Tulisan tentang masakan yang bukan diawali dengan gambar makanan melainkan foto narsis. Tapi ini kan posting di blog sendiri plus bukan artikel berbayar, bebas aja dong wkwkwkw. Yang pasti ada alasan di balik pose foto ala bapack-bapack ini.
Mau tau ceritanya?
Sudah sampai di halaman ini, mosok nggak mau tau ceritanya. Lanjut baca ya, saya ceritain (hahaha, maksa). Jadi begini : saya selfie dengan pose itu dengan maksud menyemangati diri untuk “remidi” masak COTO MAKASSAR. Itu bibir agak muncung karena berkata “EWAKO!!” lalu sambung senyum.
REMIDI woiiii, macem ujian praktik aja hahaha. Ini memang bukan ujian formal, tapi bagi saya tetap merupakan sebuah upaya perbaikan dari tindakan sebelumnya. Jadi, boleh yaaa pakai kata remidi hihihi.
Sedangkan EWAKO merupakan kata populer di Sulawesi Selatan, terkhusus suku Bugis dan Makassar. Bagi penggemar sepakbola nasional, pasti sering menjumpai kata ini dalam pertandingan yang melibatkan supporter klub PSM Makassar. "Ewako" lazim dimaknai sebagai ajakan untuk berani berjuang. Penggunaannya sejajar dengan kata-kata penyemangat seperti ayo lawan, ayo berani, jangan putus asa, dan semacamnya.
Lah, mau masak coto saja pakai pose EWAKO?
Pertama, karena coto adalah masakan khas Sulawesi Selatan, jadi pakai penyemangat dengan bahasa setempat. Kedua, mungkin bagi sebagian orang ini terdengar lebay. Namun, bagi saya, memasak coto terasa sebagai ujian hidup yang cukup sulit. Masak coto melibatkan bumbu dan proses yang tidak bisa sekadar cemplang-cemplung seperti membuat sayur bening. Percayalah, ketimbang memasak coto, saya jauh lebih ahli dalam memakannya wkwkkw.
Saya memang tidak hobi dan tidak lihai memasak. Mungkin ada yang menjadi teman saya di media sosial dan mendapati saya cukup sering posting foto/video masakan. Iya siiih…tapi itu bukan karena saya pandai memasak. Namun tak lebih karena memasak adalah bagian keseharian saya selaku chef pribadi di rumah tangga suami (ehehe…).
Kalau tiap hari beli masakan di luar kan bisa boncos yaaa. Selaku chef merangkap menteri keuangan saya mesti membuat langkah efisiensi dengan lebih sering memasak daripada beli. #EFISIENSI 😃
Suami, saya, dan dua anak kami adalah keluarga Jawa yang menyukai coto Makassar. Bukan hal aneh mengingat kami pernah tinggal di (Gowa mepet) Makassar. Umumnya, coto dibuat dari daging sapi dan daging ayam. Namun, saya pernah lho mencicipi coto kuda, masakan khas Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kurang lebih 3.5 tahun tinggal di sana, kami sekeluarga lumayan menjelajah aneka tempat makan coto.
Saking senangnya makan coto, anak bungsu saya pernah bilang, “Bunda harus sudah bisa masak coto sebelum kita pindah dari Makassar.” Sayang sekali, saya belum berhasil memenuhi harapan itu. Kami pindah ke Kediri dalam kondisi saya belum bisa memasak coto. Sepanjang tinggal di sana, saya baru dua kali masak coto.
Pengalaman pertama saya adalah mencoba masak coto sapi dengan bumbu instan (karena sudah nggak pede dulu kalau mesti bikin bumbu sendiri). Hasil masakannya bukan-lah coto Makassar melainkan coto Mak-ambyar. Yaaak…rasanya memang se-ambyar itu saudara-saudari. Ngalor-ngidul (ke utara - selatan), kagak jelas arahnya wkwkwkw.
Jenis dan takaran bumbu instan mungkin turut menyumbang ke-ambyar-an. Namun, saya lebih percaya kalau penyebab terbesar kegagalan adalah human error. Siapa hooman-nya? Ya saya lah…
Selang beberapa bulan dari kegagalan pertama, saya memberanikan diri untuk remidi. Bedanya, dalam percobaan pertama saya pakai daging sapi, sedangkan untuk remidi saya menggunakan daging ayam. Menurut para juri (suami dan dua anak laki-laki), rasanya sedikit lumayan. Puji Tuhan, meski cuma sedikit, setidaknya ada kemajuan wkwkwk. Nggak ambyar total tapi masih jauh dari memuaskan.
***
Sejak pindah Kediri di Desember 2023, praktis kami jadi jauh dari hidangan coto. Di kota Gudang Garam ini yang mudah kami jumpai adalah SOTO dengan beberapa varian, seperti soto manten, soto Lamongan, dan soto seger. Meski sama-sama makanan daging berkuah, soto dan coto beda jauh dalam rasa.
Oh iya, setahu kami, ada satu warung coto di Kediri. Kami juga pernah mencoba makan di sana. Sayang sekali, rasanya jauh dari coto yang di Makassar. Mungkin karena kami sudah biasa makan coto di tempat asalnya, jadi coto di Kediri tidak memenuhi ekspektasi. Saya tidak bilang tidak enak yaaa…karena enak atau tidak enak itu relatif dan subyektif. Adalah wajar ketika makanan khas suatu daerah jadi berbeda rasa saat dijual di daerah lain. Biasanya karena disesuaikan dengan selera setempat.
