat tinggal kami di Kediri, butuh waktu empat hingga lima jam perjalanan darat untuk sampai di Bromo. Tapi kan masih satu provinsi yaaa.. Memang tidak bisa dibilang “dekat sekali”, tapi juga tidak bisa dikata “jauh sekali.”
Begitulah, jauh/dekat dan lama/sebentar memang sering relatif. Tergantung pembanding dan situasi.
Suami dan saya menimbang-nimbang, sepertinya bagus kalau kami juga ke Bromo. Sebenarnya kami sudah beberapa kali mewacanakan untuk pergi ke Bromo bersama-sama. Namun, wacana masih sekadar wacana yang belum bisa terlaksana. Daripada cari waktu tidak juga ketemu-ketemu, ya sudah ketemu di Bromo saja. Kami tanya anak-anak, mau nggak ke Bromo? And they said yes...off course.
Kami memutuskan untuk tidak memberitahu keluarga tentang hal tersebut. Ya kan mau bikin surprise. Oh ya, tahun ini si sulung Ale kelas sembilan (tiga SMP) dan dia sudah diterima di sebuah sekolah swasta di Malang. Tapi kami sama sekali belum pernah ke sekolahnya (pendaftaran dan ujian seleksi dilakukan secara online). Jadi, pada keluarga kami bilang mau ke Malang untuk menengok bakal sekolah Ale. Yang tidak kami bilang adalah “habis nengok sekolah, kami akan lanjut ke Bromo.”
Kami bertanya tipis-tipis tentang rencana perjalanan rombongan Puskesmas biar nanti bisa ketemu di sana. Seperti saya sebut di atas, jalur umum wisata Bromo ada empat, yakni lewat Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Kan berabe kalau ternyata kami mengambil jalur yang berbeda.
Berhubung si ayah sudah dua kali ke Bromo, saya menyerahkan semua rencana rute perjalanan padanya. Saya bagian menyiapkan baju ganti dan perlengkapan lainnya. Kami sempat selintas ngobrol untuk booking kamar dan jeep dari rumah. Namun, keputusannya justru “udahlah, nanti aja” (padahal sudah memperkirakan kalau wiken ada kemungkinan penuh…memang embuh deh hahaha).
Kami berencana berangkat Minggu usai kebaktian pagi di Kediri. Alih-alih persiapan stamina, malam Minggu itu saya hujan-hujanan menemani anak lanang nonton konser Dewa 19 di Tirtayasa Park. Ya gimana, tiket nonton sudah dibeli jauh hari.
Kami pulang nonton konser sekitar pukul 23.00 WIB. Ale langsung tidur sedangkan saya malah beres-beres supaya rumah dalam kondisi bersih saat ditinggal pergi (dasar emak-emak). Alhasil, malah jadi nggak ngantuk dan saya baru tidur sekitar pukul 01.30 WIB. Bersyukur tetap bisa bangun sekitar pukul 05.00 dan langsung siap-siap ke gereja.
Selesai ibadah Minggu, kami langsung cuz ke Malang via Batu. Ini pertama kali bagi saya dan anak-anak lewat jalur ini. Kalau si ayah sih sudah biasa, sebab dia sering ke Malang untuk urusan kerja. Kalau nggak lewat tol, ya lewat Batu. Sempat agak Macet di Batu (long weekend gitu lhoo), Puji Tuhan lewat tengah hari kami sampai Kota Malang. Bersyukur juga, meski hari Minggu, kami bisa masuk menengok ke dalam lingkungan sekolah dengan ditemani staf asrama.
Dari sekolah, kami sempatkan makan siang—yang terlambat. Selanjutnya, kendaraan langsung menuju ke Bromo. Sepertinya sudah hampir satu jam kami berkendara, dari Kota Malang hingga sampai ketinggian dengan jalan sempit yang meliuk-liuk asoi. Hingga akhirnya kami sampai di pintu gerbang area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Seorang petugas menanyakan tujuan kami tanpa kami tahu kalau itu adalah awal dari drama tiga babak.
Drama babak pertama
Suami saya menyebutkan tujuan kami, yakni Ngadisari, Sukapura. Surpriseeeed….ternyata kami tidak bisa lewat jalur tersebut. Bahkan kami diarahkan untuk minggir sebentar lalu petugas memberi penjelasan lebih panjang. Jujur, saya nggak paham dengan arahan petugas hahaha (urusan suami-lah itu). Intinya, jalur menuju tujuan kami hanya bisa ditempuh dengan mobil jeep. Kalau memang mau ke tujuan dengan mobil biasa, kami harus putar balik dan lewat jalur lain.
Dalam perjalanan putar balik saya dan suami menertawakan kejadian ini. “Padahal, kalau di map google bisa lho lewat situ. Aku juga sudah nanya beberapa teman, bilangnya bisa,” kata suami. Hahaha, embuhlah. Apapun itu, kami jadi “membuang waktu” kurang lebih dua jam gara-gara drama salah jalan itu. Ya udahlah, mau nggak mau harus putar balik sesuai arahan petugas.
Oh iya, lupa cerita kalau siangnya kami sudah booking kamar salah satu homestay di Sukapura, Probolinggo via Traveloka. Nah kaaan..bagi yang paham Bromo pasti langsung terbaca kekonyolan perjalanan kami. Booking kamar di Probolinggo tapi jalan lewat jalur Malang. Ya gimana, berdasarkan informasi google map, bisa kok. Iya sih, google map suka ngawur, tapi kami juga pakai GPS (gunakan pertemanan setempat 😂) dan katanya bisa. Gimana nggak merasa yakin, ya kan?
Singkat cerita, kami melaju menuju Sukapura. Sampai di sana menjelang pukul 21.00 WIB dan kami langsung menuju homestay. Di perjalanan menuju homestay, seorang bapak menawarkan sewa jeep untuk esok hari seharga Rp 1 juta. Beginilah kalau wiken, harga naik drastis. Saya sudah googling, kalau weekday sewa jeep dengan rute yang kami mau hanya sekitar Rp 600.000. Tanpa menawar, kami langsung menolak. Lagi-lagi kami pake jurus entar aja. Kami pun lanjut melaju dan sampailah tulisan ini di :
Drama Babak Kedua
Homestay yang kami tuju terletak di antara kebun sayur, agak masuk dari jalur aspal utama. Tiba di sana, suasana sudah sepi. Tak ada resepsionis di depan layaknya motel/hotel. Saya pun menelpon kontak homestay. Di seberang telepon, seorang perempuan menjawab sapaan saya.
Tanpa berpanjang-panjang, saya menginformasikan kalau kami sudah booking (dan bayar) kamar via Traveloka. Kami yang sudah penat karena perjalanan panjang ingin segera masuk kamar dan beristirahat. Namun, jawaban si ibu di luar dugaan kami.
“Maaf Bu, kamar sudah penuh. Nggak tahu ini kenapa masih bisa dipesan dari Traveloka. Padahal saya sudah menginformasikan kalau kamar penuh. Selain Ibu, sudah ada dua tamu lain yang juga booking dari Traveloka dan kamar sudah penuh,” kurang lebih begitulah penjelasan dari seberang telepon.
Woalaaaaah…. Apa lagi ini??? Udahlah capek, duingiiin, eh malah kami terlantar nggak dapat kamar. Bersyukur ibu dan bapak pengelola kamar keluar menghampiri kami. Sementara suami berbincang dengan mereka, saya kontak Traveloka untuk mengadukan masalah. Setelah check and recheck oleh Traveloka, mereka mengakui kesalahan di sistem mereka, jadi uang pembayaran akan di-refund.
Oke-lah uang di-refund. Masalahnya, malam itu kami harus nginap di mana?? Sudah capek banget mau cari-cari kamar lagi. Mana kondisi wiken lagi. Suami sempat menyesalkan kenapa saya tidak memastikan ke pihak homestay sesaat setelah booking. Iya sih…tapi kan sudah terlanjur yaaa.. Sepanjang pengalaman booking dengan Traveloka, belum pernah mengalami yang seperti ini.
Bersyukur, pihak homestay membantu mencarikan alternatif penginapan. Mereka memberi arahan lokasi dan nomor kontak dari sebuah penginapan. Oke deh, pakai yang pasti kosong saja daripada mesti cari-cari sendiri. Toh, cuma buat transit sebentar.
Hanya beberapa menit, kami tiba di penginapan tersebut. Sebuah penginapan sederhana di pinggir jalan utama tapi di depannya tidak ada plang nama. Tak ada tempat parkir, jadi mobil diparkir di pinggir jalan. Kami langsung ditemui empunya penginapan yang bernama Pak Eko. Beliau ramah dan terkesan ringan membantu (dan sepanjang drama di Bromo ini kami memang banyak dibantu Pak Eko).