***
Februari 2025, mungkin karena masih suasana angin dan hujan (hehehe, biar beda dengan ungkapan “tak ada angin, tak ada hujan”), saya ingin remidi masak coto Makassar. Saya jarang beli daging sapi, jadi saya agak kaget dengan harganya. Seingat saya, saat terakhir kali beli daging sapi harganya mendekati Rp 150.000 per kg. Sementara, saat saya beli Rp 100.000 per kg. Saya beli daging segar di pasar tradisional, bukan daging beku di supermarket/toko frozen.
Saya yang salah ingat atau memang harga-nya sedang turun? Tadinya mau beli ½ kg saja, jadi beli 1 kg deh.
Berikut saya re-write resep coto Makassar yang saya jadikan panduan. Aslinya dari sini, tapi saya modifikasi sesuai kondisi :
Bahan A :
1 kg daging sapi
2 batang sereh (geprek)
2 lembar daun jeruk
2 lembar daun salam
2 liter air biasa atau air cucian beras
Bahan B (bumbu basah) :
6 siung bawang putih
7 siung bawang merah
3 batang sereh (bagian putihnya)
3 potong lengkuas
2 lembar daun jeruk
2 lembar daun salam
Bahan C (bumbu kering):
1 sdt lada butir
3 butir kemiri
2 sdt ketumbar
1 sdt jintan
50 gram kacang tanah (goreng dengan minyak atau sangrai)
Bahan D (bumbu pemantap)
Garam secukupnya
½ sdt kaldu sapi/MSG (opsional)
Bahan D (pelengkap) :
Daun bawang
Daun seledri
Bawang goreng
Jeruk nipis
Ketupat/buras > karena tidak ada keduanya, saya pakai nasi 🙂
Proses :
Rebus daging sapi yang sudah dicuci, buang buihnya, masukkan bahan A lainnya hingga daging matang, angkat, tiriskan. Sisihkan air rebusan (jangan dibuang)
Sementara daging direbus, iris-iris bahan B, tumis, sisihkan.
Sangrai bumbu C, haluskan (bumbu dan kacang dihaluskan terpisah), sisihkan.
Masak kembali air rebusan dengan api kecil. Masukkan bumbu basah, bumbu kering, dan kacang giling sampai semua bumbu meresap. Masukkan garam dan kaldu bubuk, tes rasa.
Iris-iris daging, masukkan mangkok, masukkan bahan pelengkap, siram dengan kuah.
Hasilnya….
Tetap belum perfect sih (perfect di sini maksudnya sama dengan coto yang sering kami makan di Makassar). Namun, puji Tuhan, progres banget dibandingkan sebelumnya. Tanpa melihat, hanya dengan membaui aroma-nya, anak-anak langsung tahu kalau saya masak coto Makassar. Tentu saja….mereka sangat gembira. Seperti ketemu teman akrab yang lama tak bersua hahaha.
Puji Tuhan, para juri (suami dan anak-anak) menyukai hidangan coto kali ini. Kritik membangunnya adalah, daging kurang empuk. Next, daging sebaiknya dipresto. Selain itu, warna kuah kurang pekat dan kuah terasa “kotor/berserat” oleh bumbu-bumbunya. Hmmmh, saya jadi penasaran, apa perlu disaring supaya kuah lebih “bersih”? Atau bumbunya kurang halus?
Mmmh…kapan-kapan harus masak coto lagi untuk perbaikan. Baru juga happy dengan hasil remidi ini, si anak bontot sudah menodong : “Bunda coba masak Palubasa dong.” Oo myyyyyy… dapat tantangan lagi dari si bocah gemoy.
Seperti coto, palubasa juga merupakan hidangan khas Makassar. Salah satu tempat makan palubasa yang ramai di Makassar adalah Palubasa Serigala. Bukan karena dimasak dari daging serigala yaaaa…. Dimasak dari dari daging sapi juga kok, tapi tempatnya di Jalan Serigala.
Hmmmh… chef abal-abal ini langsung ndredeg mendengar request masak palubasa. Tapi, saya terima tantangan itu, meski entah kapan mengeksekusinya. Sabar ya anakku…Bunda kumpulkan semangat dan keyakinan dulu.
Bener juga ya... Kalau pas pindah dari Sulawesi ke Kediri udah mahir masak Coto, baik yg daging kuda, maupun sapi atau ayam, atau pakai bahan lain misalnya... Bisa saja di Kediri buka kuliner Coto. Kan bakalan unik dan kemungkinan jadi kuliner favorit secara di Kediri yakin belum banyak yg bisa masak Coro juga.
BalasHapusJadi peluang usaha
Terimakasih ini udah dikasih resepnya. Siapa tahu saya bisa mencobanya... Hehehe...
Wah, istimewa sekali mbak Lisdha berusaha keras masak coto Makassar hahahaha...aku mah belum nyoba nih soalnya takut rasanya nano2 🤣 Efisiensi yang kece ini mah. Bumbu2nya banyak ya biar berasa. Kapan2 mau recook ah. Pakai daging sapi rendang hihihi.
BalasHapus