Ngobrol-ngobrol dengan Pak Eko, kami sekalian mengutarakan kalau belum menyewa jeep untuk perjalanan esok hari. Sedikit info bagi yang belum pernah ke Bromo : untuk sampai area wisata Bromo, mobil pribadi hanya bisa sampai di lokasi parkir. Dengan medan berpasir, perjalanan di area wisata Bromo lazim ditempuh menggunakan jeep sewaan. Sebagai pelaku usaha wisata setempat Pak Eko jelas punya kontak penyewaan jeep. Namun, sayang sungguh sayang, wiken itu semua jeep di area Sukapura sudah habis disewa.
Beliau pun memberi alternatif untuk esok hari naik ke Mentigen (salah satu spot sunrise) naik ojek (kebetulan Pak Eko juga tukang ojek ke Bromo). Saran Pak Eko, kami ke area parkir Mentigen menggunakan kendaraaan kami, lalu naik ke spot sunrise Mentigen pakai ojek. Pak Eko berjanji akan mencarikan jeep untuk kami pakai setelah waktu menjelang siang. Menurut beliau, biasanya ada saja pengunjung yang langsung turun setelah sunrise. Mereka tidak melanjutkan perjalanan ke spot-spot wisata lain di Bromo.
Baiklah…kami ikut saran Pak Eko meski hati sedikit kesal. Bukan kesal pada Pak Eko…Tapi kesal pada diri sendiri. Kalau dapat jeep, rencananya pagi-pagi kami akan ke spot sunrise Pananjakan. Sebab, spot itulah yang akan dituju oleh rombongan Puskesmas. Sementara, dengan ketiadaan jeep, kami hanya bisa ke spot sunrise Mentigen.
Huhuhu… Begini nih kalau persiapannya nggak jelas hahaha. Kan jadi bubrah (rusak) rencana surprise-nya. Ya sudah…malam itu, tanpa mandi kami langsung masuk kamar. Gimana mau mandi, sekalipun ada air hangat, udaranya duingiiin sekali. Saya hanya sanggup cuci muka gosok gigi. Penginnya tidur nyenyak tapi ternyata babak lanjutan sudah menanti.
Drama Babak Ketiga
Kami janjian dengan Pak Eko pukul 04.00. Namun, menjelang pukul 03.00, suami membangunkan saya. Dengan mata masih berat, saya mendengar dia berkata “kita belum beli tiket masuk wisata Bromo.”
Respon saya : hah-heh-hoh?? Maksudnya? Jadi kita bakalan nggak bisa masuk kawasan wisata Bromo? Euuuuwww…
Jadi begini, untuk masuk kawasan wisata Bromo, pengunjung wajib membeli tiket secara online di website. Ini sistem yang bagus untuk mengatur kunjungan wisatawan di Bromo. Kalau yang pergi ke Bromo menggunakan jasa travel, tiketnya pasti sudah diurus pihak travel. Nah, sebelum-sebelumnya, suami pergi ke Bromo selalu pakai jasa travel yang digunakan perusahaan. Dan dia lupa tentang hal itu saat pergi sama anak istri hihihi.
Ampuuun deeeh. Ada-ada saja drama kami saat itu. Rencananya bikin kejutan, tapi malah kami sendiri yang terkezoet-kezoet gara-gara keteledoran sendiri. Bersyukurnya, kami nggak marah-marah saling menyalahkan satu sama lain. Ya gimana, marah-marah nggak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Pasti malah jadi lebih buruk.
Di saat kami masih menertawai diri sendiri, Pak Eko datang menghampiri. Kami pun mengutarakan masalah “belum beli tiket” itu. Plus kami sudah pasrah aja lah kalau memang nggak bisa masuk. Namun, Pak Eko memang solutif. Beliau bilang, “sudah naik aja, nanti saya bantu di gerbang masuk.”
Waduh-waduh-waduh… Saya tahu kalau sistem tiket online dan kuota pengunjung diterapkan untuk mengatur jumlah wisatawan di kawasan Bromo. Tanpa tiket online, kami khawatir nggak bisa masuk. Namun, Pak Eko meyakinkan kalau kami pasti bisa masuk. Dengan bimbang dan menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, kami ikuti saran Pak Eko.
Dari penginapan, butuh waktu sekitar 15 menit hingga gerbang masuk. Makin dekat ke gerbang, jantung saya deg-degan. “Ini serasa mau lewat perbatasan Korut dan Korsel,” kata saya sok-sokan tahu situasi perbatasan yang jauh di sana. Beneran deh, melanggar sistem itu rasanya tidak nyaman. Jangan ditiru ya teman-teman. Atas tindakan ini, saya juga rela dihujat.
Faktanya, dengan bantuan ordal (Pak Eko), kami bisa masuk gerbang tanpa masalah (tapi saya merasa bersalah huhuhuhu). Dari gerbang kami melaju ke tempat parkir, lalu melanjutkan perjalanan ke Mentigen naik ojek Pak Eko dan teman-teman. Ya kan kami berempat, nggak muat dong kalau naik ojek Pak Eko aja.
Sampai di Mentigen, the sun belum rise (hehehe, grammar check silakan). Kami menunggu sembari duduk-duduk di warung dan pesan Indomie. Mantigen pagi itu seperti pasar malam : sesak oleh orang-orang. Si ibu warung bilang, pagi sebelumnya lebih ramai lagi. Sampai terjadi kemacetan berjam-jam saat di jalan pulang. Bromo Game Over, demikian salah satu judul berita di media tentang kemacetan Bromo di hari itu.
Hmmh, saya hanya bisa berharap supaya hari itu tidak semacet hari sebelumnya. Di Mentigen akhirnya saya WA Budhe Ani, memberi tahu bahwa kami juga berada di Bromo, tapi di spot yang berbeda. Dari harapan bisa melihat sunrise bersama-sama, berakhir pada kenyataan hanya bisa bertukar foto bersiap melihat sunrise dari spot yang berbeda.
Surprise yang gagal hahaha.
Segagal pemandangan sunrise pagi itu. Matahari tetap terbit, tapi malu-malu terhalang awan. Ya sudahlah. Kami jalan-jalan dan foto-foto sebentar di Mentigen. Setelah itu kami turun ke parkiran dengan jalan kaki. Duuuh, saya nggak tahan pengin pipis. Celakanya, toilet di kawasan parkiran antri panjang. Saya terpaksa jalan agak jauh untuk mencari toilet umum dan di sana tetap antri panjang.
Di hari biasa, fasilitas toilet sejumlah itu mungkin sudah cukup. Namun, untuk hari ramai, sepertinya perlu dikasih toilet portable sih. Penjaga toilet bilang, persoalan di sana adalah air yang harus diangkut dari bawah. Hmmmh...apakah harus menampung air hujan?
***
Tempat parkir yang semula penuh berangsur lengang. Jeep-jeep menderu pergi membawa penumpang ke tujuan lain. Tinggallah mobil kami sendirian di sana. Terpikir untuk ikut turun, tapi kami terlanjur janjian dengan Pak Eko yang mencarikan jeep. Bersyukur, sekitar pukul 09.00 Pak Eko datang diiringi satu mobil jeep. Seperti yang Pak Eko perkirakan, ada mobil jeep yang hanya mengantar wisatawan melihat sunrise. Jadi, di jam itu, mobil sudah bisa dipakai. Tarifnya pun normal, yakni Rp 600.000.
Kami berempat beralih ke jeep, meninggalkan mobil di tempat parkir. Harapan bertemu keluarga yang sempat pupus kembali mekar. Benar saja, setelah sempat mencari-cari berdasarkan share-loc, akhirnya kami menemukan Upi, pakdhe, dan Mbak Icha sedang makan di area parkir jeep. Budhe dan Mas Iel tidak tampak karena sedang naik ke kawah Bromo.
Kami melepas kangen lalu tertawa-tawa atas drama-komedi gagal surprise. Budhe dan Mas Iel belum juga kembali. Ale dan Elo jadi berkeras ingin menyusul ke area kawah. Saya melepas mereka naik kuda dengan pesan agar mencari budhe. Saya juga WA budhe kalau Ale-Elo menyusul ke sana.
Singkat cerita, akhirnya kami bersembilan bisa berkumpul di warung sebelum lanjut ke spot wisata lain dengan jeep sewa masing-masing. Lah malah lupa foto bersama. Mana kemudian turun hujan dan jeep berjalan masing-masing. Kami tak bertemu lagi selama di kawasan wisata. Ya…padahal belum ada foto bersama.
Sekilas info, nama-nama spot wisata di Bromo sudah diubah sejak Agustus 2024. Bukit Teletubbies menjadi Lembah Watangan, Bukit Cinta menjadi Lemah Pasar, Bukit Kingkong menjadi Bukit Kedaluh, dan Pasir Berbisik/Laut Pasir menjadi Pusung Gedhe. Perubahan menjadi nama lokal/asal itu dimaksudkan untuk pelestarian budaya Tengger.
Saya sampai nggak nanya-nanya, “kita ke spot mana aja sih?” Sudah lelah dengan drama-drama dan mikir “nanti bisa ketemu lagi nggak ya sama keluarga?”
Satu-satunya harapan adalah bertemu lagi di tempat transit bus rombongan puskesmas, yakni di Gerbang Wisata Sukapura (GWS). Kami menyempatkan diri untuk mampir ke penginapan untuk pamit pada Pak Eko. Setelah itu kami bergegas melaju turun ke GWS. Hampir sepanjang perjalanan ke GWS turun hujan deras.
Ternyata, kami lebih dulu tiba di GWS daripada jeep rombongan Puskesmas. Sejenak menunggu, barulah kami kembali bertemu Upi, Budhe Ani, Pakdhe Mon, Mbak Icha, dan Mas Iel. Kami lanjut ngobrol di depan warung makan dan di situlah kami akhirnya foto bersama seadanya.
“Mameri foto Bromo, (tapi) malah umpel-umpelan nang tritikan 😂😂 - pamer foto ke Bromo tapi malah sesak-sesakan di teras” demikian tanggapan seorang bulik saat saya mengirim foto itu ke grup keluarga besar. Hahaha..bulik nggak tahu dramanya siih.
Selanjutnya, kami pulang ke Kediri sementara rombongan Puskesmas balik Temanggung. Puji Tuhan, dengan serangkaian drama dan gagal surprise, kami tetap bisa bertemu dan pulang ke tujuan masing-masing dengan selamat.
TAMAT 😃😃
Drama yang menghasilkan bakpia utk kami bawa pulang ke temanggung
BalasHapusPerjuangan untuk menyampaikan sekotak bakpia wkwkk
HapusDrama di Bromo? Wah, ini makin bikin penasaran! Apalagi kalau melibatkan keindahan alam yang luar biasa. Pasti pengalaman yang nggak terlupakan. Fix, Bromo emang selalu punya cerita menarik!
BalasHapusDrama trakom...tragedi komedi hihihi
HapusBetul mbak soal jauh dekat itu relatif pasti tergantung kebiasaan dan orangnya. Duh aku pingin ke Bromo sekeluarga mbak belum kesampaian, aku beedua suami udah pernah, anak-anak pernah tapi ga barengan.
BalasHapusAlhamdulillah mbak udah bisa sekeluarga, aku menyusl Insya Allah.
Wah jadi dramanya ada di putar balik karena jalurnya ga bisa dilalui jeep. Syukurlah drama kedua ada solusi dicarikan penginapan alternatif.. Tetap ad akenangan meskipun ada drama
Semoga segera kesampaian ke sana sekeluarga ya mbaa...gara2 drama malah jadi inget terus sama kenangannya hahaha
HapusDuuh mbak aku bacanya sempet ketawa dramanya di luar nalar ya. Ahaha. Dari penginapan yang ternyata dari Traveloka kesalahan sistem sampe tiket masuk ke Bromo yg lupa. Sampai skarang aku belum pernah ke Bromo. Pengen banget rasanya.
BalasHapusMemang dramanya di luar angkasa mbaa wkwkkw..
HapusMaunya kasih kejutan eh malah terkejut-kejut ya Mba Lisdha
BalasHapusSaya mau ketawa tapi kok juga iba hahaha
Btw, jalur yang disebutkan di drama pertama memang secara google map bisa tapi karena jalurnya berbahaya bagi wisatawan yang awam dengan medannya akhirnya memang mesti naik jeep, setahuku ada aturannya ini, memasuki Taman Nasional Bromo Tengger dilarang pakai mobil pribadi.
Syukurnya meski ada drama akhirnya kesampaian ke Bromo dan ketemuan dengan keluarga kakak tercinta. ..Berarti mesti diulang nih ke Bromonya biar no drama hihi
Nah itu, petunjuk GPS-nya juga salah hahaha. Iya mbak, anak sulungku sempet keki dengan segala drama itu plus gak dapat sanres yg bagus, jd dia bilang harus ulang ke Bromo hehehe.
HapusMba akhir tahun lalu aku jg ke Bromo, lewat probolinggo krn ngambil homestay di Sukapura. Aku jg dapet banyak dromo eh drama tuh, aku malah booking dan bayar homestaynya kelamaan, krn akhirnya kita pulang sebelum hari H checkout. Trus ga dapet sunrise juga. kalau sy dah suami sih gak gimana2 krn pernah Bromo sebelumnya dan udah pernahdapet sunrise Bromo, nah anak kami yg pertama kali malah ga dapet sunrise..
BalasHapusAlhamdulillah setelah melewati drama tiga babak, akhirnya bisa lihat sunrise di bromo. Dan lanjut berjuang bertemu keluarga di spot sunrise yang berbeda.
BalasHapusKalau udah salah jalan memang bikin ribet, tapi ya di situ seninya dalam perjalanan hehe. Nikmati deh jadinya traveling indah, yang penting bisa ke Bromo dengan apik ya kak. Harapannya, Mudah-mudahan daku pun juga bisa traveling ke Bromo
BalasHapusIya mb Fen...ini jadinya lucu kalo diceritakan hahaha. Kadang perjalanan samsek tanpa rencana jg malah asik.. hihihi
HapusMbaaaak .... Ya Allah, aku ikutan pusing apalagi ketika penginapan udah full trus kok masih bisa dipesan lewat OTA. Yeah, jawaban OTA hanya sebatas refund tapi nginep ndi. Terima kasih Pak Eko!
BalasHapusbtw, aku juga pernah kena zonk soal pesan lewat OTA ternyata hotelnya sudah tutup, bangkrut maybe sementara kami sekeluarga terkatung-katung di depan pagar hotel menjelang subuh.
Ya Allah banyak banget dramanya ya mba, jadinikut deg2an juga, tapi pastinya perjalanan ke Bromo ini jadi mengesankan ya banyak cerita, memang harus banget prepare diawal , disusun iteneri nya biar gak kacau
BalasHapusSetujuu..
BalasHapusKudu ngulangi ke Bromo.
Akutu selalu yakin kalo Bromo mirip-mirip Bandung.
Sampek beneran ke sana dan ternyata ademan Bromo.
Wkwkkw.. kepedean sii..
Waktu ke Bromo juga sama keluarga besar.
Dan bener aja.. travelling kalok ga ada drama tuh yaa.. kurang seru yaa.. Kalau ada dramanya gini kan yaa.. minim jadi "crita" yang bisa dibagikan seperti ini.
ehhehe...
Tapi berkat drama2 itu punya cerita seru yang bisa dikenang dan diceritakan kembali ya mbak hehe.
BalasHapusOOo baru tahu kalau nama2 spot wisata di sana berubah, jadi lebih melokal ya.
Mungkin karena wiken ya mbak jadi rame orang dan pas libur sekolah ya? Kyknya enak ke sana pertengahan tahun saat gak hujan dan saat bukan liburan kali ya?
Jadi sebaiknya beli tiket online dulu aja ya kalau mau ke Bromo.
Waduh kok penuh drama perjalannya mbak. Tapi meski begitu, pasti tetap ada suka cita yang hadir saat menjejakkan kaki di Bromo ya mbak
BalasHapusMaaak astaga nggak ngerti deh ini kebetulan atau gimana, tapi di tanggal segitu aku dan keluarga udah ngerencanain ke Bromo juga. Akhirnya nggak jadi karena nggak dapet tiket apa ya waktu itu. Untungnya kek hotel dan mobil sewa belum dibayar, jadi kami memutuskan buat reschedule ke pertengahan Februari. Daaan tetap belum jadi jugaa wkwkwk. Entah deh bakal beneran ke sana kapan. Semoga ada jodoh waktu dan biaya segera
BalasHapusTerbayang sih sesusahnya apa kalau ada drama di Bromo. Lah kami yang ikut travel saja jika ada masalah suka bingung sendiri, apalagi ini yg sendiri.
BalasHapusTapi apapun itu, perjalanan ke Bromo selalu menimbulkan kesan yang mendalam hingga bertahun-tahun